LAKON Ikke Soetomo yang terbaru telah dipentaskan oleh
murid-murid SMA III baru-baru ini. Seri panggung pertama yang
masuk ialah Tara Farina. Dia main sebagai wanita ubanan yang
berziarah ke makam suaminya. Pada batu nisan di hadaparmya
tcrukir "Sigrong, gugur oleh perluru Mansergh, November 1945."
Tara bertadah tangan dengan mata terkatup, dengan iringan lagu
"Gugur Bunga".
Selagi lagu pindah ke laras mayor, nampaklah seonggok jubah
hitam mengongkoki makam. Si seram itu berhenti sebentar
berutak-atik, lalu enyahlah. Nah, pada saat itu dia utakatlk itu
"Gugur Bunga" dirobek oleh kereket trompet dari entah Strawinski
atau Trisujti. Sang ibu terbengang dan masih sempat melihat si
hitam bogot tadi menyelinap ke belakang panggung. Lebih
mengerikan lagi, batu nisan Sigrong telah berubah menjadi papan
lapuk yang berisi keterangan berikut: PAHLAWAN TAK DIKENAL.
Keruan saja Tara menjerit
-- Oh Sigrong, ke manakah engkau-'
Himbauan ini tentu mengundang jawaban. Maka berkeraklah suatu
suara dampang entah dari mana:
--Masuk gudang Tak Dikenal.
-- Apaan tak dikenal?? Dia Sigrong kesuma hatiku, ooh! . . .
Hey, kau ini siapa?
-- Sahibulhikayat, itu Iho yang jubahnya gelap tadi.
-- Sahkibulhikayat! Apa kerjamu di dunia ini?
--Menertibkan perkenalan, neng. Aku yang mengatur
siapa-siapa yang pantas dikenal dan harus tidak dikenal. Sigrong
itu kan orang biasa-biasa saja, keluarganya begitu juga, jadi
semua cocok buat tidak dikenal, mengerti?
--Ey, ey . . . dia itu lelaki paling istimewa!
- Ah, kau ini tahu apa sih. Yang istimewa itu ya ini ....
lihat ....
Maka lampu-lampu sorot memusat kepada seorang penonton lelaki
yang duduk di baris depan sekali. Itu si Reza, yang menyamar
sebagai tamu agung. Empat gadis jelita menghampirinya: Nita,
Rati, Rika, dan Miranda. Tamu agung itu berdidiri, membalik
badannya ke arah segenap penonton (dari pengeras suara ada
perintah Kris Biantoro: "Tepuk tangan saudara-saudara"), lalu
dengan gagahnya dia berjalan naik panggung, diagungkan oleh lagu
Alte Kameraden Mars.
Lelaki ini mengenakan baju yang biasa dipakai Jungle Jim
dalam cergam mendiang Alex Raymond, cuma lengannya yang model
kotong. Pada saat dia berhenti di depan corongcorong suara,
lagilagi Mas Kris meledak "Tepuk tangan saudara-saudara!"
Pemandangan berikutnya rasanya kurang masuk akal. Mister
Jungle mengayun-ayunkan kedua lengannya sambil menuding-nuding
ke depan dan ke atas. Mulutnya terus mangapmangap dan
menyeringai, tapi tanpa suara. Yang bunyi hanya keempat dayang
di belakangnya, itupun hanya laung embik-embik saja. Seandainya
auman singa, itu lebih masuk akal. Tapi akal anak-anak mungkin
lain. Akhirnya ada sambutan "Turuun! . . . turuun! . . . " dari
segenap penonton remaja. Babak satu selesai.
Babak dua dibuka oleh orang tua yang mengonggok ke makam
Pahlawan Tak Dikenal. Dia sujud. Suasana hening tiba-tiba
mencengkam ketika si jubah hitam bersijengket masuk
merunduk-runduk. Mulut seringing dan mata julang-juling ini
menghampiri pak khusyu. Terdengarlah suara dampang pecah:
-- Tuan mencari apa di sini?
Sigrong, temanku seperjuangan.
- Sigrong? Tuan sudah baca papan ini? Mana ada tulisan
"Sigrong"?
- Hey, anda sudah terlalu banyak bertanya! Anda ini mau
pesan batu nisan atau peti mayat?
--Maaf, saya Sahibulhikayat, dan ingin sekali mencatat
segala pengalaman tuan bersama Sigrong di masa perjuangan, agar
kelak bisa dibaca oleh segenap anak cucu.
- Oo, boleh deh. Silakan catat. Begini ceritanya.
Si sahib ngibul ini lalu beraksi dengan gayaJaimeSommers yang
menulis mahacepat dalam buku, dipacu oleh "Kumbang Terbang"-nya
Rimski-Korsakov. Super-komat-karnit nampak pada bibir tuan bekas
pejuang yang kini riang.
- Terima kasih tuan. O ya, sekarang tuan menjabat di mana?
Rasanya saya sudah sering melihat wajah tuan di TV atau di
koran.
- Saya? . . . di TV? . . . Lha wong saya ini dagang bakso
kok mas. Lumayan buat menyambung hidup. Kalau mau, 100 rupiah
semangkuk mas.
--Buset! Lalu apa gunanya semua catatan ini? Tuan ini . . .,
eh, kowe ini ternyata cuma pahlawan tak dikenal saja.
Dan Sahngibulriwayat, saking jengkelnya, membuang buku
catatannya ke luar panggung, teriring musik buat Petrushka
ketika disambar pedang jenawi.
Yang paling megah ialah babak berikutnya. Paduan suara mulai
dengan suatu panembrama (lagu "selamat datang") bergaya cadas.
Eh, kiranya ini untuk menyambut Jungle Jim yang datang melangkah
dengan alap santunnya, berpayung bawat, dan diikuti oleh puluhan
awang serta dayang. Penari dan pesilat melompat di hadapannya.
Dan ketika seorang datang mengalungkan kain adat yang polos di
leher JJ, mengalunlah Broery Marantika dengan lagu "Friendship"
(pasti disadap dari iklan TV).
Tak bisa tidak, si sahib julang-juling jago tambo kita
melengser juga. Dengan gaya siap menulis dia bertanya:
- Dengan maksud apakah paduka tuan datang ke makam pahlawan
ini?
- Ah, lu ini seperti nggak tahu aja. Gua mau pesan tempat
nih di sini, tapi buat nanti kalau gua udah dapet serangan
jantung. Semua surat udah beres, nih lihat. Dan sekarang lu
kuberi kesempatan nulis tentang riwayat perjuanganku. Ingat, ini
penting buat diwariskan ke anak cucu. Siap? Mulai!
Maka seketika menggelegarlah Sinfonia Eroica oleh orkes
Herbert von Berlin. JJ yang komat-kamit dan Sahkibul yang
berbionik sampai tidak melihat datangnya lelaki lontok yang
berambut semrawut itu. Beethoven! Dengan mata berapi-api dia
mondar-mandir sambil menyobek-nyobek puluhan helai kertas.
Ratusan sobekan beterbangan di panggung (dengan bantuan beberapa
kipas angin). Sungguh meriah, apalagi ketika suara Broery ikut
numpang Eroica. Selamat buat Ikke dan anak-anak SMA!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini