Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mengebiri Wewenang Mahkamah Konstitusi

DPR dan pemerintah sepakat hendak memangkas wewenang Mahkamah Konstitusi. Pembahasan revisi undang-undang tak boleh tertutup.

20 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLITIKUS Senayan dan pemerintah semestinya tak menutup diri ketika membahas rancangan undang-undang—kecuali jika ada motif jahat sehingga publik tak perlu tahu. Apalagi yang dibahas persoalan mahapenting, yakni revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Khalayak terkejut lantaran banyak wewenang lembaga yang lahir di era reformasi ini dipreteli.

Satu poin penting yang disoroti menyangkut wewenang Mahkamah sebagai penguji undang-undang. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah sepakat membatasi wewenang hakim konstitusi. Mereka dilarang mengeluarkan putusan bersifat ultra petita—memutus sesuatu di luar permohonan. Aturan ini dituangkan dalam pasal 45-A rancangan revisi.

Selama ini hakim konstitusi dianggap mengambil alih fungsi legislatif lantaran sering menciptakan aturan baru. Tapi keleluasaan seperti ini amat diperlukan agar tidak terjadi kekosongan aturan yang membuat negara kacau. Semestinya para pembahas rancangan revisi itu mendengarkan pendapat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. Menurut dia, larangan ultra petita mutlak ditetapkan dalam sengketa perdata, tapi tidak demikian halnya dalam peradilan konstitusi.

Ada pula keinginan menghapus wewenang Mahkamah dalam menangani sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Tidak dicantumkannya wewenang ini dalam rancangan revisi semakin membuka kemungkinan itu. Wewenang hakim konstitusi ini sebetulnya bertumpu pada Undang-Undang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu. Tapi, karena dalam revisi undang-undang Mahkamah tersebut tidak dikukuhkan, wewenang itu bisa terhapus kapan saja.

Upaya itu semakin kentara dengan munculnya draf Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Di situ diatur mekanisme baru dalam penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah. Pemutusnya bukan lagi Mahkamah Konstitusi, melainkan pengadilan tinggi yang berada di bawah Mahkamah Agung. Perubahan itu bukan mustahil membuat penyelesaian sengketa itu amburadul. Para hakim tak bisa memutus sengketa secara cepat karena selama ini telah kebanjiran perkara biasa.

Pengadilan tinggi juga akan lebih rawan dimasuki mafia hukum dibandingkan dengan Mahkamah Konstitusi. Risikonya amat besar bila hakim tak mampu membuat putusan yang adil mengenai sengketa pemilihan kepala daerah. Ini bisa menimbulkan konflik berkepanjangan dalam masyarakat.

Keinginan mengendalikan hakim konstitusi pun terlihat dalam rancangan revisi. Lihat saja aturan mengenai pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi. Majelis yang bertugas menjaga kode etik hakim ini melibatkan pula orang luar, antara lain Ketua Komisi Yudisial. Tapi rada aneh jika ternyata majelis kehormatan juga beranggotakan seorang anggota DPR. Keterlibatan politikus Senayan dalam pengawasan hakim konstitusi justru mengundang campur tangan politik di lembaga peradilan.

Sejumlah poin yang jadi sorotan masyarakat itu sebaiknya diperhatikan Dewan dan pemerintah. Mumpung rancangan perubahan undang-undang itu belum disahkan, ada baiknya pembahasannya melibatkan masyarakat luas. Pembahasan yang terkesan tertutup di Badan Legislatif DPR justru akan mengundang kecurigaan.

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi memang perlu disempurnakan. Tapi upaya perbaikan ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Jangan sampai niat baik ini malah berakibat buruk: praktek penyelenggaraan negara semakin amburadul dan Mahkamah yang selama ini cukup baik mengawal konstitusi justru kehilangan fungsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus