Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sutarno Bintoro
Anggota Tim Penyusun Pedoman Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang Pasar Modal KPK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penanganan perkara dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya memasuki babak baru. Kejaksaan Agung berencana menerapkan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Jika nanti benar diterapkan, ini menjadi pencucian uang kedua di Indonesia yang melibatkan perusahaan asuransi badan usaha milik negara setelah perkara PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) pada 2011. Ini juga menjadi perkara pencucian uang keempat yang menggunakan sarana pasar modal dalam pencucian uang hasil korupsi selain perkara Muhammad Nazaruddin dan Bambang Irianto yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dan PT Askrindo yang ditangani kepolisian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan Penilaian Risiko Tindak Pidana Pencucian Uang Sektor Jasa Keuangan Tahun 2017, ada tiga jenis profil nasabah yang berisiko tinggi menjadi pelaku pencucian uang di sektor perasuransian, yakni pejabat pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), pengurus partai politik, dan pengusaha. Jenis produk atau layanan yang paling berisiko tinggi digunakan sebagai sarana untuk pencucian uang adalah produk unit link karena adanya layanan investasi yang digabungkan dengan produk asuransi sehingga produk ini menarik bagi para pelaku tindak pidana untuk mencuci uang sekaligus mendapatkan hasil investasi dari produk tersebut. Adapun saluran distribusi yang berisiko tinggi digunakan sebagai sarana untuk pencucian uang adalah penjualan langsung (termasuk melalui agen) dan penjualan langsung melalui bank.
Sektor pasar modal memang sangat rawan dan rentan menjadi tempat pencucian uang dibanding sektor jasa keuangan lainnya. Hal ini sesuai dengan hasil National Risk Assessment (NRA) pada 2015 dan Sectoral Risk Assessment (SRA) pada 2017 yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sektor ini dipilih sebagai instrumen pencucian uang karena dipandang sebagai tempat yang aman bagi pihak-pihak yang ingin memutihkan uangnya. Hal ini, misalnya, dilakukan dengan membeli efek melalui broker dengan tetap menjaga kerahasiaan identitas pelaku, seperti menggunakan rekening orang lain. Cara lain adalah melakukan private placement ke dalam suatu perusahaan kemudian perusahaan tersebut go public di pasar modal.
Di sisi lain, investasi di pasar modal juga menjadi pilihan pelaku kejahatan untuk melakukan penipuan, memanipulasi pasar, dan perdagangan orang dalam (insider trading). Mereka memanfaatkan pasar modal untuk menghindari deteksi dari pihak berwajib dengan berbagai modus, mengingat sifat transaksi di pasar modal dapat dilakukan dari jarak jauh, tanpa warkat, dan bersifat internasional. Produk-produk pasar modal yang beragam dan proses bisnis yang cukup kompleks serta nilai transaksi dan kapitalisasi pasar modal yang tinggi juga menjadi alasan pelaku kejahatan berinvestasi di pasar modal. Menurut National Risk Assessment of Money Laundering and Terrorist Financing 2017 dari pemerintah Inggris, risiko pencucian uang melalui pasar modal merupakan tipologi baru, termasuk risiko peningkatan terhadap eksploitasi teknologi informasi.
Untuk menghadapinya, OJK telah melakukan berbagai upaya, seperti menerbitkan peraturan tentang prinsip mengenal nasabah dan surat edaran tentang pertemuan langsung dalam penerimaan pemegang efek reksa dana melalui pembukaan rekening secara elektronik. Selain itu, pada 2017, OJK menerbitkan peraturan tentang program anti-pencucian uang.
Terbitnya peraturan OJK pada 2017 itu merupakan langkah strategis OJK dalam pencegahan dan pengawasan pencucian uang di sektor jasa keuangan, termasuk pasar modal. Hal itu perlu dibarengi dengan upaya penegakan hukum agar efektif. Sayangnya, para penegak hukum terhambat dalam menangani perkara korupsi atau pencucian uang di sektor pasar modal karena minimnya pemahaman mereka tentang pasar modal.
OJK telah membentuk unit kerja khusus, yaitu Grup Penanganan Anti-Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT), yang memberikan rekomendasi dan melakukan koordinasi dengan pihak eksternal dalam pencegahan pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme di sektor jasa keuangan, membangun basis datanya, dan melakukan analisis laporan industri. Namun keberadaan unit kerja ini dipandang belum optimal dan perlu disesuaikan dengan hasil penilaian risiko Indonesia terhadap pencucian uang.
Cara lain, OJK dapat membentuk unit kerja khusus penanganan pencucian uang dan korupsi lewat kerja sama dengan KPK, kepolisian, dan kejaksaan, sehingga penegak hukum terbantu dan dapat bekerja dengan cepat. Unit yang khusus menangani sektor jasa keuangan ini diharapkan dapat menjadi desk khusus bagi aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi dan pencucian uang di sektor jasa keuangan. Nantinya unit ini juga bisa dikembangkan dengan operasi bersama untuk investigasi dan pembangunan kapasitas.