Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Orang jepang nonton kita

Prof ariki dari jepang bertanya: betulkah para pemimpin indonesia ingin memakmurkan rakyatnya. seorang akuntan berpendapat yang berkembang hebat hanya jakarta, sumbawa tetap seperti 30 tahun lalu.

3 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROFESOR Shimizu, menyodorkan kamus Webster tebal. Lalu katanya: "Bahasa Inggerisnya cermin adalah mirror, mulanya dari mitatorium yang asalnya dari mirati. Berarti: ingin tahu, kagum". Apa maksud sang profesor itu? Lanjutnya: "Dengan cermin kau bisa mengagumi ketegapan atau kerampingan tubuhmu. Tapi ketahuilah dengan cermin pula kau bisa tahu apa kau berjerawat atau berborok". Tiba-tiba saja dalam kimono biru tuanya profesor itu nampak lebih angker. Coba bacalah Mainichi Shinbun (edisi Jepang) 31 Maret. Ibnu Sutowo mulai maret dibebas tugaskan. Pertamina berhutang 3,2 milyar dolar lebih. Belakangan ternyata hutang itu sekitar 9-10 milyar dolar. Hal ini salah satu penyebab rakyat sangsi terhadap pemerintah, katanya.Dipujinya, pemerintah berhasil menekan intfasi warisan rejim lama yang 600% itu jadi 20% pada akhir tahun lalu. Begitu juga karya-karya nyata lainnya. Tapi koran itu bertanya, mengapa negara yang alamnya kaya dan melimpah tenaga manusianya itu kok masuk sepuluh terjelek di dunia? Pendapatan rakyatnya setahun cuma 130 dolar per kepala. Kata si koran, sebabnya adalah: banyak pejabat tak jujur, busuk. Malah disangsikan, apa bantuan LN yang besar itu seratus persen disalurkan atau bocor di jalan. Ini mengingatkan saya pada Prof. Ariki dari Universitas Kokugakuin, yang pernah ke Indonesia dan sedang menulis tentang masyarakat dan ekonomi Indonesia itu. Ia bertanya (membuat saya kaget): "Apa pemimpin-pemimpinmu sungguh-sungguh berniat memakmurkan rakyatnya?". Tengok pula, Kita Nihon Shinbun '4 April. Tulisan Uesugi, Kepala SMA di propinsi Toyama bagian Timur. Ia anggota rombongan Kementerian Pendidikan yang meninjau Asia Tenggara, Australia, New Zealand dan Amerika selama sebulan pada awal tahun ini. "Saya kaget, petugas beacukai di siang bolong tanpa rasa malu minta suap. Dengar punya dengar mobil-mobil pejabat juga tak lain hasil wairo (suapan) . Kembali ke Mainichi Shinbun Katanya, pemerintah Soeharto tampak sungguh-sungguh hendak menegakkan gambaran 'kekuasaan politik yang bersih' dan 'pemerintah yang tak membiarkan ketakbenaran'. Contoh: pemberantasan penyelundupan dan korupsi. Sudah teringkus tiga puluh dua orang, meski baru jenis 'teri' melulu. Dan baru-baru ini digantilah pimpinan Pertamina. Pemerintah banyak berhasil. Tapi diingatkannya agar lama di tampuk pimpinan jangan sampai menjauh dari hati nurani rakyat. Koran ini menulis itu khusus karena pemerintah Soeharto sedang menghadapi tahun ke sepuluh. Pada Kyoyobuhonya Universitas Negeri Kanazawa, 25 Maret 1975, Profesor Takemura menulis tentang IKIP Malang. Ia, ahli Ilmu Alam, diperbantukan selama enam bulan menurut Rencana Colombo. Bahan kuliah tidak banyak berbeda dengan di Jepang, katanya. Hanya perlengkapan sungguh menyedihkan: ledeng belum bisa diminum langsung, kemampuan tenaga listrik rendah. Buku-buku perpustakaan sedikit, dan lebih sedikit lagi buku-buku pegangan penting berbahasa sendiri, Indonesia. Tapi dipujinya besarnya curah perhatian pemerintah kepada lembaga pembina guru bernama IKIP itu. Lain lagi cerita Komura, seorang akuntan yang datang di Indonesia Juni 1975. Kesannya: cuma Jakarta yang berkembang hebat, pembangunan di daerah tak terasa. Sumbawa misalnya, keadaannya kini sama saja dengan tiga puluh tahun yang lalu. Banyak kisah lain. Tapi saya cuma tersenyum-senyum pahit. Itulah yang mengganjel di hati. Kalau boleh ingin rasanya membungkam saja mulut-mulut itu. Atau menggulung koran-koran itu. Tapi, rupanya orang di negara lainpun (apalagi yang kasih bantuan!) ternyata memperhatikan tingkah-laku dan gerak-gerik kita di Indonesia. Dan tentu mereka berhak mempunyai dan mengemukakan pendapat. Jika begitu mengapa harus kesal? Bukankah hendak bercermin dengan kepala dingin?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus