Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mochtar Lubis, meninggal dalam usia 82 tahun, Jumat lalu. Komunitas pers kehilangan seorang tokoh yang dipandang bak bintang di langit: terlalu tinggi untuk digapai, tetapi sangat bermanfaat sebagai pemandu bagi yang kehilangan kompas di tengah lautan dan tidak melihat mercusuar di kegelapan.
Memang memahami tindakan Mochtar Lubis dalam mempertahankan kebebasan pers sama sulitnya dengan menggapai bintang, termasuk bagi kalangan dekatnya. Misalnya yang dialami Hasjim Mahdan, seorang dari tiga pemegang saham harian Indonesia Raya ketika terjadi konflik internal pada Agustus 1958.
Hasjim meminta Mochtar Lubis, Pemimpin Umum Indonesia Raya yang sedang menjalani tahanan rumah tanpa proses peradilan, agar korannya tidak beroposisi terhadap pemerintahan Presiden Sukarno. Permintaan itu ditolak. Mochtar Lubis bahkan tidak bersedia bersikap netral sekalipun terhadap pemerintah.
Berkat surat izin terbit (SIT) yang diberikan oleh Penguasa Perang Daerah (Peperda) Jakarta Raya dan Sekitarnya, Hasjim Mahdan akhirnya dapat menerbitkan surat kabar sendiri, yang juga bernama Indonesia Raya. Tetapi, SIT tidak diberikan kepada Mochtar Lubis, walaupun ia juga mengajukan permintaan untuk memperoleh lisensi bagi korannya.
Dalam edisi perdana Indonesia Raya versi Hasjim Mahdan itu, sebagai pemimpin umum Hasyim menulis: "Saya ibaratkan Indonesia Raya sebagai sebuah kapal yang berada di tengah-tengah taufan badai yang mengancam keselamatannya. Apa yang harus diingat oleh seorang nakhoda yang sedang menghadapi taufan dan badai itu? Menurut paham saya, keselamatan kapal, anak buah, dan penumpangnya. Apabila perlu ia membelokkan haluan sedikit untuk mengelakkan taufan dan badai itu, menyelamatkan kapalnya serta isinya, untuk kemudian sampai pelabuhan tujuan yang dicita-citakan? Mochtar Lubis berpendapat lain dan ini tidak sekali dua kali dinyatakannya. Ia ingin berlayar mengarungi taufan dan badai itu, desnoods [kalau perlu] karam dengan kapalnya sekalian."
Ini adalah perumpamaan klasik yang tidak pernah habis-habisnya diperdebatkan sampai hari ini. Ibarat "memakan buah simalakama", ini menyangkut pilihan yang selalu mengakibatkan kesulitan, apa pun alternatifnya. Pilihan kebijakan editorial Hasjim Mahdan ternyata juga harus ditebus dengan penutupan korannya. Surat kabar itu hanya dapat bertahan kurang dari tiga bulan, 7 Oktober 1958 sampai 2 Januari 1959, karena ditinggalkan oleh banyak agen dan para pembacanya.
Tetapi, pilihan sebaliknya, yaitu pilihan Mochtar Lubis, biasanya baru menunjukkan hasil setelah kurun waktu yang amat panjang.
Mochtar Lubis mempunyai jawaban untuk keteguhan pendiriannya: "Saya dianggap kurang mempertimbangkan survival bisnis surat kabar?. Saya bukannya tidak mempertimbangkan hal itu. Tetapi, saya pikir, sewaktu kita dulu berjuang, ratusan ribu teman kita mati untuk merebut suatu kemerdekaan. Pengorbanan itu kemudian ada artinya buat kita. Apakah karena 100 orang yang bekerja pada kita, lalu kita hendak mengorbankan prinsip kemerdekaan pers?. Buat saya, mestinya pers itu bisa berfungsi sebagaimana seharusnya. Kalau dia tidak lagi bisa berfungsi sebagaimana seharusnya, saya rasa lebih bagus dia berhenti, ditutup?. Lebih bagus kita bungkam suara kita, dan kebungkaman itu saya rasa tetap berbicara."
Pandangan ini dikemukakan ketika kami berbincang-bincang untuk mengingat pembredelan terakhir Indonesia Raya pada Januari 1974, setelah terjadi peristiwa "Malapetaka 15 Januari" (Malari).
Belakangan, ketika tekanan politis pada kebebasan pers dan tindakan kekerasan terhadap media pers terjadi, saya teringat lagi pada keteguhan pendirian Mochtar Lubis. Kenangan ini sekarang tetap relevan, ketika ada calon presiden yang masih memimpikan pengendalian ala Departemen Penerangan terhadap pers.
Itu sebabnya semangat dan keteguhan Mochtar Lubis dalam menegakan kemerdekaan pers dan kebebasan manusia membuatnya tampil sebagai tokoh besar pers. Harian Indonesia Raya yang diterbitkan sejak Desember 1949, pernah enam kali dibredel. Setelah ditutup oleh pemerintah Presiden Sukarno, Oktober 1958, koran ini sempat terbit kembali sepuluh tahun kemudian, tetapi dibredel lagi oleh pemerintah Presiden Soeharto, Januari 1974.
Pada masa Orde Lama, lima wartawannya ditahan beberapa hari sampai satu bulan. Bahkan Mochtar Lubis juga ditahan rumah dan ditahan dalam penjara hampir terus-menerus selama sembilan tahun, sejak Desember 1956 sampai Mei 1966.
Perubahan orde tak mengubah nasib dan sikapnya. Pada masa Orde Baru, Mochtar Lubis, yang menjabat Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Indonesia Raya, ditahan hampir dua setengah bulan di kompleks tahanan politik Nirbaya, Jakarta Selatan. Wakil Pemimpin Redaksi Enggak Baha'uddin ditahan sepuluh setengah bulan di penjara militer.
Penahanan itu mungkin berhasil membungkam koran Indonesia Raya, tapi sekaligus membuatnya sebagai bintang kejora bagi pers Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo