Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Lindungi Petani di Tuban

Penangkapan tiga petani di Tuban yang sedang berdemo menentang perluasan kilang PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) ketika Presiden Joko Widodo datang ke sana, Sabtu pekan lalu, mencoreng arang ke wajah pemerintah sendiri.

24 Desember 2019 | 09.35 WIB

Ilustrasi petani. REUTERS/Beawiharta
Perbesar
Ilustrasi petani. REUTERS/Beawiharta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penangkapan tiga petani di Tuban yang sedang berdemo menentang perluasan kilang PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) ketika Presiden Joko Widodo datang ke sana, Sabtu pekan lalu, mencoreng arang ke wajah pemerintah sendiri. Kalau aksi represi ala Orde Baru semacam ini diteruskan, jangan salahkan publik jika mereka merasa pemerintahan Jokowi semakin mirip rezim Soeharto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penangkapan petani tersebut jelas antidemokrasi. Apalagi ini bukan yang pertama. Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, sepanjang periode pertama pemerintahan Jokowi (2014-2019), lebih dari 200 petani dan aktivis lingkungan ditangkap karena menyuarakan pendapat. Mereka dicokok karena berani menolak pembangunan yang tak ramah lingkungan dan perampasan lahan pertanian milik petani kecil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Tuban, para petani hanya ingin Jokowi melihat dan mendengarkan suara mereka yang menolak perluasan area TPPI ke lahan pertanian mereka. TPPI, yang mayoritas sahamnya dimiliki pemerintah melalui PT Pertamina, saat ini berdiri di atas lahan 328 hektare. Pertamina sedang menimbang untuk menambah pembebasan lahan dari penduduk atau mereklamasi 200 hektare pantai utara Jawa.

Para petani menolak rencana TPPI karena lahan itu satu-satunya penghidupan mereka. Tiga petani hendak membentangkan spanduk penolakan ketika Jokowi, yang ditemani Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir dan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, datang. Sebelum itu terjadi, polisi meringkus tiga petani tersebut, merampas telepon seluler mereka, dan menghapus gambar serta videonya.

Tindakan polisi itu melanggar setidaknya tiga undang-undang: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik. Berdemo dan menyuarakan pendapat juga dilindungi Undang-Undang Dasar 1945.

Jokowi tak bisa berpangku tangan dan sekadar menyalahkan polisi atas insiden ini. Polisi juga jangan membodohi publik dengan berdalih penangkapan dilakukan sekadar untuk menginterogasi petani. Merampas telepon seluler dan menghapus isinya adalah pelanggaran hak privasi-tulang punggung kebebasan individu yang menjadi fondasi dalam demokrasi. Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Polri mesti mengusut penangkapan itu dan menjatuhkan sanksi terhadap pelakunya.

Kita tahu pembangunan kilang petrokimia adalah penopang niat Jokowi membangun perekonomian Indonesia yang maju dan mandiri. Produksi petrokimia dari kilang di Tuban sangat diperlukan untuk mengurangi defisit neraca berjalan kita. Tapi Jokowi mesti ingat bahwa investasi yang sembrono justru akan memicu bencana lingkungan yang lebih hebat.

Industrialisasi-meski penting untuk Indonesia-harus ditempuh dengan cara-cara yang ramah lingkungan. Merampas hak hidup petani dengan mengkonversi lahan mereka, jika tak dilakukan secara cermat, akan melemahkan sektor pertanian yang selama ini menjadi salah satu andalan ekonomi kita.

Catatan:

Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 24 Desember 2019

 

 
Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus