RUPANYA, susah juga menetapkan siapa sebaiknya lurah baru desa kami. Membayangkan, menginginkan, dan menyetujui seorang kepala negara baru mungkin lebih simpel. Tak usah terlalu repot menghitung berbagai segi perwatakan personalnya - cukup diwakili oleh kesan iktikad baiknya. Selebihnya, apakah ia terampil, efisien, efektif, punya elan dan wawasan cukup. Banyak hal barangkali terlewat dari mangu-mangu pertimbangan karena ada mekanisme dan power tersendiri yang menyunggi seseorang ke kursi kepresidenan. Tapi, siapa lurah kami nanti? Soal syarat takwa itu jelas. Di atas itu sebaiknya, untuk alam hidup desa, yang baik, jujur dan jowo. Jowo ini tentu saja bukan ras Jawa, melainkan suatu istilah untuk orang yang suka memberi. Di antara hampir seribu penduduk desa, tak sedikit yang relatif memenuhi syarat itu. Namun, ada syarat "alamiah" yang menggusur kemungkinan mereka, yakni bahwa calon lurah hanya mungkin orang yang terpandang. Mungkin berkat kepandaiannya, kekayaannya, atau sebab-sebab lain. Lantas, ada lagi syarat yang berbobot: peminat mestilah memiliki modal dan kemampuan bersaing. Syarat ini yang biasanya meniadakan syarat pertama: baik dan jujur. Sementara itu, beberapa orang terpandang yang cukup jujur dan baik cenderung menolak ikut, baik karena malas bersaing secara "begitu", malas cari modal, maupun "takut" menjadi bawahan Pak Camat. Maka, tinggallah satu dua sisanya, yang kualitas kejujuran, kebaikan, dan ke-jowo-annya meragukan. Siapa sebaiknya? Polan apa Giman? Apa mungkin mereka tidak korup, melanggar galengan, atau makan buah di kebun orang? Apa mereka akan bisa menyamai lurah lama, yang bertahun-tahun hampir tak terasa bahwa ia ada dan amat sibuk dengan ketiga istrinya di tiga penjuru angin? Apa kita tidak sekadar sedang memilih seorang pedagang baru dengan kompetensi baru, yang relasinya bertebaran di tlundakan atasan? Dan apa sebenarnya yang kita harapkan dari adanya pemerintahan kelurahan, yang oleh sebagian penduduk ini tak diketahui apa fungsinya, batas hak dan kewajibannya, bagaimana administrasinya. Demikian sukar hal ini dibincangkan karena begitu kecilnya sebuah desa, sehingga segala sesuatu menjadi begitu realistis dan telanjang setiap kemungkinannya. Agak lebih gamblang mungkin untuk memilih Jimmy Carter atau Ronald Reagan sesudah meneliti lika-liku karier mereka, mendengarkan perdebatan mereka, serta menimbang persaingan kualitatif mereka. Orang bisa terpukau oleh romantisme Carter perihal hak asasi manusia, dan kemudian justru terjebak karena hal itu membuat politik luar negerinya cengeng dan lemah. Orang pun lantas berpaling kepada elan Reagan, meski kemudian disertai kekecewaan yang lain. Meski demikian, dengan segala keterbatasannya, masih lebih baik bagi kelompok manusia untuk memperoleh kejelasan pilihan yang terbaik menurut suatu ide dan mimpi. Di desa kami, yang demikian kecil dan tak berarti, demikian susah untuk memiliki yang terbaik. Adakah orang-orang desa menginginkan sesuatu yang terlalu tinggi? Pemerintah menghendaki semua aparatnya mempunyai suatu sikap modern: terampil, kreatif, ekonomis, dan efisien - ada juga embel-embel untuk jadi "agen perubahan". Tapi pada hakikatnya mimpi semua manusia itu sama, mimpi penduduk desa itu juga sederhana dan universal. Kehendak pemerintah itu tak lain adalah perwatakan dasar dan cara yang lebih efektif untuk menggapai mimpi itu. Semuanya begitu bersahaja dan "minimal" - persis seperti yang dihidupi dan didambakan penduduk desa itu. Ia tetap bersemayam dalam batin mereka, tetapi tiba-tiba terasa begitu sukar untuk menemukan adanya. Sifat-sifat paling manusiawi itu seperti tak jelas jaminannya. Seolah-olah semua tampak begitu buram, sebagian karena kodrat dasar, sebagian lain karena putaran suatu sistem kemasyarakatan dan kenegaraan yang mengaburkan dan menomorduakan sifat-sifat itu. Orang-orang desa itu makin kurang terlibat untuk memperbincangkan siapa yang terbaik. Tampak bahwa pemilihan pemimpin mereka nanti tak lebih dari sebuah upacara kecil, yang tidak terlampau bersangkutan dengan kompleksitas kehidupan mereka. Soalnya barangkali terletak pada kecenderungan sejarah yang kurang mementingkan apakah seseorang percaya kepada lainnya dan mengganti jaminan itu dengan perangkat-perangkat lain. Juga terletak pada kekurangpedulian sejarah itu sendiri, apakah yang terjadi adalah makin banyak manusia yang kurang bisa dipercaya, ataukah yang makin banyak justru manusia yang kurang bisa percaya kepada lainnya. Tentulah ini bukan problem khas abad sekarang. Sebuah ungkapan kuno mengatakan hal yang sama: "Dicari: Manusia. Bukan sistem atau kebijaksanaan. Bukan kepercayaan dengan mata melotot. Bukan kekayaan di puncak bukit. Bukan kekuatan dengan senyum ramah. Bukan juga kata-kata berbunga serta pepatah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini