Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berita Tempo Plus

Mengusut korupsi dalam Tampomas II

Dalam sidang kasus Tampomas II terungkap: komodo marine ternyata cuma calo. masih terbuka peluang bagi tertuduh PT Pann mengajukan gugatan perdata terhadap komodo marine. (nas)

14 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Mengusut korupsi dalam Tampomas II
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR 20 menit tuduhan itu dibacakan. Tertuduh, Direktur Utama PT PANN Nuzwari Chatab, tenang mendengarkan sambil sesekali melirik pengacaranya, Azwar Karim. Ia seperti tak terganggu, juga ketika beberapa kali kamera televisi menyorot wajahnya. "Semua tuduhan itu tidak benar," jawab Nuzwari tatkala Hakim Ketua Soedijono menanyakan tanggapannya, begitu Jaksa Bob Rusli Nasution selesai membacakan tuduhannya. Sebagian di antara sekitar 200 orang yang hadir dalam ruang sidang, banyak di antaranya pejabat Departemen Perhubungan, bergumam. Di bawah, di halaman gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, cukup banyak hadirin yang datang dan mendengzrkan sidang Senin lalu itu. Sidang kasus Tampomas II ini telah lama ditunggu. Sebab memang banyak pertanyaan yang selama ini, satu setengah tahun lebih setelah kapal itu tenggelam, tetap mengambang tak terjawab. Beberapa tanda tanya itu antara lain: di mana letak kesalahan yang menyebabkan kapal tersebut tenggelam dengan begitu banyak korban? Siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Adakah cacat pada kapal itu, atau perlengkapan yang kurang, yang menyebabkannya tenggelam, atau setidaknya menyebabkan kebakaran tidak terkuasai? Mahkamah Pelayaran yang memeriksa sebab tenggelamnya kapal itu, dalam keputusannya Juni tahun lalu menyimpulkan: awal kebakaran bermula dari api rokok di dek mobil. Seorang awak kapal (ABK) yang beristirahat di salah satu mobil -- walau itu menyalahi peraturan -- yang melihat api tersebut. Sumber api, apakah berasal dari kecerobohan penumpang atau ABK, tak terungkap. Banyak hal menarik yang diungkap Mahkamah Pelayaran, Antara lain: upaya memadamkan kebakaran gagal karena para ABK kurang terlatih menggunakan alat pemadam kebakaran. Nakoda Tampomas II, almarhum A. Rivai, dinilai melakukan kelalaian, misalnya tidak mengontrol peralatan penolong dan kurang menggiatkan latihan penggunaan peralatan tersebut bagi para awak kapal. Vonis Mahkamah Pelayaran: 5 dari 12 tersangkut dihukum, sebagian besar berupa pencabutan ijazah mereka sebagai mualim atau markonis antara 4 sampai 12 bulan. Sedang segala tuntutan terhadap Nakoda A. Rivai dan Mualim III Sudjito hapus karena mereka meninggal dalam musibah itu. Banyak yang kurang puas dengan keputusan tersebut. "Apakah hanya anak buah kapal yang bertanggung jawab atas tenggelamnya Tampomas II?", ujar anggota DPR dari F-PDI Sabam Sirait tahun lalu, mengomentari keputusan Mahkamah Pelayaran tersebut. Ia berpendapat tenggelamnya kapal itu menyangkut kebijaksanaan secara menyeluruh, hingga tanggung jawab utama ada di sekitar policy maker (pembuat kebijaksanaan). Menurut Sabam Sirait, kekuasaan sebenarnya lebih banyak ada di darat, bukan pada para ABK. Ia menunjuk contoh: siapa yang memberi izin berlayar, siapa yang tidak mengontrol berlebihnya penumpang dan jenis barang yang sebenarnya tidak boleh diangkut, serta pihak yang melakukan pembelian kapal. Mereka inilah, menurut Sabam, yang sebenarnya lebih bertanggung jawab atas musibah Tampomas II. Tanggapan Sabam Sirait tampaknya mewakili perasaan khalayak ramai. Banyak yang berpendapat kasus Tampomas II seharusnya diselesaikan secara tuntas, seperti diinstruksikan oleh Presiden Soeharto. Dan tuntas berarti tidak berhenti pada vonis Mahkamah Pelayaran saja. NAMUN Sekretaris Ditjen Perla, J.E. Habibie meminta agar pengertian tuntas "jangan dibikin aneh-aneh". "Yang dimaksud Presiden dengan penyelesaian tuntas adalah teknis. Karena melihatada kelalaian. Siapa yang lalai tentu saja mereka yang memimpin di atas kapal, yakni kapten kapal. Jelas pertanggungjawaban itu ada di tangannya," katanya. Habibie juga tidak menghendaki soal tenggelamnya kapal dikaitkan dengan masalah pembelian. Pada TEMPO ia mengatakan, "Itu kapal kan sudah setahun dibeli. Kenapa tidak dari dulu, ketika baru beli, dipersoalkan?" TEMPO, 13 Juni 1981). Kejaksaan Agung ternyata menganggap penyelesaian tuntas berarti pengusutan tenggelamnya Tampomas II tidak berhenti pada segi teknis pelayaran saja, yang telah dilakukan Mahkamah Pelayaran. Juli 1981, Jaksa Agung Ismail Saleh membentuk suatu Tim Peneliti Kasus Tampomas II untuk memeriksa segi yuridis: sejauh mana para pelakunya dapat ditindak dan apakah terdapat cukup bukti untuk mengajukannya ke pengadilan. Hasil pengusutan selama setahun itu: empat berkas perkara menyangkut empat tertuduh dilimpahkan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat pada 17 Juli lalu pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka adalah: Direktur Utama PT PANN (Pengembangan Armada Niaga Nasional) Nuzwari Chatab, Direktur Pembelian PT PANN H. Mandagi, Direktur Utama Komodo Marine Santoso Sumarli, dan Kepala Perwakilan Komodo Marine di Jakarta Gregorius Hendra. Sidang pengadilan yang memeriksa Nuzwari Chatab dimulai Senin lalu. George Hendra mulai disidangkan Rabu pekan ini, H. Mandagi Sabtu 14 Agustus, sedang giliran Santoso Sumarli 16 Agustus. Keempat orang itu dituduh memperkaya diri atau korupsi dan memalsukan surat. Mereka dituntut berdasar UU No. 3/1971 tentang Tindak Pidana Koupsi dan bisa diancam dengan hukuman maksimal seumur hidup. Ada 26 saksi yang akan dimajukan, termasuk Sekretaris Ditjen Perla J.E. Habibie dan Direktur Utama PT. Pelni Husseyn Umar. Keempat tertuduh dan dua pembelanya, Harjono Tjitrosubono dan Azwar Karim, tampaknya yakin' tuntutan jaksa sulit dibuktikan hingga tuduhan jaksa seluruhnya akan gagal. Sebaliknya pihak kejaksaan percaya, tuduhan korupsi dan pemalsuan surat akan bisa mereka buktikan dalam sidang. Hasil sidang pengadilan tersebut masih harus ditunggu, namun prospeknya tampaknya menarik untuk diikuti (Lihat Bagian II). Dalam sidang hari pertama buat Nuzwari Chatab Senin lalu, cukup banyak hal yang terungkap mengenai liku-liku pembelian kapal Tampomas II, yang selama ini memang belum jelas benar. Husseyn Umar -- Direktur Utama Pelni yang biasa berpakaian necis, hari itu mengenakan stelan safari biru -- dalam kesaksiannya menyatakan, sudah sejak lama Pelni merencanakan pembelian kapal penumpang. Ia membenarkan, pada 15 Oktober 1979 pihak Komodo Marine mengajukan penawaran kapal Great Emerald kepada Pelni dan PT PANN. "Tapi waktu itu saya tidak tahu, apakah Komodo Marine itu pemilik kapal atau hanya broker," katanya. Esoknya, 16 Oktober, Husseyn membuat surat ke alamat PT PANN yang intinya menyetujui pembelian kapal itu. Ketika surat itu dibuat, George Hendra mengetahuinya karna kebetulan ia berada dalam kamar kerja Husseyn Umar. "Saudara menyatakan itu dalam Berita Acara bukan?' tegas Jaksa Bob Nasution. Husseyn Umar mengangguk. "Jadi rupanya ketika itu Komodo Marine cuma broker, dan baru setelah ada kepastian bahwa Great Emerald mau dibeli, mereka buru-buru membeli kapal itu," lanjut Bob. Harga yang ditawarkan Komodo Marine waktu itu US$ 7,5 juta. Pelni ternyata sangat gesit. Hanya sehari kemudian, 17 Oktober 1979, Pelni mengirim suatu tim teknis yang dipimpin Direktur Armada & Teknik Soesilo ke Yokohama, Jepang, untuk meneliti kondisi kapal tersebut. "Tim Soesilo" kemudian melaporkan: secara umum keadaan kapal Great Emerald cukup baik, tapi dari segi teknis perlu ada konversi dan modifikasi. Husseyn Umar mengakui, ia sendiri tiga kali melihat kapal tersebut -- di Hongkong, Taiwan dan Jakarta -- sebelum kapal tersebut resmi menjadi milik Pelni. Namun ia menyatakan tidak tahu persis, apakah di kapal itu ada kekurangan atau cacatnya. "Itu soal teknis yang hanya bisa dilihat oleh para ahli perkapalan," katanya. Ia juga mengatakan tidak tahu bahwa kapal itu oleh pihak Komodo Marine hanya dinotasikan sebagai kelas ferry yang biayanya cuma US$ 150 ribu, sementara bila keias penumpang biayanya US$ 350 ribu. "Saya tahu itu setelah Tampomas II tenggelam," ujar Husseyn yang hari itu kelihatan agak tegang. Kesaksian J.E. Habibie, yang didengar keterangannya setelah sidang diskors selama setengah jam untuk istirahat, juga menarik. Steering Committe (Panitia Pengarah) yang diketuainya, menurut dia, bertugas untuk memberi pengarahan kepada tim negosiasi. Harga Great Emerald US$ 8,3 juta, yang diajukan tim negosiasi, dinilai timnya "wajar dan memadai". Ia mengakui adanya ketentuan pemerintah: untuk membeli kapal bekas, kapal itu paling tua harus berumur 8 tahun (bila buatan Jepang) dan 10 tahun untuk kapal buatan Eropa. Bahwa Great Emerald yang buatan Jepang sudah berumur 9 tahun "memang ada kebijaksanaan tersendiri". Alasannya: kapal penumpang sulit sekali diperoleh, di samping kondisi kapal dinilai masih cukup baik. Juga karena adanya kebutuhan yang mendesak dari Pelni. Memorandum of Agreement (MOA), menurut Habibie, ditandatangani di Hotel Mandarin, Jakarta. Meski dia sebagai saksi menyetujui pembelian kapal itu "namun saya tidak membaca satu persatu semua pasal yang tertera di Memorandum of Agreement itu". Alasannya: MOA itu terlalu panjang. J.E. Habibie, yang biasa dipanggil Fanny, juga menyatakan tidak tahu apakah ketika kapal diserahkan sudah cocok dengan apa yang tertera dalam MOA. "Ketika terjadi serah terima kapal, saya sedang di luar negeri," ujarnya. Kelas notasi kapal itu juga tidak diketahuinya. "Terus terang, saya baru pertama kali itu menandatangani Memorandum of Agreement," tambahnya. Jaksa Bob Nasution kemudian mengetengahkan suatu kejanggalan. Pada 18 Februari 1980, Dewan Komisaris PT PANN d.h.i. Johanes Hutagalung membuat surat yang intinya menyetujui harga kapal yang US$ 8,3 juta. Padahal tim negosiasi yang diketuai H. Mandagi waktu itu masih bekerja, dan baru pada 23 Februari sore tim yang berembuk di kantor PT PANN itu memberikan laporannya. Lalu malam harinya, 23 Februari itu juga, ditandatangani MOA. "Kalau begitu Steering Commttte dan tim negosiasi itu proforma saja?", tanya Bob Nasution. Fanny Habibie menggeleng. Ia menyatakan tidak tahu menahu tentang adanya surat Dewan Komisaris PT PANN itu. "Ternyata surat itu ada. Apakah itu berarti menyalahi?", tanya Bob. Fanny mengiyakan. Soal biaya untuk tim yang memeriksa kapal ke Jepang disinggung juga dalam sidang. Menurut Habibie, mestinya biaya itu ditanggung Pelni. Namun kenyataannya pembiayaan ditanggung calon penjual (Komodo Marine) dan akhirnya dimasukkan dalam harga kapal sebagai biaya travelling and consultant sebanyak US$ 45 ribu. Komentar Hakim Anggota Achmad Intan "Sebagai orang Timur, kalau pembiayaan pemeriksaan dibayar oleh calon penjual, berarti pembeliannya sepertinya harus langsung jadi." Menurut Fanny Habibie, meski sebaiknya yang menanggung biaya pemeriksaan calon pembeli, tapi yang biasa terjadi memang calon penjual yang mengeluarkan uang. "Di Indonesia lazimnya begitu," katanya. Di luar negeri? "Saya kurang tahu," jawabnya. Saksi menyatakan, ia tak pernah mengecek Great Emerald karena tugas panitia pengarah yang dipimpinnya tak sampai sejauh itu. Dengan demikian ia juga tidak mengetahui adanya kekurangan pada Tampomas II. Seandainya kekurangan itu ada, "PT PANN semestinya otomatis menolak kapal tersebut". Berbagai pengungkapan di hari pertama sidang itu tampaknya mengisyaratkan: memang ada kejanggalan dalam proses pembelian kapal Great Emerald yang kemudian bernama Tampomas II. Berbagai "keanehan" dalam proses pembelian kapal tersebut tampaknya cocok dengan penyelidikan TEMPO tahun lalu, segera setelah Tampomas II tenggelam. Kapal berbobot mati 2.533 ton ini diluncurkan pada Agustus 1971 pada galangan Mitsubishi Heavy Industry Co. Ltd Shimonoseki, Jepang. Kapal ini kemudian dibeli oleh perusahaan Arimura Sangyo, Okinawa, yang menggunakannya sebagai car-ferry (feri pengangkut mobil) dengan nama Central 6. Dalam penjelasannya pada koresponden TEMPO Ketut Surajaya tahun lalu, Asisten Manajer Bagian Penjualan Arimura Sangyo Takayuki Deguchi menyatakan, pada Desember 1975 diadakan beberapa perubahan pada kapal tersebut, sesuai dengan penggunaannya sebagai pengangkut kendaraan (terutama truk) dengan rute Jepang-Hongkong-Manila-Sabah-Bangkok. "Selama kami pakai, kapal itu tidak pernah rusak. Pada bulan Maret 1980 kapal itu kami jual pada Hayashi Marine di Nagasaki," ujar Deguchi. Ia menolak mengungkapkan harga penjualan kapal itu. Koresponden TEMPO di London Abdullah Alamudi dalam pengecekannya di Lloyd's Register of Shipping di London juga menemukan fakta: Komodo Marine tercatat membeli kapal Emerald dari Arimura Sangyo pada April 1980. Yang menarik, dalam catatan Lloyd's ada sebuah perusahaan perkapalan yang terdaftar beralamat di Panama City bernama Komodo Navigation S.A. Di Jepang ia tercatat menggunakan alamat d/a Hayashi Marine Company, 1-22 Naminohira-cho, Nagasaki. Apakah ada hubungan antara Komodo Marine dan Komodd Navigation S.A, belum jelas. Dari berbagai fakta itu nampaknya kapal Great Emerald (atau Emerald) masih menjadi milik Arimura Sangyo sampai Maret atau April 1980. Lalu bagaimana mungkin Komodo Marine pada 23 Februari 1980 menjual kapal tersebut (sesuai dengan Memorandum of Agreement) pada PT PANN? Kapal itu baru diserahkan 27 Mei 1980 pada PT PANN. Dalam wawancaranya dengan TEMPO tahun lalu, Santoso Sumarli dan George Hendra -- mengatakan, kapal Emerald mereka beli dari Arimura Sangyo seharga US$ 6,3 juta pada Desember 1979. "Hayashi Marine adalah broker kami," ujar George Hendra. Untuk jasa itu, katanya, Hayashi mendapat komisi 0,5% dari harga penjualan (TEMPO, 14 Februari 1981). Namun dalam sidang pengadilan Senin lalu, Husseyn Umar mengaku Komodo Marine telah menawarkan kapal tersebut pada 15 Oktober 1979. Hingga jelas pada 18 Oktober 1979, tatkala "tim Soesilo" meneliti kapal tersebut di Yokohama, Emerald masih menjadi milik Arimura Sangyo. Dan semestinya tim peneliti tersebut mengetahui hal itu. Karena itu memang patut dipertanyakan: mengapa PT PANN tidak membeli kapal tersebut langsung dari Arimura Sangyo dan "menunggu" tawaran Komodo Marine yang jelasjelas bukan pemilik kapal tersebut? Harga pembelian PT PANN adalah US$ 8,3 juta, termasuk biaya konversi kapal menjadi kapal pengangkut barang dan penumpang. "Taktik" Komodo Marine mungkin dianggap praktek biasa dalam dunia dagang, tapi mengapa Pelni dan PT PANN "terhanyut" ke dalamnya? Setelah lebih setahun menunggu, berbagai pertanyaan tersebut diharapkan akan bisa terjawab dalam sidang-sidang yang akan datang. Dan tampaknya akan bisa terungkap juga berbagai "kebiasaan" dan "kebijaksaaan" pembelian disementara kalangan pemerintah. Namun masih ada juga yang harap-harap cemas: sampai batas manakah pengusutan dan "penyelesaian tuntas" Tampomas II ini akan dipagar?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus