Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DOKUMEN hasil pemeriksaan Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan tentang pembelian peluncur roket oleh TNI Angkatan Darat pada 2012 harus ditanggapi serius oleh pemerintah. Inspektorat menilai pembelian itu melanggar peraturan pengadaan barang dan jasa serta merugikan negara hingga Rp 1 triliun.
Sebetulnya, sejak 2012, temuan tersebut telah dilaporkan kepada Menteri Pertahanan ketika itu, Purnomo Yusgiantoro. Sang Menteri mengabaikan. Tak lama setelah Astros II Mk 6—peluncur roket itu—tiba di Jakarta, dokumen tersebut muncul dan menyebar. Astros II merupakan sistem peluncur roket jarak jauh (multilauncher rocket system) teranyar buatan perusahaan senjata Brasil, Avibras Industria Aeroespacial. TNI AD membeli 32 paket roket ini, terdiri atas truk, alat peluncur, serta misil berbagai ukuran.
Menurut dokumen tersebut, proses tender Astros II menyalahi aturan. Harga belinya pun diduga terlalu mahal. Avibras menjual peluncur roket ini US$ 404 juta. Padahal, untuk jenis dan jumlah yang sama, perusahaan senjata asal Turki, Roketsan Missiles, hanya meminta US$ 270 juta. Mencurigakan pula, di sela proses tender, panitia pengadaan bernegosiasi dengan Avibras. Dalam sepucuk surat kepada Menteri Purnomo, Inspektur Jenderal telah mengusulkan proses tender diulang. Tapi, sekali lagi, sang Menteri tak menghiraukan.
Belum terlambat bagi pemerintah dan para penegak hukum untuk menindaklanjuti laporan ini. Kesimpulan Inspektorat bahwa pengadaan Astros II bermasalah tentu punya dasar yang kuat. Badan internal ini memang bertugas melakukan audit keuangan dan memiliki akses ke berbagai data dan dokumen internal serta semua staf yang terlibat.
Pemerintah bisa meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit investigatif. Kementerian Pertahanan, termasuk Purnomo, perlu dimintai pertanggungjawaban: mengapa temuan sepenting itu hanya disimpan di laci? Mengapa kemudian Purnomo mengizinkan proses pembelian dilanjutkan, padahal ada bukti dan indikasi pelanggaran yang jelas, juga potensi kerugian yang amat besar?
Lebih "cantik" pula jika pemerintah menyerahkan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan relasi internasionalnya, KPK dapat mencari harga wajar alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang dibeli—hal yang mungkin sulit dilakukan Inspektorat. KPK, misalnya, dapat meminta bantuan lembaga antirasuah di Malaysia untuk mencari tahu harga beli Astron II oleh negeri jiran itu. Konon, pada 2000, Malaysia membeli 18 paket peluncur roket itu hanya seharga US$ 53 juta.
Sudah lama pembelian alutsista diduga menjadi "mainan" banyak pihak. Ada banyak kasus, dari pembelian pesawat Sukhoi pada zaman Presiden Megawati Soekarnoputri hingga pengadaan tank Leopard oleh pemerintah lalu, yang sempat dikritik mantan wakil presiden B.J. Habibie. Persoalan itu cuma terdengar sebentar, lalu menghilang.
Kasus ini bisa jadi jalan masuk untuk mengaudit kembali semua pembelian di masa lalu yang dianggap tak wajar sekaligus mendorong transparansi pengadaan persenjataan. Dalam empat tahun terakhir, 2010-2014, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengalokasikan anggaran sekitar Rp 150 triliun untuk pembelian alutsista. Presiden Joko Widodo pernah berjanji menaikkannya tiga kali lipat jika perekonomian nasional membaik. Dengan anggaran sebesar itu, sepantasnyalah pembelian alutsista selalu dikawal agar tidak diselewengkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo