Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo semestinya segera membentuk tim pencari fakta untuk mengungkap kerusuhan 21-23 Mei 2019. Pengusutan oleh tim independen perlu dilakukan karena polisi tidak membongkar tuntas penyebab tewasnya sejumlah warga sipil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sesuai dengan temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, peristiwa yang dipicu unjuk rasa memprotes hasil pemilihan presiden itu telah menewaskan 10 warga sipil di Jakarta dan Pontianak. Sembilan orang tewas tertembak peluru tajam dan satu orang meninggal karena benturan benda tumpul. Empat orang di antaranya masih berusia anak-anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komnas HAM menduga penembakan sembilan warga sipil itu dilakukan oleh orang terlatih dan direncanakan jauh hari. Temuan lainnya, anggota kepolisian diduga melakukan kekerasan terhadap sejumlah warga masyarakat sipil. Seorang korban mengaku diseret polisi di Jalan Kota Bambu Utara I, Jakarta Barat. Seorang korban lainnya diduga dianiaya polisi di Kampung Bali, Jakarta Pusat, 23 Mei lalu.
Polisi terkesan mengabaikan kasus kematian dan kekerasan terhadap warga sipil itu. Polisi lebih sibuk menangani para pelaku kerusuhan. Sebanyak 84 terdakwa yang terlibat dalam kerusuhan Mei lalu bahkan sudah mulai diadili. Adapun pelaku penembakan dan penganiayaan yang menyebabkan sepuluh orang tewas hingga kini belum terungkap.
Kita tahu, pemerintah melarang aparat TNI dan Polri menggunakan peluru tajam ketika mengamankan aksi tersebut. Aparat hanya dibekali tameng, gas air mata, dan water cannon untuk menghalau massa. Lalu, pertanyaannya: dari senjata siapa peluru tajam itu berasal? Inilah yang harus diungkap.
Jangan sampai kasus tersebut menguap begitu saja seperti banyak kasus kekerasan lainnya. Presiden Jokowi perlu membentuk tim independen untuk mengungkap pelaku penembakan dan penganiayaan. Tim ini harus melibatkan penegak hukum dan tokoh-tokoh yang kredibel.
Kepolisian semestinya tidak menutup-nutupi tragedi itu dengan menuduh bahwa para korban merupakan perusuh. Kalaupun tuduhan ini benar, penembakan ataupun penganiayaan tetap tidak dibenarkan. Para korban adalah warga negara yang perlu dilindungi. Artinya, pemerintah tetap berkewajiban menyeret pelaku penembakan dan penganiayaan itu ke pengadilan.
Bukan hanya kasus kerusuhan Mei yang perlu diungkap, kasus dua mahasiswa Universitas Haluoleo, Kendari, hingga kini juga masih gelap. Kedua mahasiswa itu, Randi dan Yusuf Kardawi, tewas tertembak dalam unjuk rasa di gedung DPRD Sulawesi Tenggara pada 26 September lalu. Enam anggota kepolisian yang terbukti membawa senjata api pada saat kejadian sejauh ini hanya dikenai sanksi disiplin.
Pemerintah yang selama ini dianggap kurang peduli terhadap kasus-kasus kekerasan seharusnya berusaha membuktikan bahwa penilaian itu keliru. Presiden Jokowi semestinya pula menyadari bahwa penanganan yang tak serius terhadap kematian mahasiswa dan warga sipil tersebut telah melukai rasa keadilan masyarakat.