Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Waseso, Wasalam...

7 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sungguh berbahaya bila publik melihat pencopotan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Komisaris Jenderal Budi Waseso secara tidak menyeluruh. Orang bisa saja menganggap Waseso sebagai korban. Ia seolah-olah disingkirkan gara-gara nekat membongkar kasus penimbunan sapi, dugaan korupsi dana sosial Pertamina, atau pengadaan crane PT Pelindo II.

Waseso selama ini mengatakan tindakannya semata demi penegakan hukum. Pernyataan itu seakan-akan sejalan dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015, pertengahan Juni lalu. Aturan tentang penetapan dan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan barang penting itu cakupannya terlalu luas: dari perlindungan produksi sampai pengelolaan impor-ekspor. Akibatnya, pasal-pasal dalam peraturan itu laksana "karet", penafsirannya bisa molor ke sana-kemari, tergantung kepentingan penafsirnya. Dari peraturan yang "kabur" inilah agaknya polisi merasa punya kewenangan ikut "menegakkan hukum" di sektor ekonomi riil itu. Dalam kasus penimbunan sapi dan beras, sebagai contoh, polisi yang mungkin merasa "terpanggil" itu akhirnya terlihat hilir-mudik masuk "pasar". Ketika Waseso dicopot, masyarakat gampang menduga Presiden telah memberhentikan orang yang bertindak benar dan menjalankan peraturan presiden.

Pencopotan Waseso selayaknya dilihat dari sudut lain. Sejak dilantik sebagai Kepala Bareskrim, Januari lalu, Waseso tak hentinya memunculkan kontroversi. Hanya empat hari setelah ia duduk di kursinya, Bareskrim sudah menangkap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto. Kasus yang didakwakan pada Bambang ternyata sudah berumur lebih dari lima tahun, yakni dugaan kesaksian palsu pada sengketa pemilihan kepala daerah Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi. Setelah kepolisian menyematkan status tersangka, Bambang langsung nonaktif dari KPK.

Sulit untuk percaya Waseso dan Bareskrim sekadar menjalankan penegakan hukum ketika Ketua KPK Abraham Samad juga ditetapkan sebagai tersangka. Kasusnya juga tergolong tua: dugaan pemalsuan dokumen kependudukan delapan tahun lalu di Makassar. Seperti halnya Bambang Widjojanto, setelah menjadi tersangka, Abraham Samad nonaktif dari KPK. Kehilangan dua pemimpin, komisi antirasuah itu goyah.

Tidak sulit membaca motif Waseso membuka kasus-kasus lama pimpinan KPK. Dua pemimpin KPK itu menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi ketika menjabat Kepala Biro Pembinaan Markas Besar Polri pada 2003-2006. Akibat status itu, Budi Gunawan, yang sudah lolos saringan Dewan Perwakilan Rakyat, gagal dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Kepolisian RI.

Motif balas dendam ini berkali-kali dibantah kepolisian, tapi tindakan lanjutan Bareskrim justru menguatkan dugaan itu. Setelah Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, pada Februari lalu giliran kasus Novel Baswedan, yang dianggap ikut memeriksa kasus Budi Gunawan, diungkit: sangkaan menembak kaki pencuri sarang walet ketika bertugas di Bengkulu pada 2004. Bahkan, pada Maret lalu, Bareskrim menetapkan mantan Wakil Menteri Hukum Denny Indrayana sebagai tersangka kasus payment gateway. Denny selama ini dikenal sangat aktif membantu KPK.

Dalih penegakan hukum yang selalu menjadi senjata Budi Waseso ternyata tidak berlaku untuk semua orang. Dalam kasus Budi Gunawan, sikap Waseso melunak. Ia menyetujui penghentian perkara Budi Gunawan setelah pengadilan membatalkan status tersangka bekas ajudan Megawati Soekarnoputri itu. Tindakan tebang pilih itulah yang langsung mematahkan argumen penegakan hukum yang selama ini gencar dikemukakan Waseso. Penolakan Waseso untuk menyerahkan daftar kekayaan—sesuatu yang diwajibkan undang-undang—juga menunjukkan ia tidak taat hukum. Sikapnya yang tak menggubris instruksi Presiden, untuk tidak lagi mengkriminalkan pihak atau lembaga hukum yang berseberangan dengan Polri, bukan contoh yang baik dari pejabat sepenting pemimpin Bareskrim.

Tidak terlalu salah melihat pencopotan Waseso sebagai sinyal menguatnya posisi politik Presiden Jokowi. Selama ini ada anggapan Presiden tidak mampu menjinakkan Waseso lantaran pengaruh Budi Gunawan, yang kini menjabat Wakil Kepala Polri. Banyak orang tahu ia mendapat sokongan dari PDI Perjuangan. Dalam kasus penggantian Waseso, PDI Perjuangan terang-terangan menunjukkan penolakannya. Toh, Kepala Polri, dengan sokongan Presiden Jokowi, jalan terus: Waseso segera digeser menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional.

Kepala Bareskrim lama diganti tentu bukan lantaran ia terlalu bersemangat sehingga terjebak offside. Alasan pencopotan Waseso merupakan akumulasi semua kesalahan yang telah ia lakukan. Inilah yang harus diperhatikan Kepala Bareskrim yang baru. Tak seperti Budi Waseso, ia sepatutnya menunjukkan pembelaan pada pemberantasan korupsi, tidak tebang pilih, dan tidak selalu membuat gaduh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus