RICHARD Walsh, 39 tahun, bukan tokoh bisnis biasa. Dia direktur
dari usaha penerbitan yang terkemuka, Angus and Robertson di
Sydney. Tapi orang yang menyusun (bersama rekannya, George
Munster) buku Documents on Australian Defence and Foreign
Policy, 1968-1975 yang menghebohkan itu memang punya
latarbelakang "radikal".
Di tahun 60-an yang penuh protes anti perang Vietnam itu,
Walsh pernah dipenjarakan 6 bulan, meskipun kemudian
diperpendek. Dari sini ia kemudian mendirikan majalah sayap
kiri, Nation Review. Majalah ini kemudian ia tinggalkan. Ia
memasuki bisnis penerbitan, bergabung dengan Angus and
Robertson, penerbit tertua di Australia. Untuk bukunya,
Documents, ia memisahkan diri dari badan penerbit itu. Ia
rupanya sadar bahwa buku itu akan menimbulkan heboh politik
-meskipun mungkin ia tak sadar bahwa buku itu bisa laris.
Dan itu bermula di Minggu malam 9 November, pukul 8.30.
Walsh tengah menonton di tevenya film All The President's Men,
kisah terkenal pembongkaran skandal politik di masa Presiden
Nixon di AS, hasil keuletan dua wartawan. Pintu diketuk. Seorang
petugas menyerahkan surat perintah Mahkamah Tinggi: buku Walsh
dilarang terbit.
Walsh sendiri nampaknya jadi senang justru karena larangan
itu. Bukunya dapat publisitas hebat. Tapi ia membantah bahwa
bukunya akan merusak hubungan Indonesia-Australia. Kepada
wartawan TEMPO di Melbourne Walsh menyatakan: "Kami menerbitkan
buku ini bukannya untuk memprasangkai hubungan kita yang terus
berlangsung dengan Indonesia. Kami menerbitkan buku ini untuk
membuat hubungan antar negara sejujur mungkin . "
Ia menganggap publik Australia dibiarkan tak tahu oleh
pemerintahnya tentang urusan luar negeri. Dulu, 10 tahun yang
lalu, orang Australia diajari bahwa Cina adalah musuh terbesar.
Kini ternyata jadi kawan baik. Dulu, di bawah Perdana Menteri
Robert Menzies, Indonesia dianggap bahaya dari utara. Kini pun,
kata Walsh, orang Australia betul-betul "tak tahu tentang Asia,
politik dan kebudayaan Asia."
"Kami ingin buku ini mengisi kekurangan latarbelakang
tentang politik luar negeri, dan untuk menunjukkan bagaimana
cacatnya politik kita diwariskan." Tambah rekannya, George
Munster: "Saya kira para diplomat Indonesia yang disebut dalam
buku ini akan dinaikkan pangkatnya setelah ini." Sebab, menurut
Munster, dalam buku ini birokrat Indonesia terbukti lebih lihai
ketimbang rekan-rekan mereka orang Australia.(****)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini