SEKITAR 20 menit tuduhan itu dibacakan. Tertuduh, Direktur Utama
PT PANN Nuzwari Chatab, tenang mendengarkan sambil sesekali
melirik pengacaranya, Azwar Karim. Ia seperti tak terganggu,
juga ketika beberapa kali kamera televisi menyorot wajahnya.
"Semua tuduhan itu tidak benar," jawab Nuzwari tatkala Hakim
Ketua Soedijono menanyakan tanggapannya, begitu Jaksa Bob Rusli
Nasution selesai membacakan tuduhannya.
Sebagian di antara sekitar 200 orang yang hadir dalam ruang
sidang, banyak di antaranya pejabat Departemen Perhubungan,
bergumam. Di bawah, di halaman gedung Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, cukup banyak hadirin yang datang dan mendengzrkan sidang
Senin lalu itu.
Sidang kasus Tampomas II ini telah lama ditunggu. Sebab memang
banyak pertanyaan yang selama ini, satu setengah tahun lebih
setelah kapal itu tenggelam, tetap mengambang tak terjawab.
Beberapa tanda tanya itu antara lain: di mana letak kesalahan
yang menyebabkan kapal tersebut tenggelam dengan begitu banyak
korban? Siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Adakah cacat
pada kapal itu, atau perlengkapan yang kurang, yang
menyebabkannya tenggelam, atau setidaknya menyebabkan kebakaran
tidak terkuasai?
Mahkamah Pelayaran yang memeriksa sebab tenggelamnya kapal itu,
dalam keputusannya Juni tahun lalu menyimpulkan: awal kebakaran
bermula dari api rokok di dek mobil. Seorang awak kapal (ABK)
yang beristirahat di salah satu mobil -- walau itu menyalahi
peraturan -- yang melihat api tersebut. Sumber api, apakah
berasal dari kecerobohan penumpang atau ABK, tak terungkap.
Banyak hal menarik yang diungkap Mahkamah Pelayaran, Antara
lain: upaya memadamkan kebakaran gagal karena para ABK kurang
terlatih menggunakan alat pemadam kebakaran. Nakoda Tampomas II,
almarhum A. Rivai, dinilai melakukan kelalaian, misalnya tidak
mengontrol peralatan penolong dan kurang menggiatkan latihan
penggunaan peralatan tersebut bagi para awak kapal.
Vonis Mahkamah Pelayaran: 5 dari 12 tersangkut dihukum, sebagian
besar berupa pencabutan ijazah mereka sebagai mualim atau
markonis antara 4 sampai 12 bulan. Sedang segala tuntutan
terhadap Nakoda A. Rivai dan Mualim III Sudjito hapus karena
mereka meninggal dalam musibah itu.
Banyak yang kurang puas dengan keputusan tersebut. "Apakah hanya
anak buah kapal yang bertanggung jawab atas tenggelamnya
Tampomas II?", ujar anggota DPR dari F-PDI Sabam Sirait tahun
lalu, mengomentari keputusan Mahkamah Pelayaran tersebut. Ia
berpendapat tenggelamnya kapal itu menyangkut kebijaksanaan
secara menyeluruh, hingga tanggung jawab utama ada di sekitar
policy maker (pembuat kebijaksanaan).
Menurut Sabam Sirait, kekuasaan sebenarnya lebih banyak ada di
darat, bukan pada para ABK. Ia menunjuk contoh: siapa yang
memberi izin berlayar, siapa yang tidak mengontrol berlebihnya
penumpang dan jenis barang yang sebenarnya tidak boleh diangkut,
serta pihak yang melakukan pembelian kapal. Mereka inilah,
menurut Sabam, yang sebenarnya lebih bertanggung jawab atas
musibah Tampomas II.
Tanggapan Sabam Sirait tampaknya mewakili perasaan khalayak
ramai. Banyak yang berpendapat kasus Tampomas II seharusnya
diselesaikan secara tuntas, seperti diinstruksikan oleh Presiden
Soeharto. Dan tuntas berarti tidak berhenti pada vonis Mahkamah
Pelayaran saja.
NAMUN Sekretaris Ditjen Perla, J.E. Habibie meminta agar
pengertian tuntas "jangan dibikin aneh-aneh". "Yang dimaksud
Presiden dengan penyelesaian tuntas adalah teknis. Karena
melihatada kelalaian. Siapa yang lalai tentu saja mereka yang
memimpin di atas kapal, yakni kapten kapal. Jelas
pertanggungjawaban itu ada di tangannya," katanya.
Habibie juga tidak menghendaki soal tenggelamnya kapal dikaitkan
dengan masalah pembelian. Pada TEMPO ia mengatakan, "Itu kapal
kan sudah setahun dibeli. Kenapa tidak dari dulu, ketika baru
beli, dipersoalkan?" TEMPO, 13 Juni 1981).
Kejaksaan Agung ternyata menganggap penyelesaian tuntas berarti
pengusutan tenggelamnya Tampomas II tidak berhenti pada segi
teknis pelayaran saja, yang telah dilakukan Mahkamah Pelayaran.
Juli 1981, Jaksa Agung Ismail Saleh membentuk suatu Tim Peneliti
Kasus Tampomas II untuk memeriksa segi yuridis: sejauh mana para
pelakunya dapat ditindak dan apakah terdapat cukup bukti untuk
mengajukannya ke pengadilan.
Hasil pengusutan selama setahun itu: empat berkas perkara
menyangkut empat tertuduh dilimpahkan Kejaksaan Negeri Jakarta
Pusat pada 17 Juli lalu pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Mereka adalah: Direktur Utama PT PANN (Pengembangan Armada Niaga
Nasional) Nuzwari Chatab, Direktur Pembelian PT PANN H. Mandagi,
Direktur Utama Komodo Marine Santoso Sumarli, dan Kepala
Perwakilan Komodo Marine di Jakarta Gregorius Hendra.
Sidang pengadilan yang memeriksa Nuzwari Chatab dimulai Senin
lalu. George Hendra mulai disidangkan Rabu pekan ini, H. Mandagi
Sabtu 14 Agustus, sedang giliran Santoso Sumarli 16 Agustus.
Keempat orang itu dituduh memperkaya diri atau korupsi dan
memalsukan surat. Mereka dituntut berdasar UU No. 3/1971 tentang
Tindak Pidana Koupsi dan bisa diancam dengan hukuman maksimal
seumur hidup. Ada 26 saksi yang akan dimajukan, termasuk
Sekretaris Ditjen Perla J.E. Habibie dan Direktur Utama PT.
Pelni Husseyn Umar.
Keempat tertuduh dan dua pembelanya, Harjono Tjitrosubono dan
Azwar Karim, tampaknya yakin' tuntutan jaksa sulit dibuktikan
hingga tuduhan jaksa seluruhnya akan gagal. Sebaliknya pihak
kejaksaan percaya, tuduhan korupsi dan pemalsuan surat akan bisa
mereka buktikan dalam sidang. Hasil sidang pengadilan tersebut
masih harus ditunggu, namun prospeknya tampaknya menarik untuk
diikuti (Lihat Bagian II).
Dalam sidang hari pertama buat Nuzwari Chatab Senin lalu, cukup
banyak hal yang terungkap mengenai liku-liku pembelian kapal
Tampomas II, yang selama ini memang belum jelas benar.
Husseyn Umar -- Direktur Utama Pelni yang biasa berpakaian
necis, hari itu mengenakan stelan safari biru -- dalam
kesaksiannya menyatakan, sudah sejak lama Pelni merencanakan
pembelian kapal penumpang. Ia membenarkan, pada 15 Oktober 1979
pihak Komodo Marine mengajukan penawaran kapal Great Emerald
kepada Pelni dan PT PANN. "Tapi waktu itu saya tidak tahu,
apakah Komodo Marine itu pemilik kapal atau hanya broker,"
katanya.
Esoknya, 16 Oktober, Husseyn membuat surat ke alamat PT PANN
yang intinya menyetujui pembelian kapal itu. Ketika surat itu
dibuat, George Hendra mengetahuinya karna kebetulan ia berada
dalam kamar kerja Husseyn Umar. "Saudara menyatakan itu dalam
Berita Acara bukan?' tegas Jaksa Bob Nasution. Husseyn Umar
mengangguk. "Jadi rupanya ketika itu Komodo Marine cuma broker,
dan baru setelah ada kepastian bahwa Great Emerald mau dibeli,
mereka buru-buru membeli kapal itu," lanjut Bob.
Harga yang ditawarkan Komodo Marine waktu itu US$ 7,5 juta.
Pelni ternyata sangat gesit. Hanya sehari kemudian, 17 Oktober
1979, Pelni mengirim suatu tim teknis yang dipimpin Direktur
Armada & Teknik Soesilo ke Yokohama, Jepang, untuk meneliti
kondisi kapal tersebut. "Tim Soesilo" kemudian melaporkan:
secara umum keadaan kapal Great Emerald cukup baik, tapi dari
segi teknis perlu ada konversi dan modifikasi.
Husseyn Umar mengakui, ia sendiri tiga kali melihat kapal
tersebut -- di Hongkong, Taiwan dan Jakarta -- sebelum kapal
tersebut resmi menjadi milik Pelni. Namun ia menyatakan tidak
tahu persis, apakah di kapal itu ada kekurangan atau cacatnya.
"Itu soal teknis yang hanya bisa dilihat oleh para ahli
perkapalan," katanya.
Ia juga mengatakan tidak tahu bahwa kapal itu oleh pihak Komodo
Marine hanya dinotasikan sebagai kelas ferry yang biayanya cuma
US$ 150 ribu, sementara bila keias penumpang biayanya US$ 350
ribu. "Saya tahu itu setelah Tampomas II tenggelam," ujar
Husseyn yang hari itu kelihatan agak tegang.
Kesaksian J.E. Habibie, yang didengar keterangannya setelah
sidang diskors selama setengah jam untuk istirahat, juga
menarik. Steering Committe (Panitia Pengarah) yang diketuainya,
menurut dia, bertugas untuk memberi pengarahan kepada tim
negosiasi. Harga Great Emerald US$ 8,3 juta, yang diajukan tim
negosiasi, dinilai timnya "wajar dan memadai".
Ia mengakui adanya ketentuan pemerintah: untuk membeli kapal
bekas, kapal itu paling tua harus berumur 8 tahun (bila buatan
Jepang) dan 10 tahun untuk kapal buatan Eropa. Bahwa Great
Emerald yang buatan Jepang sudah berumur 9 tahun "memang ada
kebijaksanaan tersendiri". Alasannya: kapal penumpang sulit
sekali diperoleh, di samping kondisi kapal dinilai masih cukup
baik. Juga karena adanya kebutuhan yang mendesak dari Pelni.
Memorandum of Agreement (MOA), menurut Habibie, ditandatangani
di Hotel Mandarin, Jakarta. Meski dia sebagai saksi menyetujui
pembelian kapal itu "namun saya tidak membaca satu persatu semua
pasal yang tertera di Memorandum of Agreement itu". Alasannya:
MOA itu terlalu panjang.
J.E. Habibie, yang biasa dipanggil Fanny, juga menyatakan tidak
tahu apakah ketika kapal diserahkan sudah cocok dengan apa yang
tertera dalam MOA. "Ketika terjadi serah terima kapal, saya
sedang di luar negeri," ujarnya. Kelas notasi kapal itu juga
tidak diketahuinya. "Terus terang, saya baru pertama kali itu
menandatangani Memorandum of Agreement," tambahnya.
Jaksa Bob Nasution kemudian mengetengahkan suatu kejanggalan.
Pada 18 Februari 1980, Dewan Komisaris PT PANN d.h.i. Johanes
Hutagalung membuat surat yang intinya menyetujui harga kapal
yang US$ 8,3 juta. Padahal tim negosiasi yang diketuai H.
Mandagi waktu itu masih bekerja, dan baru pada 23 Februari sore
tim yang berembuk di kantor PT PANN itu memberikan laporannya.
Lalu malam harinya, 23 Februari itu juga, ditandatangani MOA.
"Kalau begitu Steering Commttte dan tim negosiasi itu proforma
saja?", tanya Bob Nasution. Fanny Habibie menggeleng. Ia
menyatakan tidak tahu menahu tentang adanya surat Dewan
Komisaris PT PANN itu. "Ternyata surat itu ada. Apakah itu
berarti menyalahi?", tanya Bob. Fanny mengiyakan.
Soal biaya untuk tim yang memeriksa kapal ke Jepang disinggung
juga dalam sidang. Menurut Habibie, mestinya biaya itu
ditanggung Pelni. Namun kenyataannya pembiayaan ditanggung calon
penjual (Komodo Marine) dan akhirnya dimasukkan dalam harga
kapal sebagai biaya travelling and consultant sebanyak US$ 45
ribu. Komentar Hakim Anggota Achmad Intan "Sebagai orang Timur,
kalau pembiayaan pemeriksaan dibayar oleh calon penjual, berarti
pembeliannya sepertinya harus langsung jadi."
Menurut Fanny Habibie, meski sebaiknya yang menanggung biaya
pemeriksaan calon pembeli, tapi yang biasa terjadi memang calon
penjual yang mengeluarkan uang. "Di Indonesia lazimnya begitu,"
katanya. Di luar negeri? "Saya kurang tahu," jawabnya.
Saksi menyatakan, ia tak pernah mengecek Great Emerald karena
tugas panitia pengarah yang dipimpinnya tak sampai sejauh itu.
Dengan demikian ia juga tidak mengetahui adanya kekurangan pada
Tampomas II. Seandainya kekurangan itu ada, "PT PANN semestinya
otomatis menolak kapal tersebut".
Berbagai pengungkapan di hari pertama sidang itu tampaknya
mengisyaratkan: memang ada kejanggalan dalam proses pembelian
kapal Great Emerald yang kemudian bernama Tampomas II.
Berbagai "keanehan" dalam proses pembelian kapal tersebut
tampaknya cocok dengan penyelidikan TEMPO tahun lalu, segera
setelah Tampomas II tenggelam.
Kapal berbobot mati 2.533 ton ini diluncurkan pada Agustus 1971
pada galangan Mitsubishi Heavy Industry Co. Ltd Shimonoseki,
Jepang. Kapal ini kemudian dibeli oleh perusahaan Arimura
Sangyo, Okinawa, yang menggunakannya sebagai car-ferry (feri
pengangkut mobil) dengan nama Central 6.
Dalam penjelasannya pada koresponden TEMPO Ketut Surajaya tahun
lalu, Asisten Manajer Bagian Penjualan Arimura Sangyo Takayuki
Deguchi menyatakan, pada Desember 1975 diadakan beberapa
perubahan pada kapal tersebut, sesuai dengan penggunaannya
sebagai pengangkut kendaraan (terutama truk) dengan rute
Jepang-Hongkong-Manila-Sabah-Bangkok. "Selama kami pakai, kapal
itu tidak pernah rusak. Pada bulan Maret 1980 kapal itu kami
jual pada Hayashi Marine di Nagasaki," ujar Deguchi. Ia menolak
mengungkapkan harga penjualan kapal itu.
Koresponden TEMPO di London Abdullah Alamudi dalam pengecekannya
di Lloyd's Register of Shipping di London juga menemukan fakta:
Komodo Marine tercatat membeli kapal Emerald dari Arimura Sangyo
pada April 1980. Yang menarik, dalam catatan Lloyd's ada sebuah
perusahaan perkapalan yang terdaftar beralamat di Panama City
bernama Komodo Navigation S.A. Di Jepang ia tercatat menggunakan
alamat d/a Hayashi Marine Company, 1-22 Naminohira-cho,
Nagasaki. Apakah ada hubungan antara Komodo Marine dan Komodd
Navigation S.A, belum jelas.
Dari berbagai fakta itu nampaknya kapal Great Emerald (atau
Emerald) masih menjadi milik Arimura Sangyo sampai Maret atau
April 1980. Lalu bagaimana mungkin Komodo Marine pada 23
Februari 1980 menjual kapal tersebut (sesuai dengan Memorandum
of Agreement) pada PT PANN? Kapal itu baru diserahkan 27 Mei
1980 pada PT PANN.
Dalam wawancaranya dengan TEMPO tahun lalu, Santoso Sumarli dan
George Hendra -- mengatakan, kapal Emerald mereka beli dari
Arimura Sangyo seharga US$ 6,3 juta pada Desember 1979. "Hayashi
Marine adalah broker kami," ujar George Hendra. Untuk jasa itu,
katanya, Hayashi mendapat komisi 0,5% dari harga penjualan
(TEMPO, 14 Februari 1981).
Namun dalam sidang pengadilan Senin lalu, Husseyn Umar mengaku
Komodo Marine telah menawarkan kapal tersebut pada 15 Oktober
1979. Hingga jelas pada 18 Oktober 1979, tatkala "tim Soesilo"
meneliti kapal tersebut di Yokohama, Emerald masih menjadi milik
Arimura Sangyo. Dan semestinya tim peneliti tersebut mengetahui
hal itu. Karena itu memang patut dipertanyakan: mengapa PT PANN
tidak membeli kapal tersebut langsung dari Arimura Sangyo dan
"menunggu" tawaran Komodo Marine yang jelasjelas bukan pemilik
kapal tersebut?
Harga pembelian PT PANN adalah US$ 8,3 juta, termasuk biaya
konversi kapal menjadi kapal pengangkut barang dan penumpang.
"Taktik" Komodo Marine mungkin dianggap praktek biasa dalam
dunia dagang, tapi mengapa Pelni dan PT PANN "terhanyut" ke
dalamnya?
Setelah lebih setahun menunggu, berbagai pertanyaan tersebut
diharapkan akan bisa terjawab dalam sidang-sidang yang akan
datang. Dan tampaknya akan bisa terungkap juga berbagai
"kebiasaan" dan "kebijaksaaan" pembelian disementara kalangan
pemerintah. Namun masih ada juga yang harap-harap cemas: sampai
batas manakah pengusutan dan "penyelesaian tuntas" Tampomas II
ini akan dipagar?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini