Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sukar untuk tidak membandingkan rangkaian demonstrasi "Bersih" yang menuntut Perdana Menteri Malaysia Najib Razak mundur dengan situasi Indonesia pada Mei 1998. Memang, tak ada kerusuhan, karena pihak keamanan dan para demonstran menahan diri. Tapi tak mustahil Najib, seperti halnya Soeharto, akhirnya harus tunduk pada tuntutan people power yang bergaung di jalan-jalan protokol Kuala Lumpur pekan lalu.
Sepintas lalu gerakan orang-orang berkaus kuning ini seperti gejala di mana-mana: menunjukkan tumbuhnya kesadaran politik kelas menengah. Kesadaran yang kali ini di Malaysia ditandai dengan penolakan terhadap penjelasan pemerintah yang dinilai "melecehkan akal sehat" dalam kasus dana misterius di rekening Najib.
Ya, Najib tak sepenuhnya berhasil meyakinkan rakyat Malaysia bahwa dana US$ 700 juta dalam rekening pribadinya tidak berasal dari utang 1MDB, sebuah badan usaha pemerintah. Ada sejumlah penjelasannya tentang ini. Termasuk pernyataannya yang menggelikan tapi kemudian memancing kemarahan banyak orang: uang tersebut berasal dari sumbangan seseorang di Timur Tengah.
Ada satu yang perlu diingat Najib. Pembelaan diri dengan mengatakan people power ini "dangkal dan tidak menunjukkan semangat cinta tanah air" serta tak didukung orang banyak jelas memperlihatkan kegagalan sang Perdana Menteri memahami watak kesadaran baru. Semestinya dia menarik pelajaran dari kejatuhan Soeharto pada 1998.
Tentu saja Najib tidak sama dengan Soeharto. Namun sukar ditampik bahwa retorika antinasionalis dan tudingan people power hanya mewakili segelintir orang yang sakit hati ini mengingatkan saat-saat terakhir kekuasaan Soeharto. Seperti Soeharto dulu, kekuasaan Najib, juga pendahulunya, ditopang undang-undang Malaysia—termasuk pasal karet Internal Security Act—yang memberi peluang besar bagi pemerintah untuk berlaku sewenang-wenang.
Lebih dari satu dekade silam, pemerintah Perdana Menteri Mahathir telah mendemonstrasikan betapa efektifnya undang-undang warisan kolonial ini buat menghabisi lawan politiknya. Termasuk menghabisi bekas wakil perdana menterinya: Anwar Ibrahim. Najib melanjutkan tradisi dengan patuh. Terakhir, ia memecat Wakil Perdana Menteri Muhyiddin Yassin dan melengserkan empat menteri dan wakil menteri yang berani mempertanyakan dana misterius di atas.
Namun Malaysia telah berubah. Kelas menengah kian sadar politik. Ditambah jepitan krisis keuangan yang membuat ringgit Malaysia terpuruk di hadapan dolar Amerika dan dolar Singapura, langkah-langkah represif Najib justru bisa menjadi senjata makan tuan.
Bukan tak mungkin pada saatnya Najib akan memainkan isu rasial untuk memecah belah kalangan oposisi dan kelompok kaus kuning ini. Jika itu yang dilakukan, harus diingat, ada harga sangat mahal yang harus dibayar jika Najib kemudian tak berhasil menjelaskan dengan meyakinkan dari mana US$ 700 juta itu berasal. Dengan kata lain, ia hanya menambah panjang daftar kesalahannya melalui "pembohongan publik" dan "memecah belah persatuan".
Diakui atau tidak, salah satu pelajaran penting dari kejatuhan Soeharto adalah kegagalan Presiden Indonesia kedua ini membaca tanda-tanda kapan ia harus mundur. Desoehartoisasi besar-besaran tak perlu terjadi apabila sebelum 1998 Soeharto mundur dari takhta kepresidenannya.
Sayang sekali jika Najib terperangkap dalam alam pikirannya sendiri, seraya mempercayai bahwa mayoritas masyarakat masih setia di belakangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo