Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Masih Perlukah Pembeda Gender?

14 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ibnu Wahyudi

Kalau akhirnya kita mafhum bahwa sebuah kata bisa tak menunjuk jenis kelamin tertentu, punya jenis kelamin tertentu, atau seakan berjenis kelamin ganda, so what gitu loh? Bukan sekadar kesadaran semacam ini yang selayaknya kita tunjukkan, melainkan pada cara meretas kegamangan dan kepengungan berbahasa kita. Adanya sebuah koran yang pernah memakai kata "nakerwati" sebagai kata berkelamin perempuan, pasangan kata "nakerwan", adalah contoh kepengungan itu. Bayangkan, "nakerwan" yang kependekan dari tenaga kerja wanita masih juga punya sebutan yang menunjukkan kefemininan.

Sangat mudah ditebak, kata "nakerwati" itu muncul tiada lain agaknya sebagai bentuk sejajar dengan, misalnya, "wartawati" atau "sastrawati". Yang menjadi soal, adakah bentukan dengan sufiks "-wati" atau juga perubahan bunyi "a" menjadi "i" dapat mewujud secara terang dan konsisten dalam bahasa Indonesia. Dan, apakah juga kita perlukan?

Terlalu banyak contoh ketidakkonsistenan dalam menerapkan kata yang maunya berbasis gender ini. Misalnya, orang akan mengatakan bahwa gadis itu "rupawan" alih-alih "rupawati". Demikian pula, berapa kali kita mendengar sebutan "almarhum", padahal yang dirujuk adalah seorang wanita yang telah meninggal.

Atau sebaliknya, terjadi semacam rekayasa yang berlandaskan pada pembentukan kata yang sesungguhnya mencederai kelaziman. Sebagai contoh, adanya bentukan "remaji" atau "taruni" bisa saja menunjukkan keproduktifan pembentukan kata dalam bahasa Indonesia, namun di sisi lain mendatangkan kegelian atau bahkan cemoohan karena adanya kesan mengada-ada.

Namun inilah yang terjadi. Perbedaan gender yang sering dinyatakan dengan bunyi-akhir "a" dan "i", selain dengan akhiran "-wan" atau "-wati", terkadang menimbulkan masalah. Dalam undangan, misalnya, biasa tertulis "saudara/i" yang artinya tentu adalah saudara atau saudari. Tapi kalau ada yang memaknai sebagai "saudara" atau "i" saja, ya, jangan disalahkan!

Penyematan "i" ini ternyata masih kerap muncul. Koran Buana Minggu edisi 31 Desember 2006 memberi judul "Taruni Lulusan Terbaik Akademi Kepolisian" untuk berita mengenai seorang taruna bernama Ratna Quratul Aini yang meraih Adimakayasa sebagai lulusan terbaik Akademi Kepolisian. Demikian pula dengan majalah Tempo edisi 31 Desember 2006, yang menyebut pula Ratna sebagai "taruni" kendati di bagian awal tulisan, wanita yang semula adalah bintara polisi di Markas Besar Kepolisian RI ini disebut sebagai "taruna".

Dua berita ini setidak-tidaknya menegaskan bahwa bentukan dengan "i" sebagai penanda keperempuanan masih terjadi. Hanya, jelas terasa adanya kegagapan atau bahkan dapat dikatakan sebagai semacam "ketidakrelaan" dalam menyebut suatu status. Perhatikan bagian awal berita di Tempo, "ia meraih Adimakayasa setelah menjadi taruna terbaik di Akademi Kepolisian, Semarang", lalu simak alinea kedua, "nona kelahiran Pati, Jawa tengah, 10 Mei 1982 ini mengumpulkan akumulasi nilai tertinggi dan menyisihkan 293 taruna maupun 48 taruni."

Mengapa harus ada kata "taruni" sedangkan secara etimologis dalam bahasa Sanskerta-seperti paling tidak disebutkan dalam kamus susunan R.J. Wilkinson, A Malay-English Dictionary (1957:1214)-hanya terdapat lema taruna? Adakah ini akibat kemanasukaan dalam membentuk kata, atau ketidakpahaman kita? Entahlah; tapi yang jelas, perkara lain yang serupa dengan ini memang ada beberapa. Misalnya saja, masih banyak yang beranggapan bahwa gelar "dra" yang dulu sering diperoleh oleh seorang wanita yang menjadi sarjana memang diambil atau semata-mata mengikuti saja tradisi gelar yang ada di Belanda. Padahal, gelar "drs" itu aslinya tak bergender, bisa untuk pria maupun wanita.

Melalui contoh-contoh di atas serta merujuk pada pemakaian kata sehari-hari, perlu kiranya dipertimbangkan masak-masak, adakah kita masih memerlukan kata yang membedakan gender di tengah arus kehidupan yang cenderung tidak lagi mementingkan perbedaan gender. Sebagai jalan tengah, perlu kiranya kita lebih menghargai dan mendayagunakan prefiks "peng-" yang mampu menempatkan dirinya secara netral dan bebas gender.

Karena itu, daripada menyebut "sastrawan perempuan" yang bisa dimaknai sebagai "waria", alangkah baik jika disebut saja "penyastra perempuan" atau lebih tepat lagi "penyastra" saja. Atau, kalau tidak, cara berpikir kita yang harus diubah, yaitu bahwa sastrawan adalah kata yang tidak berjenis kelamin tertentu sebagaimana kata "sarjana" yang tidak perlu dimaknai maskulin. Toh, orang hampir tidak ada yang memakai kata "sarjani", bukan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus