Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hariadi Kartodihardjo
Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembangunan ekonomi yang didasari pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia tak hanya mengalami persoalan kelancaran izin usaha, tapi juga masalah kelestarian usaha maupun keadilan dalam pemanfaatannya. Dalam perizinan terdapat persoalan informasi kondisi lapangan, tumpang-tindih penggunaan ruang, dan masih tingginya biaya transaksi apabila izin ingin didapatkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya untuk mewujudkan kelestarian usaha masih terbentur lemahnya penerapan prinsip-prinsip keterimaan sosial maupun lingkungan hidup. Berbagai bentuk studi lingkungan sebagai persyaratan perizinan pada umumnya sekadar sebagai syarat administratif dan lemah dalam pelaksanaannya. Adapun untuk mewujudkan keadilan, masih terbentur lemahnya pelayanan bagi kepastian hak dan akses bagi masyarakat lokal dan adat, yang pada umumnya masih memerlukan pendampingan-pendampingan untuk dapat merespons standar kebijakan yang lebih tinggi dari kapasitas mereka. Misalnya, pengakuan hutan adat yang harus ditetapkan berdasarkan peraturan daerah yang memposisikan pemanfaatan sumber daya alam ke dalam proses politik.
Untuk mewujudkan dua tujuan terakhir, yaitu kelestarian dan keadilan usaha, juga masih terbentur konflik hak atas tanah maupun kawasan hutan yang hingga saat ini baru dapat dipetakan luas dan lokasinya melalui kebijakan satu peta, tapi belum diketahui bagaimana menyelesaikannya. Selain itu, dalam konteks keadilan ekonomi bagi publik, ekspansi usaha-usaha ekstraktif sumber daya alam masih mempunyai masalah kekurangan bayar pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (KPK, 2017-2018).
Dengan kenyataan seperti itu, inisiatif Presiden Joko Widodo alias Jokowi untuk menetapkan beberapa undang-undang baru melalui penghapusan pasal-pasal yang dianggap krusial dalam 70 undang-undang yang sudah ada, atau dikenal dengan omnibus law, tentu memberi harapan. Upaya untuk memperlancar izin usaha itu bahkan akan diperkuat melalui penghapusan strata organisasi pemerintahan tingkat lebih bawah, yaitu eselon III dan IV.
Kompleksitas masalah pengelolaan sumber daya alam di Indonesia mungkin sudah dapat dikategorikan sebagai "korupsi institusional". Walaupun setiap orang di suatu lembaga negara bekerja sesuai dengan prosedur dan asas legalitas, lembaganya tidak dapat memenuhi tujuan-tujuan publik yang diembannya (Thompson, 2013). Korupsi institusional tidak memerlukan pertukaran quid pro quo-bantuan atau keuntungan yang diberikan sebagai imbalan atas sesuatu-karena pelakunya tidak memiliki hubungan timbal balik secara langsung dengan siapa pun yang dirugikan. Korupsi itu lebih mengarah pada hilangnya tanggung jawab institusional secara moral terhadap masyarakat karena dapat dilakukan secara legal. Hal itu dapat terjadi akibat klientelisme, konflik kepentingan, maupun kekakuan birokrasi yang menjerat kerja lembaga itu.
Perombakan kebijakan dan peraturan perundangan oleh lembaga-lembaga yang sedang terjerat itu mengandung beberapa risiko yang perlu menjadi perhatian sejak awal. Pertama, pengaturan dan pengurusan yang ditetapkan dalam undang-undang biasanya lebih memberikan peran kepada kelompok kepentingan ketimbang berguna untuk memecahkan persoalan di lapangan. Isi rancangan undang-undang pertanahan yang lalu, yang telah ditunda pengesahannya, menunjukkan kenyataan demikian. Hal itu berlawanan dengan maksud adanya omnibus law untuk menghapus genggaman kepentingan di dalam perizinan.
Kedua, kelembagaan negara sudah terbiasa menunggu usulan lokasi izin dari pemohon dan, sebaliknya, tidak secara proaktif menawarkan lokasi izin yang sudah clear and clean atau melakukan pembatasan luas dan lokasi izin demi tujuan keadilan alokasi manfaat sumber daya alam. Kebiasaan demikian ini berisiko melahirkan konflik pemanfaatan sumber daya alam setelah izin diberikan seperti yang terjadi selama ini.
Ketiga, logika bahwa apabila prosedur izin disederhanakan, perizinan akan lancar terbukti belum tentu terjadi. Tanpa meningkatkan akuntabilitas dan transparansi, pemberian izin melalui instrumen daring atau dalam bentuk perizinan satu pintu, terutama di daerah, tidak dapat menurunkan biaya transaksi atau mempercepat waktu mengurus izin. Hasil wawancara saya pada Oktober-November lalu dengan beberapa informan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah menunjukkan hal itu. Adanya jerat korupsi institusional tampak berbalik memperkuat klientelisme, ketika pihak penerima dan pemberi izin harus memelihara hubungan mereka asalkan masih dianggap "wajar".
Dengan kompleksitas masalah perizinan seperti itu, politik hukum maupun debirokratisasi perizinan yang sedang dilaksanakan hendaknya memperhatikan dengan saksama terjadinya korupsi institusional.