Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Golkar tak punya calon lain

Wawancara tempo dengan jakob tobing tentang su mpr sidang bp mpr, budaya calon tunggal, pencalonan presiden dan wapres.

2 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JACOB Tobing, Ketua Departemen Organisasi, Keanggotaan dan Kaderisasi Golongan Karya, ditunjuk Ketua Umum Wahono untuk ''mewakili'' menjawab TEMPO. Wahono sendiri mengantar bantuan Golkar untuk gempa bumi Flores. Sedangkan TEMPO ''diwakili'' Toriq Hadad, Indrawan, dan Dwi S. Irawanto: Apakah Golkar memproyeksikan SU MPR berjalan lebih mulus? Harus ditinjau dulu apa yang dimaksud dengan mulus atau tidak. Golkar tidak berpretensi kalau semua hal lantas sepakat bulat. Yang Golkar inginkan adalah keputusan yang kualitatif baik, hasil argumentasi substansial, dan ada kedalaman argumentasi. Menurut Anda, apa yang terjadi di sidang BP MPR sekarang? Ada adu argumentasi yang cukup meningkat. Peningkatan yang terutama terjadi adalah perbedaan itu dikomunikasikan kepada masyarakat. Selama ini, adu argumentasi hanya terjadi di ruangan tertutup. Jadi, kalau nanti ada kesepakatan, itu adalah kesimpulan yang bermutu. Kalaupun terjadi voting, itu juga bermutu. Yang menentukan bukan mufakat atau voting, melainkan bagaimana kita berargumentasi. Bagi Golkar, perubahan apa yang paling mencolok? Semua kehidupan itu kan mempunyai siklus, ada suatu sistem yang hidup, jadi tidak mekanistik. Coba kita lihat, apa kehidupan politik kita sudah menampakkan tanda-tanda kehidupan siklika. Saya bisa mengatakan saya kalah, tapi awas lima tahun lagi. Maka, dalam lima tahun akan ada sesuatu yang terjadi. Kita tidak bisa membayangkan ini terjadi tahun 1950-an. Ada kesan dinamika politik berasal dari luar yang mayoritas. Ya, paling tidak untuk tahun 1993. Jangan dikatakan kalau Golkar menjadi adem ayem begitu. Golkar juga cerminan spektrum masyarakat Indonesia, hanya mungkin ada kemampuan untuk mencernanya lebih halus. Kita bisa lihat bagaimana dulu kita tidak mau dengan sistem kebulatan tekad, tapi kalaupun Golkar bersikap begitu, bukan berarti kita memprediksi selamanya tidak akan ada peralihan yang tajam. Tapi, selama Golkar kuat, mungkin output-nya tidak akan ada perubahan radikal yang menanjak. Tapi bukankah ada gejolak di luar Golkar? Misalnya, pertemuan di Wisma Kinasih (pertemuan kelompok Kris- ten/Katolik yang kabarnya membicarakan rancangan GBHN). Itu kan aspirasi yang tidak muncul. Apa dampak ini sudah dihitung? Perubahan sosial ekonomi dari kelompok masyarakat memang harus kita perhitungkan sekali, dan nantinya akan sampai menilai kembali posisi dan peranan saya di lingkungan plural itu. Semacam appraisal (penilaian) dan ini memang sedang terjadi dengan hadirnya beberapa kelompok sebagai tombaknya, misalnya ICMI. Itu bukan hal yang salah, itu mekanisme katup penyelamatnya, tinggal kearifan kita untuk membawa dia ke mana. Sebenarnya, itu (pertemuan Kinasih) kebaktian biasa yang tidak biasa. Saya kira patut dihargai kalau ada yang ikut memikirkan GBHN. Yang penting kemudian mereka menyalurkannya kepada sistem yang ada dan bukan lantas memendam rasa. Soal calon presiden. Banyak suara soal ''budaya calon tunggal'', bagaimana menurut Anda? Kami tidak pernah apriori calon lebih dari satu. Tapi sekarang ini, Golkar tidak mempunyai calon yang kriterianya lengkap seperti Pak Harto. Mungkin akan dikatakan sebagai artifisial atau tidak, tapi ini penting bagi pembangunan politik, karena soal suksesi adalah salah satu bagian dari mekanisme politik yang paling sulit. Kita katakan begini: kita tahu dulu masalah kita apa, kita cari yang cocok, itulah asas kekeluargaan. Kita dalam operasionalnya tidak ada kebulatan tekad, tidak ada yang mendahului pembahasan GBHN versi Golkar, sementara kita didesak terus. Tapi, pokoknya, kita sukseskan dulu kepemimpinan sekarang, pada waktunya nanti kita juga akan pilih. Dengan demikian Pak Harto akan solid sekali. Tegasnya, Golkar tak punya calon lain? Benar. Soal wapres. Bagaimana kriterianya? Dia adalah anak pada zamannya dan harus mempunyai akar yang dalam dari perkembangan zaman. Tapi itu dalam skenario berpikir: keteraturan menjadi wapres, magang, lalu jadi presiden. Mudah-mudahan bisa begitu skenarionya. Tapi, bisa juga tidak begitu, maklum kehidupan politik. Dan itu tidak berarti tidak sehat. Jadi, status quo: duet Pak Harto dan Pak Dharmono? Ya, apa yang sudah baik, kalaupun diganti harus dengan yang lebih baik atau paling tidak sama baik. Bukan yang kurang baik. Mengapa sempat ada dua kriteria wapres dari Golkar? Ada yang ingin angkatan 45 dan ada yang pasca-45. Benarkah di Golkar ada kelompok yang menjagokan Sudharmono dan ada yang menginginkan Try Sutrisno? Saya pikir lebih baik itu menjadi teka teki dulu. Tidak ada yang bertentangan. Itu adalah gambaran pematangan calon wapres dari dalam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus