Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Lakon "makam kesumba kelabu"

Lakon ikke soetomo yang terbaru telah dipentaskan oleh murid-murid sma iii baru-baru ini. penampilan mereka sungguh meriah, diiringi oleh panembrama bergaya cadas. juga alun broery dengan lagu "friendship".

29 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAKON Ikke Soetomo yang terbaru telah dipentaskan oleh murid-murid SMA III baru-baru ini. Seri panggung pertama yang masuk ialah Tara Farina. Dia main sebagai wanita ubanan yang berziarah ke makam suaminya. Pada batu nisan di hadaparmya tcrukir "Sigrong, gugur oleh perluru Mansergh, November 1945." Tara bertadah tangan dengan mata terkatup, dengan iringan lagu "Gugur Bunga". Selagi lagu pindah ke laras mayor, nampaklah seonggok jubah hitam mengongkoki makam. Si seram itu berhenti sebentar berutak-atik, lalu enyahlah. Nah, pada saat itu dia utakatlk itu "Gugur Bunga" dirobek oleh kereket trompet dari entah Strawinski atau Trisujti. Sang ibu terbengang dan masih sempat melihat si hitam bogot tadi menyelinap ke belakang panggung. Lebih mengerikan lagi, batu nisan Sigrong telah berubah menjadi papan lapuk yang berisi keterangan berikut: PAHLAWAN TAK DIKENAL. Keruan saja Tara menjerit -- Oh Sigrong, ke manakah engkau-' Himbauan ini tentu mengundang jawaban. Maka berkeraklah suatu suara dampang entah dari mana: --Masuk gudang Tak Dikenal. -- Apaan tak dikenal?? Dia Sigrong kesuma hatiku, ooh! . . . Hey, kau ini siapa? -- Sahibulhikayat, itu Iho yang jubahnya gelap tadi. -- Sahkibulhikayat! Apa kerjamu di dunia ini? --Menertibkan perkenalan, neng. Aku yang mengatur siapa-siapa yang pantas dikenal dan harus tidak dikenal. Sigrong itu kan orang biasa-biasa saja, keluarganya begitu juga, jadi semua cocok buat tidak dikenal, mengerti? --Ey, ey . . . dia itu lelaki paling istimewa! - Ah, kau ini tahu apa sih. Yang istimewa itu ya ini .... lihat .... Maka lampu-lampu sorot memusat kepada seorang penonton lelaki yang duduk di baris depan sekali. Itu si Reza, yang menyamar sebagai tamu agung. Empat gadis jelita menghampirinya: Nita, Rati, Rika, dan Miranda. Tamu agung itu berdidiri, membalik badannya ke arah segenap penonton (dari pengeras suara ada perintah Kris Biantoro: "Tepuk tangan saudara-saudara"), lalu dengan gagahnya dia berjalan naik panggung, diagungkan oleh lagu Alte Kameraden Mars. Lelaki ini mengenakan baju yang biasa dipakai Jungle Jim dalam cergam mendiang Alex Raymond, cuma lengannya yang model kotong. Pada saat dia berhenti di depan corongcorong suara, lagilagi Mas Kris meledak "Tepuk tangan saudara-saudara!" Pemandangan berikutnya rasanya kurang masuk akal. Mister Jungle mengayun-ayunkan kedua lengannya sambil menuding-nuding ke depan dan ke atas. Mulutnya terus mangapmangap dan menyeringai, tapi tanpa suara. Yang bunyi hanya keempat dayang di belakangnya, itupun hanya laung embik-embik saja. Seandainya auman singa, itu lebih masuk akal. Tapi akal anak-anak mungkin lain. Akhirnya ada sambutan "Turuun! . . . turuun! . . . " dari segenap penonton remaja. Babak satu selesai. Babak dua dibuka oleh orang tua yang mengonggok ke makam Pahlawan Tak Dikenal. Dia sujud. Suasana hening tiba-tiba mencengkam ketika si jubah hitam bersijengket masuk merunduk-runduk. Mulut seringing dan mata julang-juling ini menghampiri pak khusyu. Terdengarlah suara dampang pecah: -- Tuan mencari apa di sini? Sigrong, temanku seperjuangan. - Sigrong? Tuan sudah baca papan ini? Mana ada tulisan "Sigrong"? - Hey, anda sudah terlalu banyak bertanya! Anda ini mau pesan batu nisan atau peti mayat? --Maaf, saya Sahibulhikayat, dan ingin sekali mencatat segala pengalaman tuan bersama Sigrong di masa perjuangan, agar kelak bisa dibaca oleh segenap anak cucu. - Oo, boleh deh. Silakan catat. Begini ceritanya. Si sahib ngibul ini lalu beraksi dengan gayaJaimeSommers yang menulis mahacepat dalam buku, dipacu oleh "Kumbang Terbang"-nya Rimski-Korsakov. Super-komat-karnit nampak pada bibir tuan bekas pejuang yang kini riang. - Terima kasih tuan. O ya, sekarang tuan menjabat di mana? Rasanya saya sudah sering melihat wajah tuan di TV atau di koran. - Saya? . . . di TV? . . . Lha wong saya ini dagang bakso kok mas. Lumayan buat menyambung hidup. Kalau mau, 100 rupiah semangkuk mas. --Buset! Lalu apa gunanya semua catatan ini? Tuan ini . . ., eh, kowe ini ternyata cuma pahlawan tak dikenal saja. Dan Sahngibulriwayat, saking jengkelnya, membuang buku catatannya ke luar panggung, teriring musik buat Petrushka ketika disambar pedang jenawi. Yang paling megah ialah babak berikutnya. Paduan suara mulai dengan suatu panembrama (lagu "selamat datang") bergaya cadas. Eh, kiranya ini untuk menyambut Jungle Jim yang datang melangkah dengan alap santunnya, berpayung bawat, dan diikuti oleh puluhan awang serta dayang. Penari dan pesilat melompat di hadapannya. Dan ketika seorang datang mengalungkan kain adat yang polos di leher JJ, mengalunlah Broery Marantika dengan lagu "Friendship" (pasti disadap dari iklan TV). Tak bisa tidak, si sahib julang-juling jago tambo kita melengser juga. Dengan gaya siap menulis dia bertanya: - Dengan maksud apakah paduka tuan datang ke makam pahlawan ini? - Ah, lu ini seperti nggak tahu aja. Gua mau pesan tempat nih di sini, tapi buat nanti kalau gua udah dapet serangan jantung. Semua surat udah beres, nih lihat. Dan sekarang lu kuberi kesempatan nulis tentang riwayat perjuanganku. Ingat, ini penting buat diwariskan ke anak cucu. Siap? Mulai! Maka seketika menggelegarlah Sinfonia Eroica oleh orkes Herbert von Berlin. JJ yang komat-kamit dan Sahkibul yang berbionik sampai tidak melihat datangnya lelaki lontok yang berambut semrawut itu. Beethoven! Dengan mata berapi-api dia mondar-mandir sambil menyobek-nyobek puluhan helai kertas. Ratusan sobekan beterbangan di panggung (dengan bantuan beberapa kipas angin). Sungguh meriah, apalagi ketika suara Broery ikut numpang Eroica. Selamat buat Ikke dan anak-anak SMA!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus