Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Festival Kota, Festival Tradisi

5 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Halim H.D. Networker Kebudayaan, Solo

Ada beberapa kota yang punya beberapa jenis festival yang diselenggarakan setiap tahun. Surabaya punya Festival Seni Surabaya, Festival Cak Durasim, dan Surabaya Full Music. Hal yang sama terdapat di Makassar, kota yang dari tahun ke tahun menyelenggarakan berbagai jenis festival, yang —antara lain "konon"— untuk mengangkat harkat tradisi Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar.

Di Makassar, paduan antara tradisi dan jenis kesenian modern kerap bertemu dalam suatu festival. Beberapa tahun yang lampau diselenggarakan Makassar Dance Forum, Makassar Arts Forum, dan berlanjut dengan Journal of Moment Art (JOMA). Itulah suatu usaha selama lima tahun terakhir oleh komunitas Sanggar Merah Putih buat mencari pertemuan antara ruang publik dan kehidupan kesenian yang selama ini dianggap elitis karena senantiasa berada di wilayah gedung kesenian.

Acara sastra pun memiliki festivalnya, seperti Sastera Kepulauan, yang berpindah-pindah dari satu kabupaten ke kabupaten lain di Sulawesi Selatan. Silih berganti dengan Festival Kesenian Tradisi Sulawesi Selatan, termasuk Festival Pakarena yang dimotori oleh koreografer tari Andi Ummu Tunru. Peristiwa kesenian yang berada di ruang publik itu pulalah yang diangkat oleh berbagai komunitas kesenian di Palu, Sulawesi Tengah, yang dimulai pada tahun 2001 dengan Palu-Indonesia Dance Forum (PID-Forum), yang gagasannya berasal dari kalangan tari tapi berkembang menjadi suatu forum yang menampung berbagai jenis kesenian.

Yogyakarta, Solo, Bandung, Denpasar, Negara-Jembrana (Bali), Batam, Pekanbaru, Padang, dan Tenggarong (Kutai Kartanegara), bahkan—belakangan ini— Magelang, adalah kota-kota yang juga tak pernah surut dari festival. Yang paling menarik tentu saja sebuah kecamatan yang tak jauh dari Borobudur, Mungkid, dengan Festival Gunung-nya, yang dimotori budayawan Sutanto dan masyarakat Tutup Ngisor Gunung Merapi. Mereka melakukan suatu forum kebudayaan yang melibatkan berbagai kalangan masyarakat tradisi di Jawa Tengah.

Jika kita melihat sejarah kehidupan sosial budaya masyarakat kita, festival tampaknya menjadi bagian yang tak lepas dari kehidupan masyarakat. Erau di Tenggarong merupakan festival yang berangkat dari tradisi masyarakat Dayak, seperti halnya Festival Hudoq yang setiap tahun diselenggarakan di beberapa wilayah komunitas Dayak di Kalimantan Timur. Dari tradisi peringatan Maulid, lahirlah Sekaten di Solo dan Yogyakarta, seperti tradisi-tradisi di wilayah pedesaan dengan bersih desa, ruwatan bumi, dan segalanya yang berkaitan dengan tata nilai dari lingkungan masyarakat setempat yang biasanya berhubungan dengan kesuburan-kemakmuran, keslametan, dan kerukunan antarwarga.

Dalam tradisi masyarakat kita, senantiasa ada hubungan yang erat antara tata nilai kebudayaan dan nilai-nilai religius. Dan dari sinilah sebuah festival dalam masyarakat tradisi memiliki kekuatan ikatan sosial dari waktu ke waktu, yang juga berhubungan erat dengan tata ruang wilayah permukiman mereka, yang selalu memiliki ruang berlatar amba (terbuka) atau alun-alun—sebagai ruang pertemuan sosial, yang mengikat hubungan batin antarwarga dari berbagai lapisan sosial ekonomi. Dengan demikian, sebuah peristiwa festival dalam masyarakat tradisi kita terasa akrab. Pada sisi lainnya, mekanisme kehidupan ekonomi kalangan bawah juga ikut terlibat, misalnya dengan munculnya warung makanan atau bahkan berbagai jenis produk tradisional alat rumah tangga, pakaian, dan sebagainya yang banyak digelar selama festival itu berlangsung. Erau dan Sekaten bisa menjadi bukti dari suatu festival tradisi yang sangat melekat dan dibutuhkan oleh masyarakat sekitarnya.

Berbeda dengan festival dalam masyarakat tradisi, festival di wilayah masyarakat perkotaan yang diselenggarakan oleh kalangan seniman modern cenderung merupakan kegiatan kesenian atau festival di wilayah yang dianggap elitis, di dalam gedung-gedung di pusat kesenian, seperti Taman Ismail Marzuki dan Taman Budaya, atau di suatu galeri. Dibangunnya art center pada mulanya bukanlah suatu hal yang tanpa tujuan dari suatu rezim yang sedang berkuasa. Art center dengan komite-komite ke-seniannya diciptakan sebagai lambang prestise dan status quo sebuah rezim politik.

Pusat kesenian dengan politik birokrasi yang ketat demikian sering menampilkan jenis kuratorial sepihak yang menciptakan selera estetika tertentu. Ia bertindak sebagai "polisi kesenian" yang melakukan kontrol terhadap kehidupan kebudayaan. Maka festival yang diselenggarakan terasa hanya sebagai suatu peristiwa yang cenderung hanya dihadiri oleh kalangan seniman. Sementara itu, sebagian besar lingkungan masyarakatnya hampir-hampir tak pernah mengetahui peristiwa itu, apalagi jenis dan makna kesenian yang ditampilkannya. Kondisi semacam itu juga terjadi karena kerangka estetika dan materi kesenian yang dipertunjukkan cenderung "eksperimental", yang sangat berbeda dengan kesenian tradisi, yang kerangka dan maknanya sudah dikenal oleh masyarakatnya.

Harus diakui memang art center mampu memunculkan keberagaman inovasi estetika di antara seniman modern. Namun, sejauh yang saya amati, justru yang sering muncul adalah praktek politik praktis berkesenian, satu kelompok dan kelompok lainnya kerap saling jegal dan saling sodok, yang berujung pada kepentingan posisi sosial dan ekonomi kelompok masing-masing. Alhasil, itu pada akhirnya banyak menimbulkan polemik.

Maka festival yang diselenggarakan art center itu kerap bukan sebuah fiesta—kegembiraan dalam kebersamaan dalam kehidupan sosial. Untuk itu, seniman modern harus belajar pada masyarakat tradisi yang menjadikan festival memang bukan cuma sebuah acara kesenian, melainkan juga ultimate concern, puncak keprihatinan dan paduan bersama seluruh energi kehidupan sehari-hari. Jika tidak, seniman modern hanya bisa melakukan masturbasi diri (saling memuji) atau muncul kanibalisme (saling bantai) di antara mereka. Dan itu tentu bukan sebuah festival!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus