Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mimpi Kabinet Impian

27 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTARUNGAN ekstrakeras di antara orang-orang dekat Presiden Joko Widodo dalam penyusunan kabinet sesungguhnya bisa diperkirakan. Disambut pesta rakyat dan kegembiraan publik pada hari pelantikan, 20 Oktober lalu, di pundak Jokowi banyak harapan disematkan: pemerintahan yang bersih dan profesional, penegakan hukum yang tegas dan tak pandang bulu, perbaikan ekonomi yang lekas, serta kebijakan yang berpihak pada orang kecil.

Pelbagai harapan itu "berhadapan" dengan kepentingan segelintir orang yang memperjuangkan kelompok: partai politik, orang dekat, juga individu yang merasa punya "jasa" mendukung Jokowi dalam pemilu presiden. Mendengarkan saran mereka tentu boleh-boleh saja. Memberi jatah kursi menteri kepada partai politik—untuk mempererat buhul koalisi—juga tak ada salahnya. Meskipun mengatakan tak ingin bagi-bagi kursi, Jokowi nyatanya harus membentuk pemerintahan bersama. Di tengah sinisme publik terhadap partai politik, pagi-pagi Jokowi sudah pula mengatakan akan mengalokasikan 16 dari 34 kursi menteri untuk partai pendukungnya.

Mempertimbangkan pendapat Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden Jusuf Kalla, atau bekas pengurus Tim Transisi juga bukan sesuatu yang jelek. Tanpa restu Megawati, Jokowi tak mungkin mencalonkan diri menjadi presiden. Betapapun populernya, Jokowi bukanlah pengurus partai. Keanggotaannya di PDIP baru dimulai menjelang maju dalam pemilihan kepala daerah Solo pada 2005. Dengan kata lain, di partai itu ia cuma pendatang.

Sikap Jokowi mempertimbangkan kandidat yang diajukan Wakil Presiden juga bisa dipahami. Bagaimanapun, Jusuf Kalla adalah wakil yang akan mendampingi sang Presiden lima tahun ke depan. Tim Transisi sudah selayaknya dilibatkan karena mereka punya andil dalam menyusun platform pemerintahan.

Tekun mendengarkan saran orang lain, Jokowi semestinya tetap memelihara kesadaran bahwa ada hal penting yang tak boleh ia langgar: kehendak membentuk kabinet yang bersih dan profesional tak boleh dikalahkan oleh keinginan menyenangkan semua orang. Ketika tiap orang dekat berlomba-lomba menyodorkan kandidat menteri demi vested interested mereka, Jokowi seharusnya mengambil sikap tegas. Penentuan kabinet merupakan hak prerogatif presiden.

Tak seharusnya Jokowi "terumbang-ambing" oleh pendapat Megawati, Jusuf Kalla, bekas Ketua Tim Transisi Rini Soemarno, atau aktor lain yang diketahui aktif menyorongkan kandidat. Beberapa hari terakhir kita saksikan pertarungan yang sengit: terhadap seorang calon menteri, dua penyokong atau lebih bisa bersekutu, pada kandidat yang lain mereka berseteru.

Upaya Jokowi melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan boleh dipuji sebagai cara cerdik menyeleksi kandidat dengan meminjam tangan pihak lain. Kedua lembaga itu memiliki otoritas dan kemampuan dalam memeriksa rekam jejak seorang calon. Dicoret oleh KPK dan PPATK, para "sponsor" kandidat semestinya tidak bisa berbuat banyak. Karena itu, suara-suara yang menentang pelibatan kedua lembaga tersebut dalam penyusunan kabinet bisa dibaca sebagai kehendak agar pemerintah mendatang tidak benar-benar bersih. Masuknya calon berlabel kuning—ditengarai tersangkut perkara korupsi—adalah sesuatu yang patut disayangkan.

Hal yang selayaknya juga tak terjadi adalah konsultasi tim presiden dengan KPK dan PPATK itu dilakukan secara terbuka. Nama-nama kandidat yang diajukan, dicoret atau tidak dicoret, dengan demikian mudah terendus publik. Strategi ini mudah menimbulkan keributan. Para pengail di air keruh dengan gampang menyebarkan informasi palsu untuk mengacaukan suasana. Yang benar dan yang tak benar menjadi baur. Publik dirundung rasa tidak pasti.

Baik Presiden maupun pimpinan KPK mesti menyadari bahwa lembaga antikorupsi merupakan institusi independen. Menjalankan verifikasi tertutup akan menjaga marwah Komisi. Pernyataan Ketua KPK Abraham Samad bahwa dalam dua-tiga bulan KPK akan menangkap kandidat berlabel merah—tanda keterlibatan yang kuat dalam kasus korupsi—jika tetap dipilih sebagai menteri terasa berlebihan dan tidak produktif. Menyidik dan memenjarakan koruptor adalah tugas KPK—sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan seleksi menteri.

Terhadap para pembantunya, Presiden harus menegaskan bahwa mereka belum tentu selama lima tahun memegang jabatan itu. Jika tak becus bekerja atawa belakangan hari ketahuan pernah punya masalah serius, para menteri selayaknya diganti. Kesempatan kepada kandidat yang lebih bersih harus dibuka lebar. Matriks keterwakilan pada periode kedua penyusunan kabinet boleh saja dilonggarkan. Yang paling penting, kursi menteri harus diisi oleh kandidat yang bersih dan benar-benar cakap.

Harapan publik teramat besar kepada Joko Widodo. Tak selayaknya ia mengabaikan harapan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus