Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Janda Greg Shackleton, salah satu korban Balibo Five.
ENAM hari setelah suami saya, Greg Shackleton, berangkat ke Timor Portugis guna sebuah tugas jurnalistik untuk Channel Seven, saya bangun pagi-pagi dan langsung membuat kopi. Saat itu pertengahan Oktober 1975. Sayup-sayup di radio ABC, ada pengumuman tentang sejumlah jurnalis Australia yang hilang.
Saya cepat-cepat lari ke pesawat telepon, menghubungi redaksi radio ABC. Seorang penyiar pria yang baru membacakan berita tentang hilangnya wartawan di Timor itu menerima telepon saya, tapi menolak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. ”Siapa yang hilang?” saya bertanya, berulang-ulang. ”Saya hanya ingin tahu apa yang tadi Anda umumkan di radio,” saya tegaskan lagi. ”Suami saya mungkin termasuk mereka yang hilang.”
Si penyiar radio bungkam, sebelum akhirnya menya rankan, ”Anda akan diberi tahu secara resmi oleh Kementerian Luar Negeri.” Saya tidak mau menyerah, ”Tapi saya belum diberi tahu sampai sekarang.” Si penyiar tetap menolak memberikan informasi mendetail. Tapi kebisuannya memberi tahu saya: suami saya memang hilang, dan si penyiar malang tidak berani menyampaikan kabar buruk ini kepada saya.
Saya termangu mendengarkan kebisuan ini. Saya tidak sadar, sejak itulah saya memasuki sebuah lingkaran kebisuan yang akan memendam semua fakta dan kebenaran selama 40 tahun berikutnya, dan terus sampai saat ini.
Sebelum semua ini terjadi, saya sempat membaca di media bahwa Presiden Soeharto membantah kabar bahwa Indonesia berencana menginvansi Timor Portugis. Saya lega mendengarnya. Namun pesan terakhir suami saya sebelum berangkat ke Timor terus terngiang di kepala saya: kalau dia sampai tertangkap, dan dipenjara tanpa perawatan kesehatan, dia akan mati bahkan oleh serangan asma.
”Bayangkan saja situasi di penjara negara Dunia Ketiga. Kalau saya tertangkap, tolong lakukan apa pun untuk membebaskan saya. Jual rumah kita, keluarkan saya dari sana.” Pesan itu mengungkap dengan jelas ketegangan dan dinamika hubungan saya dan suami saya. Meski kami hampir berpisah saat itu, dia percaya pada saya. Kepercaya annya pada saya itulah yang membuat saya tenang.
Sejak pertama kali mendengar kabar ini, saya sudah merasakan bahwa suami saya sudah meninggal. Radio ABC berkali-kali menyiarkan bahwa ada lima jurnalis yang hilang saat itu. Mitra kerja suami saya: Gary Cunningham dan Tony Stewart. Ada lagi satu tim berbeda dari Channel Nine: Brian Peters dan Malcom Reny. Pesan Greg ”Keluarkan saya dari sana” terus berputar di kepala saya.
Dalam bukunya, Butir-butir Budaya Jawa, Presiden Soeharto menegaskan bahwa ada lima jenis kebohongan yang tidak bisa dihukum. Pertama, kebohongan yang di sampaikan dalam pertemuan sosial; kedua, kebohongan kepada pasangan Anda pada hari pernikahan Anda; ketiga, kebohongan untuk melindungi kekayaan Anda; keempat, kebohongan yang dibutuhkan untuk menyelamatkan nyawa Anda; dan kelima, kebohongan untuk melindungi keluarga.
Saya ingin melindungi keluarga saya, tapi saya tidak bisa berbohong, terutama kepada Evan, anak lelaki saya yang saat itu berusia delapan tahun. Suatu hari, dia pulang dari sekolah dengan marah. Kawan-kawannya di kelas meng ejek dia dengan lagu:
Ding dong your Dad’ is dead;
King Kong bashed his head.
(Dingdong, ayahmu sudah mati;
Kingkong memukul kepalanya)
Dalam tiga minggu berikutnya, sebuah peringatan di taman umum dan kebaktian gereja digelar tergesa. Padahal Balibo Five demikian kelima jurnalis ini kemudian disebut belum dinyatakan meninggal secara resmi. Pidato, musik, dan ketiadaan peti mati dalam semua acara itu membuat semua jadi terkesan palsu. Saya mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa semua ini untuk memberi penghormatan pada kelima korban. Tapi kenapa tidak ada yang bertanya, ke mana jenazah kelima korban ini.
Beberapa pekan kemudian, pada awal Desember 1975, saya menerima sebuah telegram dari Jakarta. Saya sempat berharap akan ada kabar baik: apakah suami saya masih hidup? Pengirimnya seseorang bernama ”Dokter Will”, petugas kesehatan di Kedutaan Australia di Jakarta. Dia menulis bahwa dia telah menerima sisa jenazah kelima jurnalis Balibo untuk diidentifikasi. Satu-satunya identifikasi yang bisa dia berikan atas sisa-sisa jasad itu adalah bahwa ”itu kemungkinan besar sisa jenazah manusia”.
Mereka dibunuh pada 16 Oktober 1975. Lutut saya bergetar ketika saya membaca huruf demi huruf di telegram itu. Meski saat itu tes DNA belum seakurat saat ini, saya yakin sepotong kulit, rambut, atau kuku cukup untuk memastikan sebuah jasad berasal dari manusia atau bukan. Tapi dokter ini bahkan tidak bisa memastikan jasad itu adalah manusia atau bukan. Hanya kemungkinan. Saya lari ke luar rumah, menangis frustrasi. Kenapa sisa-sisa jasad itu tidak dikirim saja ke Australia? Kenapa dikirim ke Jakarta?
Pada hari itu juga saya menerima telepon dari Kementerian Luar Negeri Australia. Seorang diplomat menjelaskan bahwa saya harus membayar 48 ribu dolar jika mau membawa jenazah suami saya pulang. ”Apakah Anda paham, Bu? Anda harus membayar.”
Tangan saya kembali gemetar: rupanya si petugas tidak tahu bahwa saya sudah mendapat telegram yang menjelaskan ”jenazah” yang mereka sebut-sebut itu hanya ”kemungkinan besar manusia”. Saya menarik napas.
”Apakah jenazah mereka ada di lima peti jenazah?”
”Ah... (si diplomat terdiam lama), eh, tidak.”
”Jadi, jenazahnya di lima kotak?”
”Tidak.”
”Jadi kelima jenazah ini dimasukkan bersama-sama ke sebuah kotak sepatu?”
Pria di ujung telepon terdiam lebih lama lagi. Saya mulai tidak sabar. Saya lalu membacakan telegram yang saya terima, tanpa menyebutkan dari mana informasi itu saya terima. Dengan marah, saya tegaskan bahwa mereka boleh melakukan apa pun yang mereka mau terhadap kelima sisa jenazah itu. Suami saya dan keempat rekannya jelas manusia..., bukan ”kemungkin besar manusia”.
Diplomat yang menghubungi saya itu lalu menulis lapor an bahwa saya sudah memberikan izin untuk sebuah upacara pemakaman di Jakarta saja. Dia juga menulis bahwa saya menolak mengirimkan bunga. Pemakaman itu ak hir nya dilakukan di Kuburan Karet, Tanah Abang, pada 5 Desember 1975. Tak ada satu pun keluarga korban yang diundang datang. Yang dikubur saat itu hanya satu peti mati. Dua hari kemudian, Indonesia menginvasi Timor Timur.
Tiga puluh lima tahun kemudian, meskipun ada temuan penyidikan koroner yang menyimpulkan kelima wartawan ini tewas dibunuh oleh tim Susi yang dipimpin Kapten Yunus Yosfiah, pemerintah Australia dan Indonesia terus-menerus menyebar kabar fiksi bahwa mereka tewas karena terjebak baku tembak. Padahal banyak saksi menyebut saat itu, Falintil sudah mundur jauh dari Balibo.
Dua pekan lalu, saya datang ke Jakarta dan menengok makam itu. Pada 1979, makam itu dipindah ke Tanah Kusir, di Kebayoran Lama, karena ada proyek pembangunan di kuburan lama. Kuburan yang baru itu tampak terpencil dan sedih. Banyak yang sudah hilang dari makam aslinya.
Sudah saatnya penghinaan ini berakhir. Saya ingin jena zah suami saya dikembalikan ke Melbourne. Saya yakin se bagian besar keluarga korban yang lain punya keingin an yang sama. Kalau ada yang tidak sepakat, itu pun bisa diatur.
Melbourne, 18 Juli 2010
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo