Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Kecerdasan Spiritual dan Agama

Ahli filsafat dan psikiatri Inggris memperkenalkan istilah kecerdasan spiritual. Apa fungsinya?

3 September 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESEORANG yang taat beribadah belum tentu memiliki kecerdasan spriritual yang tinggi. Sebaliknya, kecerdasan spiritual yang cemerlang boleh jadi malah dimiliki seseorang yang ateis. Kok bisa? Istilah kecerdasan spiritual niscaya masih asing di telinga kebanyakan orang. Soalnya, kecerdasan biasanya dikaitkan dengan kemampuan berpikir rasional, analitis, dan matematis--disebut intelligence quotient (IQ) dalam psikologi. Lalu apa pengertian kecerdasan spiritual (spiritual quotient, disingkat SQ)? Soal itu menjadi bahan diskusi keagamaan bertema "Spiritual Intelligence dalam Perspektif Sufistik", yang diselenggarakan lembaga Indonesian Islamic Media Network di Jakarta, Kamis pekan lalu. Menghadirkan pembicara Dr. Jalaluddin Rakhmat, ahli komunikasi dan tasawuf, dan Dr. Seto Mulyadi, psikolog kondang, acara itu diikuti 50-an orang.

Istilah kecerdasan spiritual--lebih tepat disebut indeks spiritual--terinspirasi dari istilah EQ (emotional quotient) yang dipopulerkan Daniel Goleman, doktor psikologi dari Universitas Harvard, pada pertengahan 1990-an. Dalam bahasa sederhana, Seto Mulyadi menjelaskan perbedaan antara ketiga jenis kecerdasan itu. IQ adalah ukuran yang digunakan untuk mencerminkan kecerdasan otak. EQ mencerminkan kecerdasan perasaan, dan SQ adalah kecerdasan hati nurani. IQ, misalnya, dipakai untuk memecahkan soal matematika, EQ untuk menjawab pertanyaan senang atau sedih, sedangkan SQ untuk membedakan antara tindakan yang bermoral atau tidak.

Tak pelak, tren diskusi itu imbas dari penerbitan buku berjudul SQ: Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence karya ahli filsafat lulusan Universitas Oxford, Danah Zohar, dan suaminya, Ian Marshall, yang diterbitkan di London Januari 2000. Danah Zohar adalah pemikir asal Inggris yang terpengaruh oleh pemikiran dosennya, David Bohm, fisikawan ternama yang menemukan fisika kuantum. Pemikiran Danah Zohar terhadap psikologi manusia, khususnya menyangkut self (diri), merujuk pada hasil riset terakhir dalam berbagai bidang, antara lain teori kuantum dan riset tentang mata ketiga dari tradisi Yoga. Juga, bagian dari perkembangan riset tentang misteri otak.

Menurut Danah Zohar, SQ adalah kecerdasan untuk memecahkan persoalan tentang makna dan nilai. Fungsi SQ antara lain memberikan kemampuan untuk kreatif, memberikan perasaan moral, memberikan kepastian jawaban tentang sesuatu yang baik dan yang buruk. Seperti IQ, tingkat SQ orang per orang berbeda-beda. Orang yang ber-SQ tinggi, kata Jalaluddin Rakhmat, memiliki tingkat kesadaran diri yang tinggi dan selalu mawas diri. Juga, kemampuan untuk memanfaatkan dan mentransendenkan kesulitan yang ditemui. "Orang yang cerdas secara spiritual lebih bisa bertanggung jawab terhadap hidupnya," kata Jalaluddin.

Namun, tingkat kecerdasan spiritual tak berbanding lurus dengan keberagamaannya. "Orang yang taat menjalankan ibadah agama bisa jadi kecerdasan spiritualnya rendah, sedangkan seorang ateis bisa jadi malah memiliki kecerdasan spiritual tinggi," kata Danah Zohar. Contohnya, orang beragama sering tidak memiliki toleransi kepada penganut agama lain. Idealnya memang, seperti kata Jalaluddin, orang yang beragama memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi sehingga mereka bisa menghormati keberagamaan orang lain.

Persoalannya, bagaimana cara mengukur tingkat kecerdasan spiritual. "Hingga kini belum ada parameternya," kata Seto Mulyadi. Memang masih banyak pertanyaan yang mengganjal seputar SQ. Misalnya, apakah SQ lebih menjamin kesuksesan orang dalam meniti karir? Menurut Danah Zohar, memang SQ diperlukan oleh semua orang dari berbagai profesi. Bahkan SQ, menurut dia, merupakan landasan penting untuk memfungsikan secara efektif IQ dan EQ. "Itu kecerdasan kita yang tertinggi," kata Danah Zohar. Benarkah begitu? Seto Mulyadi tak setuju. Sukses seseorang terletak pada kemampuannya mengombinasikan ketiga kecerdasan tersebut. "Ketiga kecerdasan itu saling menunjang," kata Seto.

Kelik M. Nugroho, Hadriani Pudjiarti, Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus