ORANG Indonesia memandang Australia dengan menghina?
Percaya atau tidak, itulah kesan Sir Keith Shann, bekas Dubes
Australia untuk Indonesia di tahun 1960-an sebelum Orde Baru
lahir.
Berbicara di depan sebuah seminar di Canberra akhir bulan
lalu, Sir Keith menyimpulkan hal itu setelah kunjungannya ke
Indonesia belum lama berselang. Dan ia memang menyebut kata
scorn (memandang dengan menghina) untuk melukiskan sikap banyak
orang Indonesia terhadap Australia. "Saya menyesal terpaksa
menggunakan kata itu," kata diplomat terkemuka itu. Tapi,
rupanya, ia tak punya kata lain yang lebih tepat.
Banyak orang menilai ungkapan Sir Keith berlebih lebihan.
Tapi apa boleh buat: hubungan Indonesia-Australia memang sedang
kendur. Setidaknya, jika orang menguping pendapat sejumlah kecil
pengambil keputusan di Jakarta. Beberapa hari setelah Sir Keith
Shann menyebut kata scorn Bruce Grant, bekas Komisiorier tinggi
Australia di India yang juga pengarang, menulis untuk koran The
Age "Hubungan Indonesia dan Australia . . . sedang guncang
sekarang."
Guncang? Para pejabat di Canberra tak memakai kata itu. Tapi
mercka mengakui ada dua soal yang menyebabkan guncangan
itu--yang rupanya lebih jadi pikiran di Canberra daripada di
Jakarta. Yang pertama adalah soal diusirnya wartawan Radio
Australia di Jakarta. Yang kedua adalah, tentu saja, perkara
sisa dari kejadian di Timor Timur.
Perkara Radio Australia dimulai setelah wartawannya, Warwick
Buetler tak diperpanjang visanya guna tinggal dan bekerja di
Indonesia. Dari kalangan pemerintah diketahui alasan
ketidaksenangan Indonesia terhadap Radio Australia: bagian dari
Australian Broadcasting Commision (ABC) ini dianggap sering
menyiarkan berita yang tak sedap bagi pemerintah -- dan dalam
bahasa Indonesia pula.
Mencoreng-moreng
Di Australia sendiri ada yang ikut menyesali Radio
Australia. Sir Keith Shann bahkan mengecam dengan tajam: "Dalam
siaran kita ke Indonesia kita tak cukup menjalankan sikap
menahan diri."
Pihak Radio Australia tentu saja membantah. Mereka
menyatakan, bahwa Radio Australia tidak bisa dikorbankan jadi
propaganda untuk hubungan baik pemerintah Australia dengan
pemerintah Indonesia. Penting sekali bila siaran Radio Australia
dapat dipercaya. "Kalau tidak," kata seorang wartawannya,
"akan merugikan segala pihak. Misalnya kalau suatu waktu Radio
Australia memberitakan perkembangan baik di Indonesia, siapa
bakal percaya lagi? "
Di Kedutaan Besar Indonesia di Can berra--yang kini dipimpin
seorang duta besar baru, Erman Harirustaman--kesadaran akan
peliknya soal ini terasa dalam pelbagai percakapan. Diakui,
lebih baik bila Radio Australia punya orangnya di Indonesia.
Tanpa itu, informasi tentang Indonesia bisa lebih meleset. Tapi
diakui pula, memang tak mudah bagi orang Indonesia untuk tak
cemas melihat sikap terhadap Indonesia di kalangan luas media
massa Australia.
Mungkin itulah sebabnya pihak Departemen Penerangan
nampaknya belum mau segera meluluskan bila ABC nanti meminta
izin agar seorang wartawannya bekerja di Indonesia. "Kita
menghendaki agar mereka tidak semena-mena di negara kita," kata
Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, H. Soekarno SH kepada
wartawan TEMPO awal pekan ini di kantornya. "Tidak ada balas
dendam tapi sebagai negara berdaulat yang diserang dan
didiskreditkan secara terus menerus dan tak proporsional, kita
memang harus bertindak."
Kesan tak enak memang sulit dihindarkan, bila orang
Indonesia membaca herita tentang Indonesia di pers Australia.
Sebagaimana tak banyak berita tentang Australia di Indonesia,
begitu pula tak banyak berita tentang Indonesia di Australia.
Dan di antara yang sedikit itu, sebagian besar berkenaan dengan
wajah Indonesia yang--terutama setelah pergolakan di Timor
Timur--nampak coreng-moreng.
Terbunuhnya lima wartawan Australia di Timor Timur kian
mempertajam ini. Pers Australia, terutama persatuan wartawannya,
mendakwa pasukan Indonesia yang menembak mati kelima wartawan
itu. Pemerintah Indonesia tentu saja membantah. Dan sejak itu,
sebagaimana dilihat oleh para pejabat Indonesia, media massa
Australia seakan gencar melancarkan perang pembalasan ke Jakarta.
Tapi Timor Timur bukan cuma jadi sebab ketidak-enakan antara
pers Australia dengan pemerintah Indonesia. Akibatnya juga
sampai ke pemerintah Australia -- yang biasa bekerja dengan
berhati-hati menghadapi opini di media massa. Dari sisa-sisa
peristiwa integrasi Timor Timur ke wilayah Indonesia, terdapat
satu masalah yang kini merepotkan hubungan antara kedua negara:
masalah penyatuan sejumlah keluarga pengungsi.
Menurut catatan pihak Australia, sejak 1978 ada sekitar 600
orang pengungsi dari Timor Timur yang bermukim di Australia.
Mereka ini sedang berusaha agar dipersatukan kembali dengan
keluarga mereka yang masih berada di wilayah Indonesia yang baru
itu. Beberapa pej abat Australia, terutama di bagian imigrasi,
mendesak Deplu mereka agar reuni keluarga itu tak
dihambat-hambat pemerintah Indonesia.
Kesan sementara kalangan di Canberra ialah bahwa para
pejabat Jakarta cenderung tak menyukai terjadinya reuni itu.
Diduga, sejumlah penduduk Timor Timur yang pergi ke Australia
menyusul keluarganya, oleh Jakarta mungkin dikhawatirkan akan
menjelek jelekkan keadaan di tanah asalnya--yang kini masuk
kekuasaan Indonesia. Bagi pihak imigrasi, soal ini agak
berlama-lama dipecahkan, hingga Canberra sendiri nampaknya
kurang sabar. Mereka tetap menantikan hasil usaha wakil mereka
disini, Dubes Tom Critchley.
Namun, ketika Menlu Australia yang baru Anthony Street pekan
lalu datang ke Jakarta--belum lagi seminggu ia duduk dalam
jabatannya sekarang setelah PM Malcolm Fraser merombak
kabinetnya--keadaan jadi nampak tak sebegitu buruk. Kata Street
dalam konperensi pers di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat yang
lalu: "Saya diberi jaminan oleh [Menlu Indonesia] Dr. Mochtar
bahwa tak ada niat melarang izin keluar" bagi orang Timor Timur
yang mau bergabung kembali dengan keluarga mereka.
Sudah tentu urusan belum berarti selesai di situ. Street
memang menyebutkan, sekitar 300 keluarga telah bergabung
kembali. Sisanya, sekitar 200, "akan diatur melalui prosedur
normal." Artinya, mereka harus menempuh jalan imigrasi yang
biasa: harus punya paspor dan dapat exit pertit lebih dulu dari
pemerintah Indonesia.
Menurut Direktur Penerangan Luar Negeri Deplu Rl S.A.M.
Alaydrus, Indonesia memang tak menutup kemungkinan mereka bisa
berkumpul kembali dengan keluarga, yang sudah lebih dulu
menyingkir ke Australia. Tapi itu tak akan diselenggarakan atas
nama program "reuni famili". Program begitu agaknya dicemaskan
akan mengharuskan Indonesia secara otomatis memberi izin keluar
bagi siapa saja yang mengaku punya sanak keluarga di Australia.
Sejauh mana soal ini dapat diselesaikan, hingga hubungan
Indonesia-Australia tak lagi punya aral yang melintang, masih
harus ditunggu. Street, 54 tahun, nampaknya orang yang cocok di
saat ini. Halus dan berukuran kecil untuk standar benua
Australia, Menlu yang baru itu diharapkan bisa bergaul enak
dengan para pejabat Indonesia. Juga ASEAN. Garis besar politik
luar negeri Australia tak berubah di bawahnya -dan pengaruhnya
ke para pejabat Deplu di Canberra mungkin sekali terbatas -tapi
gaya pribadinya bisa menolong.
"Ia bukan seorang Peacock," kata seorang pejabat Deplu di
Canberra, seraya mengingatkan bahwa peacock berarti burung merak
yang suka memamerkan kebagusan bulunya. "la tak seperti Peacock,
yang menurut lelucon bintang film Shirley MacLaine, satu-satunya
orang yang punya sikat gigi merk Gucci."
Bahan Omongan
Andrew Peacock, Menlu yang lama, kini jadi Menteri Urusan
Hubungan Industri--bertukar jabatan dengan Street. Di Indonesia
Peacock yang tampan, pesolek dan suka berada di pusat perhatian
itu cukup dikenal, tapi akhirnya dia bukanlah orang yang
berbahagia dengan posisi Menlu. Di Australia, Menteri Luar
Negeri hanya jadi bahan omongan sejumput akademisi. Waktu
kabinet baru diumumkan Fraser dua pekan lalu, tak satu pun koran
terkemuka Australia menampilkan wajah Menlunya yang baru.
Selain tak menonjol, ada hal lain yang membedakan Street
dari Peacock ia orang kepercayaan PM Fraser, sedangkan Peacock
musuh politiknya dalam Partai Liberal. Hubungan Street dengan
Fraser telah berlangsung lama--seraya pemimpin Australia yang
jangkung itu membayang bayangi Tony yang kecil.
Dalam posisi seperti itu, Tony Street bisa jadi harapan.
Cuaca antara Indonesia-Australia toh sebenarnya tak buruk betul.
Perdagangan antara kedua negara kian meningkat. Ekspor Indonesia
ke Australia 1979-1980 naik hampir 140% dibanding masa
sebelumnya, dengan catatan bahwa bagian pokoknya adalah minyak
bumi. Impor Indonesia dari Australia naik sekitar 35%, sedangkan
bantuan Australia untuk Indonesia sejak 1975 meningkat dari
sekitar A$ 23 juta jadi A$ 38 juta.
Yang agak sial ialah kejadian terakhir: terbitnya buku
Documents on Ausralian Defence and Foreign Policy, 1968-1975,
yang menurut para pejabat tinggi di Canberra bisa "merusak
hubungan Australia-lndonesia" (lihat Media, dan Box).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini