Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepak terjang Danau Toba sebagai sebuah destinasi dan atraksi wisata sudah tak perlu diragukan lagi. Apalagi sejak periode pertama pemerintahan Jokowi, Danau Toba telah didapuk sebagai satu dari sepuluh destinasi wisata prioritas, yang langsung diikuti dengan pembenahan infrastruktur di sekitar dan menuju lokasi Danau Toba. Hanya saja, mewujudkannya tak semudah membalik telapak tangan. Pertama, sektor ekonomi di sekitar dan di Danau Toba bukan hanya sektor pariwisata. Kedua, Danau Toba berada di 6 Kabupaten yang berbeda, yang membutuhkan koordinasi dan kerjasama yang intens, untuk melahirkan kesamaan visi dan misi atas masa Depan Danau Toba, di semua bidang yang terkait dengan kehidupan masyarakat di sekitar Danau Toba
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faktanya memang banyak sektor yang eksis di Danau Toba, dengan berbagai aktor dan kepentingan yang meliputinya. Misalnya keberadaan KJA atau Keramba Jala Apung yang dianggap oleh sebagian pihak sebagai salah satu penghalang untuk mewujudkan kawasan danau Toba sebagai Kawasan pariwisata kelas dunia karena dianggap merusak ekosistem danau. Tapi menghapuskan atau melarang secara total keberadaan KJA sama artinya dengan menutup mata atas dinamika sektor ekonomi peternakan ikan di Danau Toba, yang ternyata terkait dengan banyak perut masyarakat setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita tentu sepakat, dalam perspektif pariwisata, atraksi utama di Danau Toba adalah danau itu sendiri. Sehingga pembenahan dan penataan Kawasan Danau Toba tak terelakkan. Tapi membenahi dan menata tidak serta merta berarti memberikan porsi sepenuhnya untuk sektor pariwisata dan menghilangkan sektor ekonomi yang sudah eksis yang justru terbukti juga sangat berkaitan dengan penghidupan masyarakat setempat.
Menata, dalam konteks persoalan KJA di Danau Toba, akan sangat masuk akal jika dimaknai sebagai kebijakan zonasi. Artinya, pemerintah pusat maupun daerah dituntut untuk memahami kondisi lapangan secara komprehensif, lalu menetapkan zona-zona tersendiri yang sesuai dengan kondisi dan potensi di zona tersebut. Di daerah-daerah yang ternyata tidak berpotensi secara wisata, pemerintah perlu memikirkan sektor yang potensial untuk eksis di sana, agar tidak muncul imbas negatif yang tidak perlu.
Jadi kebijakan pemerintah Sumatera Utara dan pemerintah daerah di sekitar Danau Toba tentang zonasi sudah sangat tepat. KJA yang sebenarnya memiliki efek positif secara ekonomi kepada masyarakat dan kepada pertumbuhan ekonomi regional, perlu disesuaikan lokasinya jika ternyata berada di Kawasan yang potensial secara pariwisata. Inilah makna yang tepat untuk kata “menata dan mengelola” Danau Toba. Dalam konteks ini, posisi sektor pariwisata di Danau Toba tidak bersifat “zero sum” dengan sektor lain yang sudah lebih dulu eksis.
Nah, jika perkara ini sudah sama-sama disepakati oleh semua stakeholder, baru kemudian berlanjut dengan membanahi infrastruktur dan atraksi pendukung (supporting and complementary attraction). Dan tidak menutup kemungkinan, KJA pun bisa menjadi atraksi tersendiri di Danau Toba. Dengan aturan penataan yang atraktif dan penyesuaian-penyesuaian yang imajinatif dari pelaku usaha KJA, kecil atau pun besar, tak menutup kemungkinan Kawasan khusus KJA di Danau Toba pun bisa disulap menjadi Kawasan wisata khusus, yang tidak hanya memproduksi ikan untuk diekspor, tapi juga pemandangan unik yang bisa menarik banyak wisatawan untuk datang melihatnya. Kenapa tidak?
Lalu isu krusial lain dari KJA adalah perkara limbah atau ampas makanan ikan. Tak berbeda dengan perusahaan kayu atau kertas, atau perusahaan tambang, yang jelas-jelas secara terbuka berpengaruh terhadap hutan, KJA pun demikian. Tapi dengan imbas positifnya secara ekonomi, menemukan solusi untuk mengatasi imbas negatif dari limbah makanan ikan terhadap danau akan jauh lebih baik ketimbang menghentikan aktifitas KJA. Memberikan alokasi fiskal untuk penelitian yang berkaitan dengan teknologi baru demi mengatasi imbas negatifnya, atau bersama-sama menemukan kebijakan pengelolaan KJA yang memiliki imbas lebih minimal terhadap alam, adalah dua opsi yang masuk akal, ketimbang menghentikannya secara total, di saat sektor pariwisata juga belum mampu memberikan imbas positif secara maksimal kepada masyakarat setempat yang menggantungkan hidup dari aktifitas bisnis KJA.
Apa yang dialami Danau Toba, ternyata tak berbeda dengan apa yang dialami Danau Maninjau di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Dan ternyata bupati baru Kabupaten Agam memahami dilema tersebut, sehingga beliau memilih untuk menata secara hati-hati dengan memberi porsi yang proporsional kepada sektor pariwisata dan KJA. Karena pertama, nyatanya tidak mudah untuk mencarikan sumber penghidupan baru bagi masyarakat yang sebelumnya menggantungkan hidup dari aktifitas bisnis KJA.
Kedua, aktifitas bisnis pariwisata pun tidak serta merta mekar bak bunga di taman, tapi membutuhkan upaya yang konsisten dan berkelanjutan untuk mendatangkan wisatawan dan menghasilkan aktifitas pariwisata yang bisa memberi efek positif kepada perut masyarakat setempat. Memang tak bisa dipungkiri, jutaan wisatawan lokal dan internasional akan menjadi kue ekonomi yang sangat menggiurkan. Tapi tak bisa pula dimaknai dengan mudah bahwa wisatawan akan datang dengan sendirinya dari berbagai penjuru. Tetap diperlukan usaha ektra dan luar biasa untuk tujuan sektor pariwisata tersebut.
Sementara di sisi lain aktifitas bisnis KJA sudah terbukti berhasil memberikan banyak hal selama ini kepada masyarakat dan daerah, baik lapangan pekerjaan, devisa ekspor ikan KJA, kontribusi pada PDRB daerah, dan kontribusi pajak. Pemerintah pusat dan daerah tak bisa menutup mata begitu saja atas kontribusi-kontribusi tersebut, sehingga kebijakan untuk menyiasati dilema tersebut harus pula berbasis kepada kepentingan pariwisata di satu sisi dan kepentingan KJA di sisi lain.
Pendeknya, saya ingin mengatakan bahwa penataan dan pembenahan Danau Toba menuju Kawasan pariwisata berkelas dunia adalah cita-cita yang perlu didukung oleh semua pihak, baik di daerah maupun di Jakarta. Tapi menutup peluang pemanfaatan danau untuk keramba secara total di saat imbas positifnya masih dinikmati oleh banyak pihak di berbagai level adalah juga pilihan yang keliru, karena hal itu jelas menutup mata terhadap fakta sosial ekonomi yang ada di Danau Toba.
Menurut beberapa penelitian ilmiah, sekira 20-25 persen dari danau masih bisa ditoleransi untuk penggunaan KJA, asal tidak menyebar secara tak beraturan. Artinya, memang diperlukan kawasan khusus untuk aktifitas dan bisnis KJA di Danau Toba, agar tidak berjalin kelindan dengan kawasan pariwisata. Koeksistensi inilah yang sebenarnya diharapkan muncul sebagai bagian dari misi pariwisata Danau Toba. Jadi poinnya, yang diperlukan adalah penataan dan penetapan zonasi, mana kawasan usaha perikanan dan mana kawasan pariwisata. Dengan begitu, saat wisatawan datang ke kawanan yang menjadi domain pariwisata, mereka mendapatkan kawasan yang memang ditatakelola dengan apik untuk pariwisata, tanpa harus terpengaruh oleh pemandangan keberadaan KJA karena sudah berada di kawasan tersendiri. Dengan kata lain, kedua bidang sebenarnya bisa saling berbagi porsi secara baik dan berbagi peran untuk ikut menyejahterakan masyarakat di sekitar Danau Toba demikian pula menggerakkan pembangunan daerah dimana industri itu beroperasi. Semoga.