Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SITI Nurbaya semestinya memberi contoh berperilaku taat terhadap larangan memelihara satwa langka. Ironisnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan kabinet Presiden Joko Widodo itu justru diduga kuat melanggar ketentuan yang dibuat lembaganya sendiri.
Larangan memelihara satwa yang dilindungi karena populasinya makin berkurang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Undang-undang itu mencantumkan jenis hewan yang tidak boleh secara bebas dipelihara serta mekanisme perizinan yang harus dilalui untuk melakukan penangkaran. Sanksi untuk setiap pelanggaran juga jelas, yaitu pidana penjara maksimal lima tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta. Berbekal aturan ini, jajaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan acap melakukan razia dan menangkap mereka yang terbukti memelihara satwa dilindungi tanpa izin.
Di tengah penegakan hukum yang kerap dinilai tidak optimal, Menteri Siti mempertontonkan pelanggaran undang-undang konservasi tersebut. Investigasi majalah ini menemukan Siti dan sejumlah pejabat tinggi lain memelihara satwa-satwa dilindungi tanpa surat izin resmi. Siti memelihara burung kakatua putih jambul kuning dan merak hijau- dua di antara 20 binatang yang mendapat prioritas perlindungan pemerintah.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, juga kedapatan memelihara dua merak hijau, dua rangkong, dua kakatua jambul kuning, dan dua kakatua raja di vilanya di Puncak, Bogor. Pejabat lain yang juga ketahuan mengurung satwa liar secara ilegal adalah Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon, Ketua Komisi Hukum DPR Bambang Soesatyo, dan Duta Besar RI di Kroasia, Komisaris Jenderal Purnawirawan Sjachroedin Zainal Pagaralam.
Jenis-jenis satwa yang ditemukan itu tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, yang berisi daftar hewan dilindungi. Hanya pemilik izin penangkaran dan lembaga konservasi yang boleh memeliharanya. Satwa-satwa dilindungi itu haram dimiliki perseorangan tanpa izin.
Ketidakpatuhan pejabat itu amat memalukan. Mereka yang seharusnya berdiri dalam garda terdepan memerangi perdagangan satwa dilindungi justru menjadi pelanggar aturan. Bagaimana kita bisa berharap masyarakat awam patuh dan mau melindungi satwa yang hampir punah itu jika orang-orang yang diharapkan memberi contoh malah melanggarnya.
Mereka seharusnya paham bahwa praktik gelap perdagangan satwa liar sudah masuk tahap mencemaskan. Lembaga pemerhati satwa, Wildlife Conservation Society Indonesia Program, mencatat perdagangan satwa liar secara ilegal di Indonesia pada 2016 meningkat empat kali lipat sejak 2010, dengan nilai perdagangan mencapai Rp 13 triliun per tahun.
Kejahatan lingkungan itu seperti tidak bisa dilenyapkan. Hingga sekarang, perdagangan ilegal satwa liar terus berlangsung secara masif dan terbuka, lewat transaksi online. Harapan akan tegaknya perlindungan terhadap satwa langka terus menipis ketika para petinggi di negara ini justru mempertontonkan pelanggaran hukum secara nyata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo