Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pandangan HAM soal Pembubaran Hizbut Tahrir

15 Mei 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Jenderal Purnawirawan Wiranto pekan lalu mengumumkan rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Salah satu alasannya adalah ideologi organisasi itu bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sebelumnya, Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian sempat mencabut izin kegiatan HTI karena banyaknya penolakan dari organisasi lain. Kapolri juga menilai rekrutmen HTI di kampus-kampus memiliki indikasi yang berbahaya. Pertanyaannya: bagaimana sesungguhnya posisi keputusan pemerintah ini bila dilihat dari pandangan hukum?

Indonesia mengikatkan diri secara sukarela pada Kovenan Hak Sipil dan Politik (KHSP) dengan menandatanganinya pada 2009. Sejak itulah kovenan tersebut menjadi hukum Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2009. Pasal 22 ayat 1 aturan itu menjamin "setiap orang berhak atas kebebasan untuk berserikat dengan orang lain, ...". Pembatasan hak ini diatur secara ketat oleh Pasal 22 ayat 2, yang berbunyi: "Tidak diperkenankan untuk membatasi pelaksanaan hak ini, kecuali yang telah diatur oleh hukum, dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan dan moral umum, atau perlindungan atas hak dan kebebasan dari orang lain."

Dalam penerapannya, pelanggaran atas hak berserikat ini sering berlindung di balik aturan pembatasan itu. Padahal pasal 5 kovenan itu telah mengantisipasi hal ini dengan ketentuan yang rinci, sebagai berikut: (1) Tidak satu pun dalam kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak pada suatu negara, kelompok, atau perorangan untuk melakukan kegiatan yang ditujukan untuk menghancurkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diakui atau untuk membatasinya lebih daripada yang telah ditetapkan dalam kovenan ini;

(2) Tidak diperkenankan adanya suatu pembatasan atau pengurangan HAM yang mendasar diakui, atau yang ada di suatu negara yang menjadi pihak dalam kovenan ini, menurut hukum, konvensi, peraturan, atau kebiasaan, dengan alasan bahwa kovenan ini tidak mengakui hak-hak tersebut, atau mengakuinya sebagai hak yang lebih rendah sifatnya.

Karena itu, penting untuk melihat Siracusa Principles yang merupakan prinsip pembatasan dan pengecualian atau derogasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, yakni: (1) "Telah diatur oleh hukum". Artinya harus oleh ketentuan dalam hukum nasional yang berlaku pada saat pembatasan diterapkan, tidak boleh sewenang-wenang atau tidak masuk akal, harus jelas dan dapat diakses oleh semua orang serta perlindungan yang memadai dan pemulihan yang efektif harus disediakan oleh hukum terhadap pemaksaan atau penerapan pembatasan hak asasi manusia secara ilegal atau kasar;

(2) "Yang diperlukan". Artinya didasarkan pada salah satu alasan yang dibenarkan kovenan sesuai dengan pasalnya, menanggapi kebutuhan publik atau sosial yang mendesak, mengejar tujuan yang sah, dan proporsional dengan tujuan itu; (3) Pembatasan tersebut tidak mengganggu fungsi demokratis masyarakat; (4) Untuk kepentingan: keamanan nasional, keselamatan publik, ketertiban umum, dan perlindungan kesehatan publik dan moral umum. Kepentingan moral umum harus diartikan sebagai moralitas yang tidak berasal dari satu kultur pada suatu waktu saja. Untuk itu, pembatasan harus dilakukan untuk merawat penghormatan kepada nilai fundamental komunitas dan mengikuti prinsip non-diskriminasi.

Tentu saja hukum hanyalah benda mati tanpa fakta. Karena itu, mari kita lihat beberapa fakta yang terbuka dalam situs resmi HTI tentang ideologi mereka. Tentang publikasi ajaran agama Kristen, HTI menegaskan bahwa "sebenarnya yang membuat dan menyebarkan agama Kristen itu adalah Paulus, bukan Yesus". Di bagian lain, HTI menulis "keyakinan penganut Nasrani itu tidak ada dasarnya dan salah ¡©besar".

Tafsir terhadap ajaran agama orang lainlah yang menyeret Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ke penjara. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menilai Basuki bersalah melakukan penodaan agama. Saya berpendapat sebaliknya: Basuki tidak bersalah melakukan penodaan agama karena hak asasi manusia mengenal kebebasan pikiran, hati nurani, dan keagamaan, selama tidak masuk kategori siar kebencian dan dinyatakan dengan kekerasan. Karena itu pula, menurut saya, HTI tidak bersalah dalam konteks pemuatan tafsir mereka atas ajaran agama Kristen di atas.

Tentang Ahmadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Provinsi Bangka Belitung pernah mendesak Pemerintah Provinsi Bangka Belitung untuk segera membubarkan jemaat Ahmadiyah. Di tingkat pusat, HTI yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) juga menyerukan hal serupa. Kini agaknya HTI mengalami berada dalam posisi yang sama dengan Ahmadiyah ketika itu.

Dalam menilai persoalan ini, penting melihat esensi Pancasila dan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 yang merupakan pernyataan politik pendirian negara Indonesia menegaskan cita-cita pendiri negara ini: "untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia".

Sementara itu, Pasal 1 angka 3 UUD 1945 secara tegas menyatakan corak Negara Indonesia, yaitu "negara hukum", bukan negara agama. Karena itu, mengikuti hukumtanpa membeda-bedakan orang berdasarkan agama, keyakinan, dan lain-lain merupakan tindakan yang sesuai dengan pernyataan "melindungi segenap bangsa".

Dengan demikian, tindakan-tindakan diskriminatif atas sesama warga negara tidaklah sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Meminta, apalagi mengancam, agar suatu kelompok yang dianggap minoritas dinyatakan sesat atau harus dibubarkan merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Tapi bagaimana jika sebagai orang beragama, suatu kelompok meyakini bahwa ajaran suatu kelompok yang berbeda adalah tidak benar (sesat)? Keyakinan semacam ini juga dilindungi hukum, khususnya HAM mengenai kebebasan pikiran, hati nurani, dan keagamaan. Meyakini sesuatu dan mengajarkannya dengan argumentasi keilmuan keagamaan dengan bahasa yang lembut tentu berbeda dengan melakukan advokasi kebencian berbasis agama tentang diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan. Apakah organisasi yang menyatakan kelompok lain sesat layak dibubarkan?

Bagaimana dengan tindakan HTI yang mengaku mengikuti Pancasila tapi melakukan perbuatan atau tindakan yang bertolak belakang dengan Pancasila? Apakah yang demikian hendak dihukum? Apakah semua organisasi yang tidak menjalankan esensi Pancasila dan UUD 1945 hendak dibubarkan?

Penting diingat bahwa penolakan terhadap cara tidak sama dengan persetujuan terhadap substansi. Kerap khalayak menyamakan penolakan atas Undang-Undang Pornografi, misalnya, sebagai persetujuan atas pornografi. Atau kritik atas kebijakan salah satu calon kepala daerah sebagai kecenderungan untuk memilih calon pesaingnya. Dalam konteks ini pun serupa: penolakan terhadap pembubaran HTI tidak berarti saya menyetujui garis politik HTI.

Mempertimbangkan semua ketentuan hukum dan HAM yang ada, maka membubarkan organisasi bukan langkah yang tepat. Solusi yang tepat adalah memidanakan segala aksi kekerasan yang dilakukan anggota-anggotanya, juga siar kebencian mereka. Balaslah pengorganisasian dengan pengorganisasian; kata dengan kata.

Di sisi lain, negara juga harus tegas menghentikan toleransi atas intoleransi. Laporan-laporan tentang guru dan sekolah yang mengajarkan kebencian berbasis agama serta perda-perda diskriminatif harus ditindaklanjuti.

Hak asasi manusia muncul sebagai buah peradaban kemanusiaan pasca-Perang Dunia II dengan maksud menghentikan selamanya kekejaman antarmanusia dan mengabadikan perdamaian di muka bumi. Konsistensi dan keadilan menjadi kunci. Karena itu, argumentasi pembelaan paling kuat untuk Hizbut Tahrir justru datang dari pandangan hukum hak asasi manusia, sesuatu yang ironisnya selama ini mereka tolak. l

Asfinawati
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus