"MARI makan nasi," hanya itu saja kalimat Indonesia -- selain "terima kasih" -- yang dimengerti James Hong, seorang pengusaha mesin-mesin pabrik di Lukang, dekat Taichung, Taiwan. Bahasa Inggrisnya sama sekali tak berbunyi. Hanya beberapa ungkapan Jepang saja yang dimengertinya -- hasil penjajahan Jepang atas Taiwan di masa lalu. Padahal, 80% produksi pabrik James Hong ini merupakan ekspor ke luar negeri. Kalau ada seorang menelepon dalam bahasa Inggris ke pabriknya, penjaga telepon hanya akan mengatakan "one moment, please", lalu mencari Jackie Hong, anak James, satu-satunya di pabrik itu yang bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Wakil James di Taipei yang katanya bisa berbahasa Inggris pun keliru menjemput saya di hotel karena menyangka 1627 dalam bahasa Cina menjadi 1427. Menantu James yang cantik, yang mengantarkan saya kembali ke stasiun, pun berusaha keras berbicara Inggris. Tetapi, hampir semua pertanyaan saya hanya dijawab dengan senyuman yang memukau. Tanda bahwa sebenarnya ia tak mengerti apa yang saya tanyakan. Hambatan bahasa hanya merupakan salah satu yang membuat kita frustrasi dalam melakukan bisnis dengan orang Taiwan. Tuan Chen di Taiwan, misalnya, adalah pembuat mesin yang sudah mengirimkan ratusan unit ke Indonesia. Ia pun sama sekali tak berbahasa Inggris. Untungnya, ia menyewa seorang penerjemah khusus untuk melakukan perundingan. Tetapi, begitu diminta perkiraan harga, ia hanya cukup memencet-mencet komputernya sebentar, dan kemudian tercetaklah invoice dalam bahasa Inggris. Hambatan lainnya? Anda harus bersiap-siap untuk penguluran waktu. "Punctuality does not exist here," keluh seorang Amerika yang bekerja di sebuah perusahaan besar Taiwan. Ungkapan itu tak terlalu salah, tetapi bukan merupakan penggeneralisasian. Pesawat terbang domestik, bis, dan kereta api, semuanya berangkat dan tiba tepat waktu. Seorang Amerika yang lain menjadi marah besar di lobby hotel. Begitu marahnya, sampai ia memaki-maki orang Taiwan di depannya. "Ini sudah ketiga kalinya kau lakukan. Kau sudah bilang ya, lantas kau batalkan karena kau bilang bos belum setuju. Kukira selama ini kaulah bosnya." Hampir semua orang Taiwan memang beraspirasi menjadi bos. Itu tecermin juga pada kenyataan bahwa lebih dari 75% sektor bisnisnya dikuasai oleh pengusaha kelas menengah yang memilih berusaha sendiri daripada bergabung dengan perusahaan besar dan hanya menjadi salah seorang pegawai. Lebih baik jadi ikan besar di kolam kecil, daripada jadi ikan kecil di kolam besar, begitu kurang lebih falsafah mereka. Selain kekaburan tentang siapa yang memegang pengambilan keputusan di satu perusahaan, kekaburan tentang asal-usul pasokan barang pun sering menjadi masalah di Taiwan. Misalnya, ketika mengetahui bahwa saya sedang merencanakan membeli beberapa jenis mesin di Taiwan, ke hotel saya datang seorang menenteng tas besar. Kartu namanya bagus, lengkap dengan nomor teleks, fax, dan sebagainya. Ia tak membawa brosur mesin-mesin. "Ah, mesin kami ini begitu cepat mengalami perubahan. Setiap kali mencetak brosur, ia akan menjadi kedaluwarsa karena pembaruan yang berjalan sangat cepat," katanya dengan gaya salesmanship tinggi. Dan, masa Anda percaya membeli mesin-mesin hanya dari foto-foto yang disuguhkannya? Ketika ditanya tentang kapasitas mesin, ia hanya membaca sebentar di langit-langit, lalu memetik angka dari sana. Harga pun tidak dikonsultasikannya dari daftar, tetapi langsung ditunjukkannya pada jendela display kalkulatornya. Di Lukang saya pun ditertawai karena mengatakan baru saja meninjau sebuah pabrik mesin di Fung Yuen. Pemilik pabrik itu lalu mengantar saya ke show room-nya. "Mesin-mesinnya persis seperti ini, bukan ?" tanyanya sambil menebar tangan, menunjukkan mesin-mesin produksinya. Saya mengangguk. Dia lalu tertawa besar. "Begini, Tuan. Pabrik di Fung Yuen itu sebetulnya membeli dari kami suku cadang utamanya. Mereka hanya membuat kerangkanya dan menempel merk," kata orang itu tersenyum penuh kemenangan. Saya lalu teringat ucapan Pak Utomo Josodirdjo dari SGV Utomo. "Sebetulnya banyak juga orang baik di Taiwan," katanya. "Tetapi, ya itu, Anda harus kenal lima orang Taiwan dulu sebelum menemukan salah satu dari mereka yang bisa menjadi kawan." Kecurigaan, karenanya, harus selalu dipupuk. Mungkin kiat para wartawan bisa dipakai: check and recheck. Di Taiwan ada CETDC (China Export and Trade Development Center), sebuah lembaga yang bisa ditanyai tentang bonafiditas suatu perusahaan. Atau, ya harus rajin bertanya ke kiri dan ke kanan dulu sebelum menjatuhkan pilihan. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini