Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYIRAMAN air keras ke wajah Novel Baswedan pada subuh 11 April 2017 bukanlah peristiwa kriminal biasa. Serangan yang merusak kedua mata dan rongga pernapasan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi itu merupakan teror kepada mereka yang berusaha melawan korupsi.
Kita tahu, Novel memimpin penyidikan berbagai kasus kakap, antara lain korupsi pengadaan simulator uji surat izin mengemudi di Korps Lalu Lintas Kepolisian dan megaskandal proyek kartu tanda penduduk elektronik. Ia juga sedang menyelidiki sejumlah perkara yang melibatkan tokoh-tokoh besar.
Patut disesalkan, kepolisian terkesan setengah hati menangani kasus itu. Jangankan menangkap pemberi perintah, polisi bahkan tak kunjung menemukan pelaku lapangan. Sejumlah kejanggalan menunjukkan ketidakseriusan itu. Aparat, misalnya, baru memeriksa tiga orang yang dicurigai terlibat-itu pun dilakukan atas laporan keluarga korban, bukan hasil penyelidikan. Dengan dalih orang-orang itu memiliki alibi dan bukti, polisi melepaskan mereka.
Sikap aparat yang tak sungguh-sungguh itu, misalnya, tampak pada pernyataan polisi yang mengutip pengakuan Hasan Hunusalela dan Muhklis Ohorella. Dua orang ini difoto tetangga Novel ketika mereka, pada waktu berbeda, berada di sekitar rumah penyidik itu. Sejumlah saksi menyatakan dua orang itu mengamati rumah Novel, termasuk membuntuti pembantu rumah tangga keluarga Novel. Foto keduanya diserahkan ke polisi sehari setelah Novel diserang. Polisi baru memastikan identitas mereka lebih dari sepekan kemudian, setelah-juga menurut polisi-keduanya datang memberikan klarifikasi.
Kedua orang itu segera dilepaskan karena-lagi-lagi menurut polisi-mereka tidak berada di lokasi pada saat penyerangan. Polisi juga menyebutkan keduanya petugas perusahaan pembiayaan sepeda motor yang tengah pencari penunggak kredit. Belakangan, kepolisian juga menyatakan dua lelaki itu merupakan informan mereka untuk kasus pencurian kendaraan bermotor.
Penyidik tidak menelusuri lebih jauh benarkah ada penunggak kredit sepeda motor di kawasan rumah Novel. Polisi pun sepatutnya mencari alasan mengapa keduanya membuntuti pembantu rumah tangga Novel.
Satu hal yang memantik pertanyaan adalah kaitan antara Muhklis Ohorella dan pemilik sepeda motor yang ia kendarai. Berdasarkan data kepolisian, pemilik kendaraan itu seorang anggota reserse umum Kepolisian Daerah Metro Jaya. Kepolisian semestinya memastikan mengapa motor anggota reserse itu dipakai Muhklis. Keterangan bahwa motor itu dipinjam karena keduanya punya hubungan famili hendaknya tidak mudah dipercaya.
Polisi sebenarnya tahu betul bagaimana memanfaatkan teknologi buat membongkar misteri ini. Benar, rekaman kamera keamanan rumah Novel tidak banyak membantu penyelidikan. Postur kedua pelaku bersepeda motor tak terekam jelas karena resolusi kamera terlalu rendah. Apalagi lokasi penyerangan cukup gelap-mungkin bukan kebetulan jika satu lampu jalan di tempat itu mati pada hari kejadian. Namun polisi sebenarnya bisa mengumpulkan rekaman kamera keamanan di sepanjang jalan yang dilalui pelaku. Hal lain yang biasa dilakukan polisi-misalnya saat mengejar pelaku teror-adalah memeriksa data menara seluler terdekat. Percakapan telepon antarpelaku dapat membantu mengidentifikasi mereka.
Cara ini sebetulnya telah dilakukan Detasemen Khusus Antiteror yang ditugasi Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian untuk melacak penyerang Novel. Dari penelusuran itu, didapat foto salah seorang yang diduga sebagai pelaku penyerangan. Tapi, alih-alih diolah lebih lanjut, foto itu diserahkan kepada Novel-yang belakangan memberikannya kepada penyidik Polda Metro Jaya. Cara "berputar" itu mudah memancing syak: adakah yang tengah disembunyikan polisi? Spekulasi kemudian muncul. Di antaranya, penyerangan Novel merupakan bagian dari pertarungan antarfaksi di kepolisian.
Agar persepsi "jeruk makan jeruk" itu tidak meluas, Presiden hendaknya segera memerintahkan pembentukan tim independen untuk melacak kasus ini. Diisi tokoh-tokoh kompeten, tim independen akan mengatasi "hambatan psikologis" yang kini diduga mendera penyidik. Investigasi oleh tim selayaknya diumumkan kepada publik. Dengan proses yang transparan, tiap upaya membekap atau membelokkan perkara akan mudah diketahui dan dicegah.
Kasus Novel tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Mendiamkan perkara ini hanya akan membenarkan tudingan bahwa polisi terlibat dalam kekerasan tersebut. Tak membentuk tim independen akan memunculkan anggapan bahwa pemerintah tidak memiliki komitmen dalam memberantas korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo