Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARAPAN kerap hadir dari tempat yang tak disangka-sangka, pada waktu yang tidak selalu bisa kita duga. Dalam konteks Indonesia 2014—ketika negeri ini mendidih oleh pemilihan umum yang keras, penuh intrik, fitnah, dan sumpah serapah—kita menemukannya dari para relawan. Merekalah anak muda dari pelbagai profesi yang peduli pada nasib negeri ini. Tidak semata untuk memenangkan seorang kandidat presiden, tapi lebih untuk menyelamatkan Indonesia dari bayang-bayang kelam masa silam: militerisme, kerusakan lingkungan, demokrasi yang mati suri, kebebasan yang raib ditelan bumi.
Mereka datang dari dunia yang "lain". Mereka bukan politikus partai, meski mungkin pernah menjadi aktivis. Mereka bukan anak-cucu pendiri bangsa atawa putra mahkota ketua umum partai politik. Mereka seniman, ahli komputer, atau pekerja pada biro pemasaran. Pendek kata: mereka datang dari dunia yang "tenang"—jauh dari panggung politik yang ingar-bingar.
Enam belas tahun reformasi 1998 kita lewati, politik telanjur menjadi sesuatu yang membuat mual. Partai yang semestinya menjadi fondasi demokrasi berubah menjadi sekadar belalai kepentingan para oligarch. Lembaga perwakilan dipenuhi orang-orang yang secara formal mewakili pemilih tapi sesungguhnya tak lebih dari sekadar pembeli suara orang ramai. Korupsi merajalela dan dalam beberapa kasus justru dilakukan oleh politikus yang masih belia. Pemerintah menjadi perkumpulan pemenang persaingan pemilu semata—mereka yang siap mencari kesempatan mendapat kompensasi atas "jerih payah" yang sudah dikeluarkan dalam pemilu.
Itulah sebabnya, ketika para relawan itu datang, kita menyaksikan hadirnya harapan. Wujud yang paling spektakuler adalah konser Salam 2 Jari di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, 5 Juli 2014. Ketika itu, seratusan ribu orang menghadiri konser untuk tidak sekadar menikmati musik atau mengikuti kampanye calon presiden Jokowi, tapi juga menyaksikan voluntarisme orang ramai. Abdee "Slank", untuk menyebut salah satu tokoh yang paling berperan dalam perhelatan itu, merupakan representasi mereka yang selama ini "diam": voice of the voiceless.
Selain Abdee, ada Ainun Najib, relawan teknologi yang berperan besar mengawal hasil pemilihan presiden. Dari negeri tetangga, Singapura, tempatnya selama ini bermukim, ia menciptakan kawalpemilu.org—situs yang memungkinkan orang mengecek perolehan suara hingga level tempat pemungutan suara. Ada pula Teuku Radja Sjahnan, yang aktif dalam gerakan pendidikan pemilih. Di Bali, ada drumer grup musik cadas Superman Is Dead, I Gede Ari Astina alias Jerinx, yang menjadi motor gerakan menolak reklamasi Teluk Benoa, Bali. Masih dalam kancah Pemilu 2014, ada Kartika Djoemadi, relawan media sosial yang bekerja dalam perkumpulan Jasmev.
Mereka semua berbicara tentang sesuatu yang serupa: politik bukan hanya urusan para politikus, melainkan juga urusan orang kebanyakan. Ciri lainnya: mereka bekerja tanpa pusat, tak ada komando, sehingga aktivitas mereka bukan mobilisasi.
Kuncinya ada pada kata "rela", yang menjadi dasar "relawan". "Rela" menunjukkan perbedaan yang jelas dalam hal motivasi—misalnya dibandingkan dengan umumnya mereka yang masuk ke partai politik. Minimnya pamrih membuat mereka lebih independen alias bebas kepentingan. Itulah sebabnya relawan bisa dengan mudah mendukung Jokowi dalam pemilihan presiden, tapi sebaliknya bersikap kritis ketika Presiden mengangkat orang bermasalah dalam kabinet. Mereka bisa berada dalam perahu yang sama dengan partai politik—misalnya PDI Perjuangan dan partai koalisi pro-Jokowi lainnya—tapi dengan mudah berubah sikap menentang ketika partai-partai itu memaksakan kader tak cakap masuk kabinet.
Keberadaan relawan ini harus dipelihara. Salah satu caranya adalah tidak mengkooptasi mereka dalam sebuah struktur. Biarlah mereka menjadi penjaga moral yang bebas—berkumpul untuk meluruskan yang bengkok, dan setelah tugas itu selesai kembali ke kesibukan masing-masing. Tugas pemerintah adalah memberi "ruang hidup" agar para relawan itu terus berkarya: memelihara kebebasan dan memastikan suara mereka tidak dianggap sebagai pengganggu yang berisik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo