DI Persia zaman dulu ada seorang wazir bernama Rashid ad-Din.
Dia bukan sembarang perdana menteri. Dia penulis sejarah, dia
juga penyusun hukum yang pandai. Dia kesayangan Sultan. Kata
orang, baginda pernah memberinya hadiah emas yang lebih besar
ketimbang emas anugerah Iskandar Agung kepada Aristoteles.
Tapi pada suatu hari dia difitnah. Sejumlah pejabat yang cemburu
menyusun siasat, hingga Rashid bisa didakwa berbuat keji:
meracuni Sultan. Baginda memang wafat, dan digantikan putranya.
Sang Sultan baru inilah kemudian yang membiarkan Rashid dihukum
mati.
Mula-mula, anaknya yang dipancung. Kemudian, wazir tua itu
sendiri yang dipotong jadi dua.
Yang menarik ialah bahwa Rashid tak dipaksa untuk mengakui semua
hal yang dituduhkan kepadanya. Kenapa? Dalam pengusutan politik
zaman kita kini, si tertuduh umumnya dipaksa mengaku. Dia
dipatahkan. Segenap daya sangkalnya dicopot. Pengakuannya akan
membuktikan bahwa bukan saja si pendakwa, yang berkuasa itu,
benar. Tapi lebih penting lagi, pengakuan itu bukti bahwa si
terdakwa itu bisa ditaklukkan dengan mudah.
Dia tak layak dipuja orang ramai sebagai pahlawan -- ketika
kediktaturan begitu dibenci hingga tiap pembangkang dianggap
hero.
Para pengusut zaman modern memang membutuhkan hal seperti itu:
mereka sadar akan opini orang ramai. Dan itulah bedanya dengan
para penuduh Rashid ad-Din. Mereka hanya berhadapan dengan
desa-desa dan kampung-kampung gilda kota. Di sana, dalam
kata-kata Karl A. Wittfogel, yang ada hanya "demokrasi para
pengemis".
Pengertian "demokrasi pengemis" ini agaknya cukup pen ting dalam
buku Wittfogel yang terkenal itu, Oriental Despotism, yang tahun
1981 diterbitkan lagi dengan pengantar baru. Kata "demokrasi" di
sana menunjukkan, bahwa kemerdekaan bukannya tak ada dalam
"masyarakat hidraulis" yang mendasari despotisme Timur itu.
Tapi di kamp kerja paksa pun, kata Wittfogel, ada kemerdekaan:
para penghuninya diperbolehkan buat berkumpul dalam kelompok,
dan bicara seenaknya. Bahkan sering di antara mereka diberi
jabatan pengawas, meskipun kecil kekuasaannya -- sekedar untuk
menghemat personil resmi. Tapi, kemerdekaan itu adalah
"kemerdekaan yang secara politik tak relevan". Ia tak akan
melahirkan otonomi penuh. Demokrasi itu tak lain adalah
"demokrasi pengemis".
Kata "pengemis" nampaknya bukan cuma untuk mengeraskan suatu
metafora. Kata itu menunjukkan juga dasar dari Wittfogel: bahwa
kemerdekaan ada hubungannya dengan kekuasaan, dan kekuasaan ada
hubungannya dengan milik. Pemerintahan "despotisme Timur" yang
nampak di India, Cina, Rusia, Amerika Selatan dan Mesir kuno
adalah pemerintahan mereka yang mengatur kunci hidup
sosial-ekonomi -- penguasa irigasi pertanian. Wittfogel
karenanya juga menyebut "despotisme Timur" itu sebagai
despotisme "agrobirokratik". Baginya, nyaris tak ada yang
terpuji dari sana jika kita ingin bicara tentang kemajuan dan
harkat manusia.
DALAM banyak hal, Oriental Despotism memang ditulis dengan
semangat sebuah polemik -- khususnya kepada kaum Marxis-Leninis.
Sebab hasil revolusi Rusia dan Cina bagi Wittfogel tak lain
adalah teror, suatu pemulihan kembali "despotisme Timur" itu.
Karena itulah, jika ia bicara tentang Asia, Wittfogel seakan
mendambakan suatu "masyarakat yang berpusat banyak," dengan
dasar kelas menengah yang kuat, dan buruh yang diorganisasikan,
serta petani yang bebas.
Seperti di Barat dan Jepang? Begitulah kira-kira. Setidaknya
suatu masyarakat yang punya cukup kekuatan untuk menghadapi
"agrobirokrasi" yang mengontrol secara total itu: suatu
masyarakat yang tak akan menenggelamkan diri dalam ketakutan
yang memacetkan. Di situ Rashid ad-Din tak akan begitu gampang
difitnah dan disembelih. Negeri tak akan kehilangan seorang
tenaga yang begitu penting dan piawai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini