Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=verdana size=1>Kunjungan Kongres AS</font><br />Seuntai Noken di Leher Eni

Lama ditolak pemerintah RI, anggota Kongres Amerika Serikat, Eni Faleomavaega, akhirnya diizinkan masuk Papua. Sempat muncul insiden.

3 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selasa pekan lalu, Bandara Frans Kaisiepo, Biak, Papua, berubah menjadi danau manusia. Sejak dini hari, halaman parkir bandara yang biasanya lengang itu dipenuhi lima ratusan demonstran yang bernyanyi, menari, dan menabuh tifa. Mereka menyambut tamu yang sudah lama diharapkan: anggota Kongres Amerika Serikat, Eni Faleomavaega.

Setelah belasan tahun, inilah kunjungan perdana anggota parlemen dari Amerika Serikat ke Bumi Cenderawasih. Sebelumnya, akses warga asing ke Papua—dari diplomat sampai wartawan—selalu dibatasi dengan alasan keamanan. Kunjungan ini jadi makin menarik karena yang datang adalah Eni Faleomavaega, anggota Kongres dari Samoa yang telah lama dikenal aktif mengkampanyekan kemerdekaan Papua.

Karena itu, banyak orang cemas menanti drama yang akan terjadi selama tiga hari Eni berada di Papua. Di pelbagai pelosok kota yang disinggahi Eni, polisi dan tentara tampak berjaga-jaga.

Sekitar pukul 09.00 pagi, pesawat Airfast yang mengangkut rombongan Amerika Serikat ini akhirnya mendarat di Biak. Massa yang menyemut mendesak masuk ke landasan pacu. Namun pengamanan polisi amat ketat. Tak ada seorang pun yang lolos mendekati pesawat. ”Padahal kami hanya ingin menyambut,” kata Ketua Majelis Rakyat Papua, Agus Alue Alua, yang juga dihalangi aparat.

Eni dan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Cameron Hume, dijemput konvoi mobil protokoler tepat di ujung tangga pesawat dan dilarikan lewat pintu samping, dekat pangkalan TNI Angkatan Udara di Manuhua. Demonstran yang sudah menyiapkan penyambutan terkecoh. ”Saya sempat marah-marah,” kata Agus Alue. Karena tidak ada kendaraan, Agus terpaksa berjalan kaki ke lokasi pertemuan, Gedung Negara Kabupaten Biak-Numfor, bersama ratusan demonstran lainnya. ”Kami berjalan kaki satu jam,” katanya.

Sesampai di sana, Gubernur Papua Barnabas Suebu sudah berpidato membuka acara. Dengan sistematis, Suebu menjelaskan rencana pemerintah daerah memanfaatkan triliunan rupiah dana otonomi khusus. Eni menyimak serius.

Ketika tiba gilirannya berbicara, Agus Alue Alua tak berbasa-basi. Blak-blakan, mantan Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur di Jayapura ini mengkritik penerapan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang belum maksimal. ”Pemerintah daerah belum diberi kewenangan yang cukup,” katanya.

Dia lalu menunjuk sengketa antara Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah Papua tentang pelarangan ekspor kayu gelondongan. Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban menilai beleid konservasi hutan Gubernur Suebu itu tidak sejalan dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. ”Artinya, masih ada banyak peraturan yang tumpang-tindih,” kata Agus Alue. Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat yang kontroversial dan belum ada yang menjamin perlindungan hak asasi manusia di Papua tak luput dari kritik Agus.

Dia juga mengingatkan agar Eni menyerap aspirasi warga jelata. ”Jangan hanya bertemu dengan pejabat,” katanya. ”Anda harus ke pasar dan permukiman.”

Tatkala Eni manggut-manggut setuju, Agus langsung menyambar, ”Ada sejumlah pihak yang harus didengar di sini, tapi masih tertahan di luar,” katanya. Dia lalu menyebut nama Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut dan tokoh adat Papua lain: Tom Beanal, Willy Mandowen, dan Mananuir Yan Piet Yarangga. Mereka semua tidak bisa ikut pertemuan akibat tertahan polisi di luar Gedung Negara.

Permintaan Agus dikabulkan. Tak berapa lama kemudian, Tom Beanal dan sejumlah tokoh Dewan Adat Papua masuk ke ruangan rapat. Ketika diminta bicara, Tom meminta Kongres Amerika Serikat mendengarkan aspirasi warga yang ingin merdeka. ”Bapak Tom tidak bicara banyak, hanya 2-3 menit,” kata Agus Alue.

Eni sendiri tak berkomentar banyak pada hari itu. Dalam pidatonya—setelah berterima kasih kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengizinkannya melihat langsung kondisi Papua— Eni meminta warga Papua bersabar. ”Perubahan tidak bisa terjadi dalam waktu singkat,” katanya.

Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri, Andri Hadi, membenarkan ada tuntutan referendum yang muncul dalam pertemuan di Biak. ”Tapi Pak Eni Faleomavaega tidak merespons itu,” katanya. ”Tanggapan Pak Eni sangat bijak.” Andri Hadi adalah pejabat Departemen Luar Negeri yang mempersiapkan kunjungan ini. Di Papua, dia ikut ke mana pun Eni pergi.

l l l

NAMA Eni Faleomavaega mulai masuk radar media di Indonesia pada Juli 2005. Saat itu dia menjadi motor pengesahan rancangan aturan politik luar negeri Amerika Serikat, yang lebih dikenal dengan sebutan HR 2601. Dalam rancangan undang-undang itu, Kongres meminta Menteri Luar Negeri Amerika Serikat memonitor penerapan otonomi khusus di Papua dan meninjau kembali pelaksanaan jajak pendapat 1969, yang menjadi dasar bergabungnya Papua dengan Indonesia.

Usaha gigih Eni mengegolkan aturan itu kandas empat bulan kemudian. Pengesahan rancangan aturan tentang Papua oleh parlemen Amerika itu gagal. Lama tak terdengar, nama Eni Faleomavaega kembali mengorbit pada awal Juli lalu. Ketika itu dia datang langsung ke Jakarta, menemui Presiden Yudhoyono.

Setelah satu jam berdiskusi panjang-lebar dengan Presiden, Eni melunak. Dia mengaku baru tahu signifikansi Undang-Undang Otonomi Khusus untuk wilayah paling timur Nusantara itu. ”Saya mengapresiasi komitmen Presiden Yudhoyono untuk Papua,” katanya.

Ketika itu Eni sebenarnya sudah bersiap menengok Papua. Namun permohonannya ditolak dengan alasan keamanan. Pada pekan pertama Juli lalu, Dewan Adat Papua memang sedang menggelar Kongres II di Jayapura. Kongres itu diwarnai insiden pengibaran bendera Bintang Kejora.

Baru pekan lalu, Eni akhirnya boleh masuk Papua. ”Kami ingin memberi Eni kesempatan untuk melihat sendiri situasi di Papua,” kata Andri Hadi. Pemerintah Indonesia, menurut Andri, sejak awal yakin, Eni berniat tulus membangun dialog dan mempelajari masalah Papua lebih mendalam. ”Kalau arahnya lain, tentu kita tidak akan bisa bekerja sama,” katanya. Selama tiga hari berkeliling dari Timika, Biak, sampai Manokwari, isu panas tentang kemerdekaan Papua memang tak pernah muncul dari mulut Eni. ”Not even a single word,” kata Andri.

l l l

TAK semua pertemuan Eni di Papua berjalan mulus. Kisruh sempat terjadi tatkala rombongan Eni mendarat di Manokwari, Irian Jaya Barat, Selasa siang pekan lalu. Begitu pria yang sudah 18 tahun menjadi anggota Kongres Amerika ini tiba di ruang VIP, Ketua Dewan Adat Papua di Manokwari, Barnabas Mandacan, mencegatnya dan mengalungkan noken—tas rajutan khas Papua—berisi beberapa lembar pernyataan sikap rakyat Papua.

Besar kemungkinan insiden itu membuat rencana pertemuan Eni dengan warga Irian Jaya Barat, yang semula disiapkan di Swiss-Belhotel Manokwari, mendadak dipindahkan ke kantor Gubernur Irian Jaya Barat. Di sana hanya ada Wakil Gubernur Rahimin Katjong.

Padahal, lima ratusan warga dari berbagai distrik di sekitar Manokwari sudah menunggu lama di Swiss-Belhotel. Massa yang kecewa lalu bergerak ke bandara dan menjebol pagar landasan pacu. Di sana mereka mengepung pesawat Airfast yang ditumpangi rombongan. Selain mengacungkan spanduk protes, massa juga mengibar-ngibarkan bendera Bintang Kejora.

Sewaktu Eni tiba kembali, massa mendesak agar tuntutan mereka diperhatikan. Sempat terjadi dialog kecil di tangga pesawat. ”Saya sudah mendengar apa yang kalian inginkan,” kata Eni. ”Bersabarlah.” Mendengar itu, massa lambat-laun bubar.

Wahyu Dhyatmika dan Tjahjono E.P. (Papua)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus