Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SULIT untuk tidak mencurigai kecelakaan mobil yang menimpa Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto merupakan muslihatnya menghindari jerat hukum Komisi Pemberantasan Korupsi. Kendaraan yang membawa Setya pada Kamis malam pekan lalu menabrak tiang lampu jalan di kawasan Permata Hijau, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Saat itu, KPK tengah memburu Setya yang berstatus buron kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. Akibat "kecelakaan" itu, kepala Setya dikisahkan benjol besar dan tangannya berdarah. Malam itu, untuk sementara, Setya terhindar dari buruan penyidik komisi antikorupsi.
Melihat lokasi kejadian dan dari keterangan sejumlah saksi, kecelakaan itu sulit terjadi. Dengan kondisi jalan satu arah dan separuh bagiannya tertutup timbunan tanah, mobil yang ditumpangi Setya tak mungkin bisa melaju kencang. Kantong udara mobil yang tak mengembang menunjukkan kendaraan itu bergerak dengan kecepatan di bawah 60 kilometer per jam. Satu lagi yang ganjil: ajudan dan pengendara yang duduk di kursi depan justru tak terluka.
Rumah sakit sepertinya menjadi tempat paling aman bagi Setya untuk lolos dari buruan KPK. September lalu, Setya masuk ruang operasi Rumah Sakit Premier Jatinegara, Jakarta Timur, ketika hendak diperiksa sebagai tersangka. Ia disebut-sebut mengalami penyempitan jantung. Kesehatan Ketua Umum Golkar itu membaik tiga hari setelah hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Cepi Iskandar, mengabulkan gugatan praperadilan yang menganulir status tersangka Setya.
Untung saja komisi antikorupsi tak surut langkah. Karena memiliki dasar hukum dan bukti baru yang kuat, KPK menetapkan kembali Setya sebagai tersangka. Langkah ini sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materi Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Setya lalu melawan dengan berbagai cara: mangkir dari pemeriksaan dengan dalih pemanggilannya harus seizin Presiden. Ia diduga juga berada di balik pelaporan dua pemimpin KPK ke polisi serta menggugat kewenangan KPK dalam hal menetapkan tersangka ke Mahkamah Konstitusi. Pekan lalu, pengacara Setya kembali mengajukan gugatan praperadilan terhadap penetapan tersangka bagi kliennya. Setya juga memilih menghindar dari kejaran penyidik KPK yang mendatangi rumahnya di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan, pada Rabu pekan lalu. Upaya ini dilakukan penyidik karena ia mangkir dari panggilan pemeriksaan.
Tindakan Setya ini jelas melanggar hukum. Tidak pantas seorang pemimpin lembaga negara pembuat produk hukum melakukan tindakan memalukan seperti itu. Apalagi ini urusannya dengan penuntasan kasus korupsi e-KTP.
Korupsi e-KTP bukanlah kasus biasa. Kejahatan ini merugikan negara sekitar Rp 2,3 triliun, menggagalkan proyek nasional identitas tunggal, dan membuat banyak orang kesulitan dalam mendapatkan hak administrasi kependudukan. Jutaan penduduk belum bisa mengganti KTP lama mereka yang habis masa berlakunya, lantaran blangko e-KTP tak tersedia. KPK mesti tegas. Tidak boleh ada orang yang dapat seenaknya mengangkangi hukum- siapa pun dia dan apa pun jabatannya.
Siapa saja yang membantu Setya menghalang-halangi penyidikan harus ditindak tegas. Ini tak terkecuali dokter rumah sakit jika terbukti mereka membantu Setya menghindar dari jerat KPK. Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menetapkan sanksi penjara 3-12 tahun bagi siapa saja yang terbukti dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan penyidikan. KPK tak perlu ragu menggunakan pasal itu untuk menjerat mereka. Komisi perlu memeriksa pegawainya untuk menjawab desas-desus bahwa Setya mendapat bocoran dari orang dalam.
KPK telah memindahkan Setya ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Komisi harus secara serius memeriksa kesehatannya. Jika terbukti berpura-pura sakit, ia harus segera digelandang ke tahanan. Jika alasan sakitnya sulit dipatahkan, pengadilan bisa melakukan pengadilan in absentia yang tata caranya telah diatur Undang-Undang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi.
Pengadilan terhadap Setya akan membuktikan bahwa KPK tak bisa dikangkangi- tudingan yang selama ini selalu diarahkan kepada lembaga antikorupsi itu. Di mata dunia internasional, pengadilan Setya itu bisa menjadi bukti bahwa Indonesia serius memberantas kejahatan luar biasa ini.
Presiden Joko Widodo selayaknya mendukung pengusutan ini. Pemerintah hendaknya tak tersandera oleh "janji" dukungan Partai Golkar yang dipimpin Setya kepada Jokowi pada Pemilihan Umum 2019. Bersiasat untuk memenangi kembali pemilu tentu tak ada salahnya. Tapi mengorbankan hukum untuk kepentingan politik sesaat merupakan pengkhianatan nyata kepada Republik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo