PROFESOR Shimizu, menyodorkan kamus Webster tebal. Lalu katanya:
"Bahasa Inggerisnya cermin adalah mirror, mulanya dari
mitatorium yang asalnya dari mirati. Berarti: ingin tahu,
kagum".
Apa maksud sang profesor itu? Lanjutnya: "Dengan cermin kau bisa
mengagumi ketegapan atau kerampingan tubuhmu. Tapi ketahuilah
dengan cermin pula kau bisa tahu apa kau berjerawat atau
berborok". Tiba-tiba saja dalam kimono biru tuanya profesor itu
nampak lebih angker. Coba bacalah Mainichi Shinbun (edisi
Jepang) 31 Maret. Ibnu Sutowo mulai maret dibebas tugaskan.
Pertamina berhutang 3,2 milyar dolar lebih. Belakangan ternyata
hutang itu sekitar 9-10 milyar dolar. Hal ini salah satu
penyebab rakyat sangsi terhadap pemerintah, katanya.Dipujinya,
pemerintah berhasil menekan intfasi warisan rejim lama yang
600% itu jadi 20% pada akhir tahun lalu. Begitu juga karya-karya
nyata lainnya. Tapi koran itu bertanya, mengapa negara yang
alamnya kaya dan melimpah tenaga manusianya itu kok masuk
sepuluh terjelek di dunia? Pendapatan rakyatnya setahun cuma 130
dolar per kepala.
Kata si koran, sebabnya adalah: banyak pejabat tak jujur, busuk.
Malah disangsikan, apa bantuan LN yang besar itu seratus persen
disalurkan atau bocor di jalan. Ini mengingatkan saya pada Prof.
Ariki dari Universitas Kokugakuin, yang pernah ke Indonesia dan
sedang menulis tentang masyarakat dan ekonomi Indonesia itu. Ia
bertanya (membuat saya kaget): "Apa pemimpin-pemimpinmu
sungguh-sungguh berniat memakmurkan rakyatnya?".
Tengok pula, Kita Nihon Shinbun '4 April. Tulisan Uesugi, Kepala
SMA di propinsi Toyama bagian Timur. Ia anggota rombongan
Kementerian Pendidikan yang meninjau Asia Tenggara, Australia,
New Zealand dan Amerika selama sebulan pada awal tahun ini.
"Saya kaget, petugas beacukai di siang bolong tanpa rasa malu
minta suap. Dengar punya dengar mobil-mobil pejabat juga tak
lain hasil wairo (suapan) .
Kembali ke Mainichi Shinbun Katanya, pemerintah Soeharto tampak
sungguh-sungguh hendak menegakkan gambaran 'kekuasaan politik
yang bersih' dan 'pemerintah yang tak membiarkan ketakbenaran'.
Contoh: pemberantasan penyelundupan dan korupsi. Sudah teringkus
tiga puluh dua orang, meski baru jenis 'teri' melulu. Dan
baru-baru ini digantilah pimpinan Pertamina. Pemerintah banyak
berhasil. Tapi diingatkannya agar lama di tampuk pimpinan jangan
sampai menjauh dari hati nurani rakyat. Koran ini menulis itu
khusus karena pemerintah Soeharto sedang menghadapi tahun ke
sepuluh.
Pada Kyoyobuhonya Universitas Negeri Kanazawa, 25 Maret 1975,
Profesor Takemura menulis tentang IKIP Malang. Ia, ahli Ilmu
Alam, diperbantukan selama enam bulan menurut Rencana Colombo.
Bahan kuliah tidak banyak berbeda dengan di Jepang, katanya.
Hanya perlengkapan sungguh menyedihkan: ledeng belum bisa
diminum langsung, kemampuan tenaga listrik rendah. Buku-buku
perpustakaan sedikit, dan lebih sedikit lagi buku-buku pegangan
penting berbahasa sendiri, Indonesia. Tapi dipujinya besarnya
curah perhatian pemerintah kepada lembaga pembina guru bernama
IKIP itu.
Lain lagi cerita Komura, seorang akuntan yang datang di
Indonesia Juni 1975. Kesannya: cuma Jakarta yang berkembang
hebat, pembangunan di daerah tak terasa. Sumbawa misalnya,
keadaannya kini sama saja dengan tiga puluh tahun yang lalu.
Banyak kisah lain. Tapi saya cuma tersenyum-senyum pahit. Itulah
yang mengganjel di hati. Kalau boleh ingin rasanya membungkam
saja mulut-mulut itu. Atau menggulung koran-koran itu. Tapi,
rupanya orang di negara lainpun (apalagi yang kasih bantuan!)
ternyata memperhatikan tingkah-laku dan gerak-gerik kita di
Indonesia. Dan tentu mereka berhak mempunyai dan mengemukakan
pendapat. Jika begitu mengapa harus kesal? Bukankah hendak
bercermin dengan kepala dingin?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini