Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dibandingkan dengan berbagai skandal keuangan yang memalukan di negeri ini, kasus Bulog tidak ada apa-apanya. Uang yang dikuras "cuma" Rp 35 miliar. Bandingkanlah, misalnya, dengan skandal Eddy Tanzil beberapa tahun lalu, yang mencapai Rp 1 triliun lebih. Atau skandal Bank Bali, yang merampas uang rakyat ratusan miliar.
Tetapi kasus ini layak menjadi perhatian kita. Kasus ini menunjukkan betapa cara-cara lama ala Soeharto dalam mengelola keuangan negara ternyata masih berlangsung, meski Soeharto sudah lengser dua tahun silam.
Sudah lama Bulog menjadi sapi perah. Pada zaman Bustanil Arifin memimpin Bulog, badan yang sangat strategis ini dikenal sebagai ”bendahara” bagi rezim Soeharto. Badan yang dibentuk untuk menstabilkan pasokan pangan itu memiliki ”dana taktis” yang sewaktu-waktu bisa dipakai oleh pemerintah dan oknum-oknumnya. Dana taktis sering disembunyikan di bawah rekening yayasan dan tidak semua orang bisa melacak isi perut yayasan itu. Bustanil sendiri, misalnya, duduk dalam kepengurusan beberapa yayasan yang dibentuk Soeharto.
Memang, tidak semua pemakaian dana taktis serta-merta bisa disebut korupsi. Dana taktis seperti itu bisa pula benar-benar dipakai untuk kepentingan negara yang mendadak. Presiden B.J. Habibie, misalnya, dikabarkan pernah memakai dana taktis Bulog ini untuk membiayai pasukan pengawal kepresidenannya.
Tapi itulah yang terjadi, dana taktis sering dipakai untuk kepentingan yang tidak jelas dan menjadi sumber korupsi yang terselubung. Dalam era Soeharto dana seperti ini dipakai untuk membiayai bisnis putra-putrinya. Soeharto bisa saja berkelit tak mengetahui semua ini, tetapi putra-putrinya dengan mudah merambah dana semacam itu dari berbagai instansi.
Dana taktis biasa pula disebut sebagai dana nonbujeter. Disebut demikian karena dana seperti ini tidak masuk ke APBN, sehingga tidak dipertanggungjawabkan secara publik lewat DPR. Ke mana pertanggungjawabannya juga tak jelas, karena lembaga pemeriksa keuangan yang dimiliki republik ini tak juga bisa menjamah dana ini.
Dana taktis di Bulog hanya salah satu dana taktis yang ada pada era Soeharto. Masih banyak dana nonbujeter yang berada di berbagai instansi dan BUMN. Pada era Orde Baru itu, misalnya, pemerintah menyelenggarakan SDSB, yang hasilnya hanya sebagian kecil dipakai untuk kesejahteraan sosial. Selebihnya menguap entah ke mana, tanpa ada pertanggungjawaban yang transparan. Dalam praktek yang masih berlaku hingga kini, setiap BUMN diminta menyisihkan keuntungan yang dipakai guna mengembangkan usaha kecil dan menengah. Namun, kita tetap tak tahu pasti berapa yang benar-benar sampai ke bawah, dan sudah berapa pengusaha kecil yang terangkat dengan dana ini.
Tak mengherankan, ketika ekonomi kita mengalami krisis, dan kita minta bantuan IMF, lembaga moneter internasional ini mengharuskan dana nonbujeter ditiadakan. Semua dana harus dimasukkan ke dalam anggaran. Dana reboisasi, misalnya, kini sudah masuk ke dalam anggaran. Namun, dana taktis Bulog, belum juga dimasukkan ke dalam anggaran.
Yang membuat kita prihatin, dalam kasus Bulog ini, yang ditilap justru dana milik karyawan, yang dikumpulkan dengan keringat karyawan Bulog. Kalau dana yayasan karyawan saja bisa seenaknya diambil tanpa ”permisi”, bagaimana pula nasib dana taktis Bulog yang ”resmi”?
Karena itulah, pengungkapan Kasus Bulog pada era Abdurrahman Wahid ini sangatlah penting. Berangkat dari sini kita akan bisa melacak betapa sering oknum pemerintah menggunakan dana itu secara serampangan. Ini juga akan menjadi pelajaran berharga untuk mengembalikan banyak dana taktis di lembaga lain semacam Bulog, yang jumlahnya triliunan rupiah. Dana-dana itu harus dikembalikan ke status sebenarnya, yakni sebagai dana publik yang pemakaiannya harus dipertanggungjawabkan secara publik pula. Ini uang rakyat, bukan uang nenek moyang para pejabat itu.
Kasus Bulog sampai saat ini tetap menjadi misteri besar. Kita belum tahu pasti siapa yang memakai dana itu, untuk apa pula, siapa yang menyuruhnya. Rumor memang banyak beredar. Ada yang menyebut, uang itu dipakai untuk kepentingan negara, seperti membiayai operasi perdamaian di Aceh atau Ambon. Siapa tahu, itu betul. Namun, jikapun itu betul, secara administrasi keuangan negara tetap menimbulkan masalah. Sebab, kita tetap tak tahu pasti berapa yang akhirnya justru masuk kantong untuk keperluan pribadi. Apalagi uang miliaran rupiah itu keluar lewat perantaraan seorang tukang pijat Presiden, dan yang mengeluarkan uang bukan pemimpin panti pijat, tetapi seorang birokrat bergelar doktor.
Harapan kita, Presiden Abdurrahman Wahid memerintahkan agar kasus ini diusut sampai tuntas, tidak cukup asal uang itu kembali berikut bunganya, seperti yang diminta Kepala Bulog Rizal Ramli. Misteri Rp 35 miliar ini harus ”diusut begitu repot”, karena negeri ini bukan republik dagelan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo