Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengoptimalkan Program Pengungkapan Sukarela di tengah Era Keterbukaan Informasi

Saat ditelaah lebih dalam, PPS memiliki cara kerja yang berbeda dibandingkan Tax Amnesty. Lebih jelasnya, target peserta PPS ini terbagi menjadi dalam dua skema dengan target wajib pajak yang berbeda.

9 April 2022 | 06.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Program Pengungkapan Sukarela (PPS) sebagai bagian dari Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan, telah resmi berlangsung mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2022 mendatang. Pemerintah menetapkan PPS ini dengan tujuan untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan masyarakat.

Secara sekilas, PPS menawarkan keringanan beban tarif pajak atas harta seperti program Tax Amnesty beberapa tahun lalu. Namun saat ditelaah lebih dalam, PPS memiliki cara kerja yang berbeda dibandingkan Tax Amnesty. Lebih jelasnya, target peserta PPS ini terbagi menjadi dalam dua skema dengan target wajib pajak yang berbeda. Skema I memberikan kesempatan kepada para Wajib Pajak peserta Tax Amnesty yang ingin mengungkapkan harta tahun 1985 – 2015 yang kurang dilaporkan pada Tax Amnesty yang lalu. Sementara skema II, memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak pribadi yang ingin mengungkapkan harta yang diperoleh dari periode tahun 2016 – 2020, yang belum pernah diungkapkan dalam laporan SPT.

Pada kedua skema ini, terdapat 3 tingkat tarif pajak untuk jenis partisipasi PPS yang berbeda, yakni:

  1. Untuk deklarasi aset luar negeri
  2. Untuk repatriasi aset luar negeri dan deklarasi aset dalam negeri
  3. Untuk repatriasi dan investasi pada instrumen SBN khusus PPS/ hilirisasi/ sektor energi terbarukan atau renewable energy

Untuk partisipasi pada tingkat 2 dan 3, maka terdapat masa holding period selama 5 tahun di wilayah NKRI. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel penjelasan berikut:

Keterangan

Kebijakan I

Kebijakan II

Subyek

Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan peserta Tax Amnesty

Wajib Pajak Orang Pribadi

Basis Aset

Aset per 31 Desember 2015 yang belum diungkap saat Tax Amnesty

Aset perolehan 2016 – 2020 yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020

Tarif PPH Final

  • 11% untuk deklarasi
  • 8% untuk aset LN repatriasi dan aset DN
  • 6% untuk aset LN repatriasi dan aset DN yang diinvestasikan dalam SBN/ hilirisasi/ renewable energy
  • 18% untuk deklarasi
  • 14% untuk aset LN repatriasi dan aset DN
  • 12% untuk aset LN repatriasi dan aset DN yang diinvestasikan dalam SBN/ hilirisasi/ renewable energy

Sumber: DJP

Bagi Wajib Pajak yang ingin mengikuti tingkat 3 untuk investasi di instrumen SBN, dalam rangka memanfaatkan tarif PPH yang lebih rendah, maka dapat mengikuti SBN khusus PPS melalui perbankan yang merupakan Dealer Utama. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) menyediakan 2 seri instrumen SBN khusus PPS, dalam mata uang Rupiah atau FR0094, yang menawarkan tingkat kupon 5.6% untuk tenor 6 tahun. Dan, dalam mata uang Dolar AS atau seri USDFR003, dengan tingkat kupon 3% untuk tenor 10 tahun. Instrumen SBN khusus PPS ini memiliki masa minimum holding period, dimana tidak dapat dilakukan penarikan setidaknya 2 tahun di awal. Sebelum Wajib Pajak menentukan partisipasi pada tingkat tarif yang mana, ada baiknya Wajib Pajak menilai potensi kebutuhan dan fleksibilitas harta yang akan diungkapkan dalam masa mendatang.

Dengan mengikuti PPS ini, maka Wajib Pajak mendapatkan kesempatan untuk mengungkapkan harta kekayaannya yang belum diungkapkan. Mengapa? Hal ini untuk menghindarkan potensi sanksi Tax Amnesty pada skema I, dan potensi harta menjadi obyek pemeriksaan pada skema II.

Keterbukaan informasi perpajakan sejak Tax Amnesty telah jauh berkembang, terutama sejak adanya kesepakatan Automatic Exchange of Information (AEoI). AEoI adalah sistem pertukaran informasi keuangan otomatis, terutama kewajiban pajak antar negara yang bergabung dalam G-20 dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Saat ini telah lebih dari 100 negara bergabung dalam kesepakatan AEoI, termasuk Indonesia. Dengan adanya AEoI ini, otoritas pajak dapat melakukan pemeriksaan laporan pajak dari Wajib Pajak untuk memeriksa akurasi laporan penghasilan dan harta luar negeri yang dilaporkan. 

Di Indonesia, kekuatan hukum AEoI diatur dengan Undang-Undang No. 9/ 2017. Sejumlah peraturan kementerian keuangan (PMK) juga diundangkan untuk mengatur petunjuk teknis pelaksanaan AEoI ini. Saat AEoI berlaku, DJP akan memiliki akses atas data nasabah bank dan lembaga keuangan nonbank. Semua lembaga keuangan bank dan nonbank akan wajib untuk melaporkan data secara berkala dan otomatis ke DJP. Informasi tersebut dapat menjadi basis data perpajakan. Melalui AEoI, data yang diperoleh tidak hanya bersifat nasional, namun juga internasional. Negara-negara yang tergabung dalam AEoI dapat saling menukar data secara otomatis atas dasar imbal balik atau resiprokal.

Dengan adanya AEoI, sumber informasi menjadi semakin terbuka bagi DJP, tidak hanya terbatas pada perbankan saja. Sehingga, pemerintah mendorong agar Wajib Pajak dapat memanfaatkan kesempatan PPS kali ini untuk mengungkapkan harta ataupun aset yang belum sepenuhnya dilaporkan pada Tax Amnesty sebelumnya, serta harta yang diperoleh setelah masa Tax Amnesty. Masa PPS ini juga cenderung singkat, hanya 6 bulan hingga 30 Juni 2022, namun Wajib Pajak masih memiliki kesempatan untuk pemenuhan repatriasi dan investasi hingga 30 September 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus