Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gagasan memberi peran lebih besar kepada Tentara Nasional Indonesia untuk menangani terorisme sungguh langkah mundur. Kewenangan menangani kejahatan itu semestinya tetap di tangan kepolisian. TNI tetap diperlukan, tapi hanya untuk menghadapi teror yang langsung mengancam negara.
Sungguh sebuah kesalahan saat pemerintah berencana memberi peran lebih besar bagi TNI dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme, yang pembahasannya sekarang berlangsung di Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah mengajukan revisi pada Februari tahun lalu, tapi pembahasannya belum selesai. Tak lama setelah bom bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta, meledak pada 24 Mei lalu, desakan merampungkan revisi undang-undang itu pun menguat.
Presiden Joko Widodo pun angkat suara setelah menengok lokasi pengeboman di Kampung Melayu. Ia tak hanya meminta revisi segera selesai, tapi juga meminta TNI diberi peran memberantas terorisme. Semua negara sama, memberi peran khusus kepada militer, kata Presiden dalam wawancara khusus dengan Tempo pekan lalu.
Peran TNI dalam menangani teror sebetulnya telah jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 7 ayat 2 membolehkan TNI menangani teror, tapi dengan syarat: teror sudah masuk kategori ancaman langsung terhadap kedaulatan negara. Bila belum, polisilah yang harus turun tangan, bukan TNI.
Ada alasan kuat mengapa polisi harus lebih berperan. Undang-Undang Terorisme menegaskan terorisme adalah kejahatan pidana. Maka penanganannya pun harus dengan hukum pidana, yang notabene ada dalam kewenangan kepolisian. Namun melibatkan TNI tak dilarang. Dalam operasi di Poso, Sulawesi Tengah, TNI membantu polisi menembak mati Santoso, gembong teroris yang sudah berbulan-bulan merajalela.
Melalui usul revisi Undang-Undang Terorisme, pola kerja sama melibatkan TNI itu akan diubah. Draf revisi pasal 43-B ayat 1 menyebutkan kebijakan dan strategi nasional penanggulangan tindak pidana terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian RI, TNI, serta instansi pemerintah terkait. Artinya, kedudukan TNI setara dengan Polri dalam menangani teror. Memang ada ayat 2 yang menyebutkan peran TNI adalah memberi bantuan kepada Polri, tapi ayat ini seolah-olah percuma karena sudah "dikunci" ayat 1 yang menempatkan kewenangan TNI sama kuatnya dengan Polri.
Revisi ini seharusnya dibatalkan. Polisi masih mampu menangani terorisme. Keberhasilan melumpuhkan jaringan Dr Azahari dan Noordin M. Top merupakan bukti. Benar, polisi memerlukan TNI untuk memburu teroris di medan pegunungan dan hutan lebat seperti Poso, tapi itu bisa dilakukan dengan kendali operasi tetap pada Polri. Pengeboman di Thamrin pada Januari 2016 dan Kampung Melayu pada akhir Mei lalu bukanlah alasan untuk melibatkan militer.
Memberi kewenangan besar kepada militer untuk menangani teror juga bertentangan dengan supremasi sipil yang kita bangun sejak reformasi 1998. Ada pula kesulitan lain yang bisa muncul: bila terjadi pelanggaran hak asasi saat TNI melakukan operasi perburuan teroris, pengusutan yang transparan bakal sulit dilakukan. Ini karena pelakunya akan diadili di pengadilan militer yang tertutup.
Di tengah desakan agar revisi segera dirampungkan, kehati-hatian harus diutamakan. Jangan sampai keblinger. Revisi Undang-Undang Terorisme ini bukanlah senjata pamungkas untuk menghentikan aksi biadab itu. Yang jauh lebih penting, negara tak membiarkan bibit radikalisme tumbuh subur di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo