Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

...Dan Tuan Street Datang Ke Jakarta

Kunjungan Menlu Anthony Street di Jakarta a.l membicarakan masalah penyatuan sejumlah keluarga Tim-tim di Australia. hubungan Indonesia-Australia sedang guncang, disebabkan diusirnya wartawan australia.(nas)

22 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG Indonesia memandang Australia dengan menghina? Percaya atau tidak, itulah kesan Sir Keith Shann, bekas Dubes Australia untuk Indonesia di tahun 1960-an sebelum Orde Baru lahir. Berbicara di depan sebuah seminar di Canberra akhir bulan lalu, Sir Keith menyimpulkan hal itu setelah kunjungannya ke Indonesia belum lama berselang. Dan ia memang menyebut kata scorn (memandang dengan menghina) untuk melukiskan sikap banyak orang Indonesia terhadap Australia. "Saya menyesal terpaksa menggunakan kata itu," kata diplomat terkemuka itu. Tapi, rupanya, ia tak punya kata lain yang lebih tepat. Banyak orang menilai ungkapan Sir Keith berlebih lebihan. Tapi apa boleh buat: hubungan Indonesia-Australia memang sedang kendur. Setidaknya, jika orang menguping pendapat sejumlah kecil pengambil keputusan di Jakarta. Beberapa hari setelah Sir Keith Shann menyebut kata scorn Bruce Grant, bekas Komisiorier tinggi Australia di India yang juga pengarang, menulis untuk koran The Age "Hubungan Indonesia dan Australia . . . sedang guncang sekarang." Guncang? Para pejabat di Canberra tak memakai kata itu. Tapi mercka mengakui ada dua soal yang menyebabkan guncangan itu--yang rupanya lebih jadi pikiran di Canberra daripada di Jakarta. Yang pertama adalah soal diusirnya wartawan Radio Australia di Jakarta. Yang kedua adalah, tentu saja, perkara sisa dari kejadian di Timor Timur. Perkara Radio Australia dimulai setelah wartawannya, Warwick Buetler tak diperpanjang visanya guna tinggal dan bekerja di Indonesia. Dari kalangan pemerintah diketahui alasan ketidaksenangan Indonesia terhadap Radio Australia: bagian dari Australian Broadcasting Commision (ABC) ini dianggap sering menyiarkan berita yang tak sedap bagi pemerintah -- dan dalam bahasa Indonesia pula. Mencoreng-moreng Di Australia sendiri ada yang ikut menyesali Radio Australia. Sir Keith Shann bahkan mengecam dengan tajam: "Dalam siaran kita ke Indonesia kita tak cukup menjalankan sikap menahan diri." Pihak Radio Australia tentu saja membantah. Mereka menyatakan, bahwa Radio Australia tidak bisa dikorbankan jadi propaganda untuk hubungan baik pemerintah Australia dengan pemerintah Indonesia. Penting sekali bila siaran Radio Australia dapat dipercaya. "Kalau tidak," kata seorang wartawannya, "akan merugikan segala pihak. Misalnya kalau suatu waktu Radio Australia memberitakan perkembangan baik di Indonesia, siapa bakal percaya lagi? " Di Kedutaan Besar Indonesia di Can berra--yang kini dipimpin seorang duta besar baru, Erman Harirustaman--kesadaran akan peliknya soal ini terasa dalam pelbagai percakapan. Diakui, lebih baik bila Radio Australia punya orangnya di Indonesia. Tanpa itu, informasi tentang Indonesia bisa lebih meleset. Tapi diakui pula, memang tak mudah bagi orang Indonesia untuk tak cemas melihat sikap terhadap Indonesia di kalangan luas media massa Australia. Mungkin itulah sebabnya pihak Departemen Penerangan nampaknya belum mau segera meluluskan bila ABC nanti meminta izin agar seorang wartawannya bekerja di Indonesia. "Kita menghendaki agar mereka tidak semena-mena di negara kita," kata Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, H. Soekarno SH kepada wartawan TEMPO awal pekan ini di kantornya. "Tidak ada balas dendam tapi sebagai negara berdaulat yang diserang dan didiskreditkan secara terus menerus dan tak proporsional, kita memang harus bertindak." Kesan tak enak memang sulit dihindarkan, bila orang Indonesia membaca herita tentang Indonesia di pers Australia. Sebagaimana tak banyak berita tentang Australia di Indonesia, begitu pula tak banyak berita tentang Indonesia di Australia. Dan di antara yang sedikit itu, sebagian besar berkenaan dengan wajah Indonesia yang--terutama setelah pergolakan di Timor Timur--nampak coreng-moreng. Terbunuhnya lima wartawan Australia di Timor Timur kian mempertajam ini. Pers Australia, terutama persatuan wartawannya, mendakwa pasukan Indonesia yang menembak mati kelima wartawan itu. Pemerintah Indonesia tentu saja membantah. Dan sejak itu, sebagaimana dilihat oleh para pejabat Indonesia, media massa Australia seakan gencar melancarkan perang pembalasan ke Jakarta. Tapi Timor Timur bukan cuma jadi sebab ketidak-enakan antara pers Australia dengan pemerintah Indonesia. Akibatnya juga sampai ke pemerintah Australia -- yang biasa bekerja dengan berhati-hati menghadapi opini di media massa. Dari sisa-sisa peristiwa integrasi Timor Timur ke wilayah Indonesia, terdapat satu masalah yang kini merepotkan hubungan antara kedua negara: masalah penyatuan sejumlah keluarga pengungsi. Menurut catatan pihak Australia, sejak 1978 ada sekitar 600 orang pengungsi dari Timor Timur yang bermukim di Australia. Mereka ini sedang berusaha agar dipersatukan kembali dengan keluarga mereka yang masih berada di wilayah Indonesia yang baru itu. Beberapa pej abat Australia, terutama di bagian imigrasi, mendesak Deplu mereka agar reuni keluarga itu tak dihambat-hambat pemerintah Indonesia. Kesan sementara kalangan di Canberra ialah bahwa para pejabat Jakarta cenderung tak menyukai terjadinya reuni itu. Diduga, sejumlah penduduk Timor Timur yang pergi ke Australia menyusul keluarganya, oleh Jakarta mungkin dikhawatirkan akan menjelek jelekkan keadaan di tanah asalnya--yang kini masuk kekuasaan Indonesia. Bagi pihak imigrasi, soal ini agak berlama-lama dipecahkan, hingga Canberra sendiri nampaknya kurang sabar. Mereka tetap menantikan hasil usaha wakil mereka disini, Dubes Tom Critchley. Namun, ketika Menlu Australia yang baru Anthony Street pekan lalu datang ke Jakarta--belum lagi seminggu ia duduk dalam jabatannya sekarang setelah PM Malcolm Fraser merombak kabinetnya--keadaan jadi nampak tak sebegitu buruk. Kata Street dalam konperensi pers di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat yang lalu: "Saya diberi jaminan oleh [Menlu Indonesia] Dr. Mochtar bahwa tak ada niat melarang izin keluar" bagi orang Timor Timur yang mau bergabung kembali dengan keluarga mereka. Sudah tentu urusan belum berarti selesai di situ. Street memang menyebutkan, sekitar 300 keluarga telah bergabung kembali. Sisanya, sekitar 200, "akan diatur melalui prosedur normal." Artinya, mereka harus menempuh jalan imigrasi yang biasa: harus punya paspor dan dapat exit pertit lebih dulu dari pemerintah Indonesia. Menurut Direktur Penerangan Luar Negeri Deplu Rl S.A.M. Alaydrus, Indonesia memang tak menutup kemungkinan mereka bisa berkumpul kembali dengan keluarga, yang sudah lebih dulu menyingkir ke Australia. Tapi itu tak akan diselenggarakan atas nama program "reuni famili". Program begitu agaknya dicemaskan akan mengharuskan Indonesia secara otomatis memberi izin keluar bagi siapa saja yang mengaku punya sanak keluarga di Australia. Sejauh mana soal ini dapat diselesaikan, hingga hubungan Indonesia-Australia tak lagi punya aral yang melintang, masih harus ditunggu. Street, 54 tahun, nampaknya orang yang cocok di saat ini. Halus dan berukuran kecil untuk standar benua Australia, Menlu yang baru itu diharapkan bisa bergaul enak dengan para pejabat Indonesia. Juga ASEAN. Garis besar politik luar negeri Australia tak berubah di bawahnya -dan pengaruhnya ke para pejabat Deplu di Canberra mungkin sekali terbatas -tapi gaya pribadinya bisa menolong. "Ia bukan seorang Peacock," kata seorang pejabat Deplu di Canberra, seraya mengingatkan bahwa peacock berarti burung merak yang suka memamerkan kebagusan bulunya. "la tak seperti Peacock, yang menurut lelucon bintang film Shirley MacLaine, satu-satunya orang yang punya sikat gigi merk Gucci." Bahan Omongan Andrew Peacock, Menlu yang lama, kini jadi Menteri Urusan Hubungan Industri--bertukar jabatan dengan Street. Di Indonesia Peacock yang tampan, pesolek dan suka berada di pusat perhatian itu cukup dikenal, tapi akhirnya dia bukanlah orang yang berbahagia dengan posisi Menlu. Di Australia, Menteri Luar Negeri hanya jadi bahan omongan sejumput akademisi. Waktu kabinet baru diumumkan Fraser dua pekan lalu, tak satu pun koran terkemuka Australia menampilkan wajah Menlunya yang baru. Selain tak menonjol, ada hal lain yang membedakan Street dari Peacock ia orang kepercayaan PM Fraser, sedangkan Peacock musuh politiknya dalam Partai Liberal. Hubungan Street dengan Fraser telah berlangsung lama--seraya pemimpin Australia yang jangkung itu membayang bayangi Tony yang kecil. Dalam posisi seperti itu, Tony Street bisa jadi harapan. Cuaca antara Indonesia-Australia toh sebenarnya tak buruk betul. Perdagangan antara kedua negara kian meningkat. Ekspor Indonesia ke Australia 1979-1980 naik hampir 140% dibanding masa sebelumnya, dengan catatan bahwa bagian pokoknya adalah minyak bumi. Impor Indonesia dari Australia naik sekitar 35%, sedangkan bantuan Australia untuk Indonesia sejak 1975 meningkat dari sekitar A$ 23 juta jadi A$ 38 juta. Yang agak sial ialah kejadian terakhir: terbitnya buku Documents on Ausralian Defence and Foreign Policy, 1968-1975, yang menurut para pejabat tinggi di Canberra bisa "merusak hubungan Australia-lndonesia" (lihat Media, dan Box).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus