Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atas nama moral dan tertib lingkungan, sekelompok warga Cikupa, Tangerang, Banten, bertindak biadab. Mereka menyeret dua sejoli dari kamar kos, menelanjangi keduanya, lalu mengarak keliling kampung. Sikap main hakim sendiri ini melanggar hak asasi manusia dan pelakunya perlu dihukum setimpal.
Masyarakat dan tokoh setempat tidak berwenang menghakimi pasangan itu. Sesuai dengan hukum positif pun tak ada pelanggaran yang dilakukan pasangan kekasih tersebut. Sebelum mempermalukan pasangan itu, warga setempat juga memaksa keduanya mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan. Sebagian warga bahkan merekam kekejian pada medio November lalu itu dan mengunggah videonya ke media sosial.
Pelanggaran hukum sebetulnya telah terjadi begitu masyarakat masuk ke kamar kos secara paksa. Tindakan ini menabrak hak privasi yang dilindungi Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Pasal 31 undang-undang ini menyatakan tempat kediaman siapa pun tidak boleh diganggu. Hak privasi ini hanya bisa diabaikan oleh penegak hukum yang akan menangkap tersangka atau menggeledah.
Konstitusi juga melindungi martabat manusia. Setiap orang berhak atas perlindungan pribadi, kehormatan, martabat, dan rasa aman. Setiap orang berhak pula untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Jangankan orang yang belum tentu bersalah, martabat terpidana yang jelas bersalah pun wajib dilindungi.
Langkah Kepolisian Resor Tangerang menjerat sejumlah pelaku, termasuk ketua rukun tetangga, sudah tepat. Mereka ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiayaan secara bersama-sama sesuai dengan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tapi polisi semestinya juga mengusut secara khusus pembuat dan penyebar video peristiwa itu. Ketegasan aparat sangat penting demi membendung kebiadaban serupa.
Kini muncul gejala penyakit sosial yang berbahaya: banyak orang yang berlagak suci, suka menghakimi, serta puas melihat orang lain menderita. Tindakan mereka sudah mengarah pada persekusi. Sesuai dengan Statuta Roma, persekusi adalah penindasan atau perampasan hak kelompok atas dasar ras, agama, budaya, atau gender. Tapi orang menggunakan istilah ini dalam pengertian lebih luas.
Tindakan main hakim sendiri sebelumnya juga terjadi di Bekasi pada Agustus lalu. Masyarakat membakar hidup-hidup tukang servis elektronik yang dicurigai mencuri amplifier dari masjid. Di media sosial pun kerap terjadi perisakan terhadap orang yang berbeda keyakinan, yang berujung perburuan di dunia nyata. Gelombang persekusi misalnya terjadi ketika Jakarta dilanda demam "anti-penistaan agama dan ulama" menjelang pemilihan gubernur tahun ini.
Pemerintah perlu mendorong penegak hukum bersikap tegas dan lebih cepat terhadap setiap tindakan main hakim sendiri. Aturan hukum pun perlu disempurnakan demi mencegah berkembangnya kejahatan ini, bukan malah sebaliknya. Itu sebabnya ketentuan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang bisa mendorong persekusi perlu segera dihapus. Rancangan ini memasukkan "hukum yang hidup di masyarakat" sebagai penentu seseorang bisa dipidana.
Frasa "hukum yang hidup di masyarakat" itu tak sejalan dengan asas hukum universal bahwa semua aturan pidana harus tertulis. Orang tak boleh dipidana berdasarkan hukum kebiasaan. Aturan ini justru akan mendorong masyarakat berlagak menjadi hakim. Hanya dengan konsistensi aturan dan tindakan tegas, perilaku brutal seperti yang terjadi di Cikupa bisa dibendung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo