Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH sebaiknya tak buru-buru membusungkan dada, mengklaim telah serius membantu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terpukul oleh pandemi Covid-19. Nyatanya, keseriusan itu baru tampak dari besarnya alokasi belanja negara untuk menolong sektor usaha UMKM, belum pada implementasinya di lapangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada 2020 memang menunjukkan pemerintah menaruh perhatian amat besar pada nasib UMKM. Dana sebesar Rp 123,46 triliun disiapkan untuk mencegah sektor usaha ini terpuruk lebih dalam. Penyerapannya juga tampak menjanjikan. Data Kementerian Keuangan per 16 Februari 2021 mencatat belanja dukungan UMKM 2020 terealisasi sebesar Rp 112,4 triliun, untuk sedikitnya 37 juta pelaku usaha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertanyaannya, benarkah belanja negara sebesar itu tepat sasaran? Pertanyaan ini sungguh sulit dijawab. Sejauh ini, data penerima beragam program bantuan UMKM sama gelapnya dengan informasi mendetail tentang realisasi program pemulihan ekonomi nasional lainnya. Namun ada cukup banyak indikasi yang membuat kita mempertanyakan efektivitas program tersebut.
Pemerintah menggulirkan bantuan tersebut pada pertengahan tahun lalu untuk menghadapi dampak pandemi Covid-19. Namun pemerintah punya masalah serius dalam mengelola sektor usaha ini: tak ada data yang valid dan terintegrasi tentang UMKM di Indonesia. Itulah sebabnya, sebagian besar dana disalurkan dalam bentuk program bantuan yang melibatkan perbankan, baik dalam bentuk penempatan dana maupun pemberian subsidi bunga.
Kementerian Keuangan mencatat anggaran bantuan UMKM berupa penempatan dana dan subsidi bunga telah terealisasi sebesar Rp 79,58 triliun untuk menyokong 23,8 juta debitor. Kalaupun debitor yang dimaksud benar-benar pengusaha kecil, artinya masih ada puluhan juta UMKM lain yang belum mengakses bantuan tersebut. Sebagian besar di antara 64,2 juta pelaku usaha kecil—lagi-lagi jika akurasi data per 2018 milik Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah dapat dipercaya—selama ini tidak bankable.
Pemerintah memang juga menggulirkan program Bantuan bagi Pelaku Usaha Mikro (BPUM) berupa dana tunai Rp 2,4 juta per penerima manfaat. Penyerapannya diklaim lebih baik lagi, yakni mencapai 100 persen dari total anggaran Rp 28,8 triliun untuk 12 juta pelaku usaha. Namun, jika melihat syarat yang ditetapkan pemerintah bagi calon penerima bantuan, ketepatan sasaran program ini pantas dipertanyakan.
Agar dapat menjadi penerima BPUM, misalnya, pelaku UMKM harus mendaftar agar diusulkan hanya oleh kantor dinas di daerah, koperasi, kementerian, bank, badan usaha milik negara, atau badan layanan umum. Pembatasan lembaga pengusul semacam ini berpotensi membuat bantuan hanya dimanfaatkan oleh segelintir UMKM yang selama ini menjadi binaan lembaga-lembaga tersebut. Faktanya, situs dinas koperasi di beberapa daerah hingga saat ini kebanjiran aduan pelaku usaha yang belum menerima bantuan apa pun meski telah mendaftar sejak tahun lalu.
Berbagai persoalan tersebut menunjukkan betapa upaya menolong UMKM, sektor usaha yang selama ini menyumbang lebih dari separuh produk domestik bruto Indonesia, masih banyak kekurangan. Presiden Joko Widodo harus segera mengevaluasi implementasi program ini, agar duit negara ratusan triliun rupiah yang kembali dialokasikan dalam APBN 2021 benar-benar diterima oleh pengusaha kecil yang membutuhkan pertolongan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo