Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo mulai terbiasa bermain kejutan. Setelah tiga bulan lalu mengangkat sembilan anggota panitia seleksi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi yang semuanya perempuan, pekan kemarin ia menunjuk Teten Masduki sebagai Kepala Staf Kepresidenan.
Hingga saat terakhir, para "pengamat" dan penggunjing belantika politik Indonesia tak memperhitungkan nama Teten Masduki untuk kursi yang ditinggalkan Luhut B. Pandjaitan itu. Nama yang beredar justru meliputi seorang jenderal TNI Angkatan Darat, seorang pengamat, bahkan seseorang yang baru saja tergusur dari kursi kabinet.
Teten Masduki datang dari gelanggang aktivis. Selama sepuluh tahun ia memimpin Indonesia Corruption Watch, bahkan sampai sekarang—sejak 2009—tercatat sebagai sekretaris jenderal Transparency International chapter Indonesia. Ketika Joko Widodo mulai merangkak menuju kursi presiden, Teten bergabung dalam tim kampanye mantan Wali Kota Solo itu.
Di panggung birokrasi, jejak langkah Teten tak gilap nian. Percobaannya memasuki dunia pemerintahan dimulai dengan mendampingi Rieke Diah Pitaloka dalam pemilihan kepala daerah Jawa Barat, sebagai calon wakil gubernur. Percobaan itu kandas. Jokowi kemudian merekrut Teten—bersama Sukardi Rinakit—sebagai anggota Tim Komunikasi Presiden. "Produk" pertama tim itu adalah masukan salah kaprah tentang kota kelahiran Bung Karno, sehingga ketika Presiden Joko Widodo berpidato di Blitar, ia terkesan linglung. Lagi pula, baik sebelum maupun sesudah pembentukan tim itu, komunikasi Presiden terasa begitu-begitu saja—tanpa perubahan signifikan.
Kini, dengan jabatannya yang baru, Teten sebetulnya menduduki "kursi panas". Beredar gunjingan yang menyatakan kursi itu sesungguhnya diciptakan untuk menampung Luhut B. Pandjaitan, yang tak lolos "seleksi" dalam pembentukan kabinet pertama. Kursi itu juga hanyalah semacam "ancangan", sebelum Luhut duduk di jabatannya yang dirancang sejak semula: Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Dari awal jabatan ini sudah mengundang kontroversi. Pertanyaan utama adalah apakah lembaga ini memang diperlukan. Bukankah Presiden sudah punya 36 menteri, lebih dari dua kali jumlah menteri dalam kabinet Presiden Barack Obama? Dalam Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2015 tentang Kantor Staf Presiden, tugas lembaga ini juga luar biasa: memberi dukungan komunikasi politik dan pengelolaan isu strategis serta pengendalian program prioritas nasional, yakni infrastruktur, kemaritiman, pangan, energi, dan pariwisata.
Dengan rentang tugas demikian luas, sungguh berat beban yang diemban Teten. Ia dituntut bak pendekar silat yang bermain di antara kelewang dan api, mengingat di sekitar Istana juga sudah berkeliaran para "pendekar kegelapan" dan "pendekar proyek", yang berebutan menagih janji atas "jasa" mereka mendudukkan Jokowi di kursi presiden. Teten sendiri mungkin bingung, karena kriteria untuk pengemban jabatan ini memang tak jelas. Bayangkan, dari jenderal bintang tiga pasukan khusus yang pernah mengemban tugas diplomatik dan menteri kabinet, jabatan itu bisa saja dialihkan kepada mantan aktivis yang pengalaman birokrasinya seumur jagung.
Teten tentu diharapkan mengerahkan seluruh kemampuannya mengemban jabatan ini. Ia harus bermain tak kepalang tanggung: to be or not to be. Tindakan kompromistis hanya akan membuat ia tampak konyol. Ia harus menjadi bagian yang berusaha membebaskan Istana dari "hama" dan "gulma".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo