Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Menohok Terobosan Ahok

23 Mei 2016 | 00.00 WIB

Menohok Terobosan Ahok
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

GUBERNUR DKI Basuki Tjahaja Purnama tak perlu ragu membeberkan soal kontribusi tambahan proyek reklamasi pantai utara Jakarta. Jika tidak ada niat jahat dan tak merugikan negara, ia sulit dituding melakukan korupsi sekalipun terobosan ini kontroversial.

Kebijakan Basuki alias Ahok menyangkut kewajiban ekstra pada PT Muara Wisesa Samudra-anak usaha PT Agung Podomoro Land. PT Muara merupakan pemilik izin reklamasi Pulau G seluas 161 hektare atau dikenal sebagai Pluit City. Perusahaan itu diwajibkan membiayai proyek senilai Rp 392,6 miliar sebagai kontribusi tambahan sekaligus menjadi syarat memperoleh izin reklamasi pantai.

Temuan itu terendus setelah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah kantor Agung Podomoro di Jalan S. Parman, Slipi, Jakarta, 1 April lalu. Dari dokumen yang disita, terungkap pula PT Muara sudah menggelontorkan Rp 218,7 miliar untuk kontribusi tambahan. Di antaranya buat pembangunan dan pengadaan mebel rumah susun sederhana sewa di Daan Mogot, Jakarta Barat, pengadaan rumah pompa, serta penertiban kawasan prostitusi Kalijodo.

Kontroversi muncul lantaran aturan mengenai kontribusi tambahan bagi pengembang reklamasi itu belum ada. Celah ini tengah ditelusuri Komisi Pemberantasan Korupsi sekaligus dimanfaatkan lawan-lawan politik buat menohok Basuki. Aturan kontribusi tambahan baru dimasukkan ke Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Pantai Utara Jakarta. Celakanya, pembahasan rancangan ini bertele-tele karena Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta meminta kontribusi tambahan yang diusulkan Basuki sebesar 15 persen dihapus atau paling tidak turun menjadi 5 persen. 

Dewan bahkan menunda pembahasan rancangan peraturan itu hingga 2019 setelah KPK menangkap salah satu anggotanya, Mohamad Sanusi. Politikus Gerindra ini ditangkap setelah kedapatan menerima suap dari anak buah Presiden Direktur Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja pada akhir Maret lalu. Oleh Komisi, kasus kontribusi tambahan dipisahkan dari perkara suap.

Gubernur Basuki berargumen bahwa terobosan itu merupakan diskresi, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Sesuai dengan undang-undang ini, pejabat boleh mengambil keputusan atau tindakan untuk mengatasi persoalan yang konkret tapi tidak secara jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan. Syarat diskresi antara lain ada alasan obyektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan dilakukan dengan iktikad baik.

Basuki perlu menjelaskan lebih gamblang lantaran keputusan tentang kontribusi mungkin sudah diambil sebelum landasan hukumnya terbit. Kebijakan kontribusi tambahan sudah dibahas rapat yang digelar di ruangan Basuki pada 18 Maret 2014, ketika ia masih menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta. Padahal Undang-Undang Administrasi Pemerintahan baru disahkan pada akhir September 2014. 

Terobosan Ahok sebetulnya tidak aneh. Pemberian ganti rugi bagi penghuni liar, misalnya, juga termasuk diskresi. Berlandaskan aturan, pemerintah sebetulnya bisa langsung menggusur tanpa ganti rugi. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga dikenal soal inovasi semacam ini. Tujuannya agar pejabat daerah berani melakukan terobosan tanpa khawatir dituding melanggar. Inovasi itu harus tidak mengandung konflik kepentingan, demi kepentingan umum, dan bisa dipertanggungjawabkan. Hanya, undang-undang ini juga baru disahkan pada 30 September 2014. Ahok memanggul risiko: diskresi tentang kontribusi tambahan bisa digugat pihak-pihak yang dirugikan secara hukum-meski tidak serta-merta kebijakan itu bisa dianggap berbau korupsi.

KPK mesti bekerja lebih keras untuk membuktikan adanya unsur korupsi dalam terobosan itu. Komisi harus menyelidiki apakah kebijakan Basuki merugikan negara atau masyarakat secara langsung ataupun tidak langsung. Perlu diungkap pula apakah ada keuntungan pribadi atau golongan di balik keputusan itu.

Kalau ternyata ada korupsi di balik terobosan Basuki, KPK harus berani bertindak tegas. Sebaliknya, Gubernur Basuki tak perlu cemas bila terobosan itu tak disertai niat jahat yang menguntungkan dia dan kalangan dekatnya. Ia bahkan perlu secara aktif menjelaskan latar belakang dan tujuan terobosan itu kepada publik agar persoalan menjadi terang-benderang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus