RONALD Reagan menyerang "liberalisme". Tapi juga ia ogah bila
pemerintah mau mengurusi segala macam soal.
"Saya ingin orang-orang yang tidak menghendaki jabatan dalam
pemerintahan," katanya dalam suatu wawancara segera setelah ia
dinyatakan menang. Ia pun berjanji akan segera memulai bekerja,
"mengurangi besarnya peran pemerintah".
Menentang liberalisme, tapi juga menentang peran besar dari
pemerintah? Bagaimana mungkin?
Kita yang terbiasa mendengar hamburan kata dari kamus
politik khas Indonesia sejak 25 tahun terakhir ini, agak bengong
juga mendengar sikap anti liberalisme yang seperti itu.
Di sini, orang "liberal" justru punya kecenderungan
menentang campur tangan pemerintah. Karena itulah, ia dikutuk di
pelbagai pidato dan penataran dari ujung sana Orde Lama sampai
ujung sini Orde Baru. Orang "liberal" berarti orang yang
dianggap masih kepingin punya sistem politik dan ekonomi sebelum
"Demokrasi terpimpin" 1958-1966.
Artinya, ia emoh jika pemerintah campur tangan dalam partai
politik la kaget bila pemerintah nongkrong di belakang urusan
bisnis swasta dan kekuasaan mahkarnah pengadilan. Ia tertegun
bila melihat pemerintah ikut mengatur kepengurusan persatuan
bola atau pesinden. Ia terkekeh-kekeh bila ia tahu pemerintah
mengurusi gaya rambut dan seni musik.
Dengan kata lain, orang "liberal" di Indonesia justru
terdengar seperti Ronald Reagan di Amerika Serikat yang "anti
liberal" . . .
(****)
MEMANG membingungkan. Tapi kebingungan itu bukanlah cuma karena
perkara peristilahan. Kebingungan itu mencerminkan
peralihan-peralihan yang terjadi di zaman kita. Salah satunya
telah melontarkan pertanyaan yang tak mudah dijawab: sejauh
manakah peranan negara bisa bermanfaat bagi para warganya?
Sejauh mana malah merusak?
Ronald Reagan adalah contoh tokoh yang menghendaki
"pemerintahan minimal". Margaret Thatcher, Perdana Menteri
Inggris, juga demikian. Malcolm Fraser, Perdana Menteri
Australia, idem ditto.
Tiga negeri kapitalis penting di dunia --walaupun
berbeda-beda--dalam waktu yang berdekatan nampak menunjukkan
tendensi yang sama. Ketiganya bergerak ke "kanani'. Ketiganya
mengelak dari kibasan sosialisme yangmeletakkan negara sebagai
pengatur kesejahteraan. Ketiganya disebut "konservatif".
Bahwa Reagan, Thatcher dan Fraser menjadi pendekar
"pemerintahan minimal", agaknya tak dapat dilepaskan dari
kenyataan yang nampak sejak pertengahan kedua abad ke-20:
perekonomian negeri-negeri kapitalis itu telah diarahkan oleh
negara. Di AS, belanja negara mencapai hampir 40% dari
GNP-mendekati negeri-negeri Skandinavia yang "sosialistis", 50%.
Dan di Inggris, tinggal berapa banyak perusahaan yang tak
diambilalih negara, menjelang pemerintahan Partai Buruh jatuh?
Pada mulanya, membesarnya peran negara itu punya tujuan yang
mulia. Golongan yang lemah harus dibantu. Golongan kuat harus
diambil sebagian hasil jerih payahnya untuk itu. Sebab
dilepaskan begitu saja, pemerataan tak akan berbuah
Namun untuk mengatur semua itu, ternyata negara harus
mengerahkan satu mesin raksasa birokrasi. Hasilnya tak ada yang
suka. Para pengusaha merasa pemerintah terlampau banyak
mengatur. Para pendekar pemerataan yang lebih radikal juga tak
sabar, serta curiga, melihat besar dan lambannya gerak birokrasi
dan para perencana.
Namun sebagaimana kaum radikal belum bisa menjawab bagaimana
bisa bebas dari birokrasi tapi sekaligus tak diatur oleh
mekanisme pasar melulu, kaum konservatif juga belum bisa
menyahut: bagaimana sebuah "pemerintahan minimal" bisa mencegah
berkecamuknya "liberalisme" dalam artinya yang paling dasar --
yakni keyakinan akan arti individu? Bagaimana akan timbul tertib
dan stabilitas, impian konservatif itu?
Tak heran bila Roger Scruton, yang bicara tentang "ideologi"
konservatif, salah satu kalimatnya berbunyi, ' . . . sama
dalamnya naluri pada seorang konservatif dan pada seorang
sosialis untuk melawan para pendekar "pemerintahan minimal"'
--The Meaning of Conservatisme (Penguin Books, 1980).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini