Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pelabelan teroris terhadap OPM membuatnya menjadi musuh negara.
Kebijakan itu mengabaikan proses politik yang telah berlangsung selama ini.
Penanganan Papua harus diupayakan melalui dialog dan negosiasi.
Frans Maniagasi
Pengamat Politik Lokal Papua
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. telah mengumumkan soal sebutan "teroris" terhadap Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau KKB (kelompok kriminal bersenjata). Hal ini mengakibatkan perubahan perspektif dengan memandang OPM/KKB sebagai musuh negara yang mesti dibasmi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan ini telah meninggalkan substansi bahwa masalah dan isu Papua dibaca secara hitam-putih belaka. Bahkan konstruksi rasio kita, tanpa disadari, telah menjerumuskan kita ke alam bawah sadar yang mengakibatkan resistansi dan diskriminasi terhadap persoalan Papua.
Kebijakan itu mengabaikan proses politik yang telah berjalan, terutama dampak yang diakibatkannya sebagai warisan tak kunjung tuntasnya pembangunan keindonesiaan dan ekses developmentalisme masa lalu. Ini kelemahan yang diakibatkan oleh praktik pemerintahan selama 20 tahun (2001-2021) dalam menerapkan otonomi khusus yang tidak menyentuh "akar masalah" dan mengupayakan solusinya seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Bahkan hal itu sengaja tidak disentuh dan dibiarkan hingga kini kebijakan itu hendak direvisi. Pemerintah telah terus melakukan kesalahan di atas kesalahan salah baca terhadap Papua.
Semua ini memicu frustrasi dalam upaya mencari solusi masalah kebangsaan yang tidak tuntas di Papua. Di sisi lain, hal itu telah membentuk trauma "fatalisme primitif", meminjam istilah Tulus Sudarto (2021), ketakutan pada bayang-bayang disintegrasi yang buntutnya dengan tergesa-gesa memproduksi kebijakan pelabelan teroris terhadap OPM/KKB.
Penanganan Papua sebenarnya dapat diupayakan melalui pendekatan dialog dan negosiasi. Pemerintah punya pengalaman empiris dalam menyelesaikan kasus Aceh lewat perundingan antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki yang kemudian mengakhiri konflik dan kekerasan di Tanah Rencong. Dalam kasus Papua, dialog itu ditinggalkan, padahal GAM dan OPM sama-sama merupakan gerakan separatisme yang bertujuan memisahkan diri dari RI.
Pemerintah pusat menunjukkan sikap yang tak menerima dialog, perundingan, dan negosiasi dengan alasan trauma atas kasus Aceh. Dalam kasus Papua, perundingan dan negosiasi damai ditampik dengan mendeklarasikan bahwa persoalan Papua telah final sebagai bagian integral dan tak terpisahkan dari RI. Hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), ketika sejumlah penduduk Papua secara aklamasi memilih bergabung dengan Indonesia pada 1969, dan Resolusi PBB 2504 yang mengesahkan hasil Pepera bukanlah momentum integrasi, dan masalahnya hingga kini masih perlu dituntaskan.
Menguatnya pandangan ultranationalism NKRI harga mati dengan politik mata tertutup dan telinga tertutup bermuara pada kebijakan pelabelan teroris untuk menggantikan istilah KKB. Pandangan ini mengarah pada pengerahan pasukan dalam jumlah ribuan untuk membasmi "hama" KKB setelah penembakan seorang perwira TNI. Ini merupakan kebijakan yang menghadap-hadapkan rakyat Papua versus pemerintah, pembuat kebijakan pelabelan teroris tanpa berkonsultasi dengan rakyat sebagai penerima kebijakan.
Di fase inilah tampak bahwa pemerintah secara vulgar telah mengadopsi cara dan paradigma lama warisan otoritarianisme Orde Baru dalam menghadapi gerakan separatis. Sejarah menunjukkan, dalam konteks Papua, pendekatan semacam ini menjadi tidak produktif dan malah menambah amunisi dalam kampanye internasional untuk mendukung Papua merdeka serta mendesak PBB menurunkan tim investigasi atas dugaan kejahatan kemanusiaan di sana. Pemerintah telah secara tergesa-gesa memberikan label teroris ini dan justru terjebak dalam labirin politik yang menguntungkan gerakan pro-kemerdekaan, baik di dalam maupun luar negeri.
Seburuk-buruknya OPM/KKB, mereka perlu dirangkul lewat pendekatan kemanusiaan dan kultural seperti yang pernah dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Saat itu, Gus Dur memperlakukan GAM dan OPM sebagai "mitra" yang perlu diajak dialog (Suaedy, 2018), bukan musuh atau hama yang mesti dibasmi.
Sebaiknya pemerintah tidak menggunakan politik hitam-putih dalam memandang gerakan perlawanan di Papua. Jika cara pandang dan praktik politik hitam-putih terus berlanjut, sampai kapan pun kita akan terus berhadapan dengan gerakan separatis. Jauh lebih elegan bila pemerintah kini meninjau kembali kebijakan soal pelabelan teroris terhadap OPM/KKB.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo