Pandita-Ratu FACHRY ALI* MESKIPUN tak semua orang ingin menjalaninya, kehidupan para wali cukup terhormat. Sunan Giri, yang sudah sepuh, yang oleh Belanda dijuluki Paus van Giri, misalnya, begitu dihormati kalangan elite politik Jawa. Kendatipun terus-menerus disusul oleh para istrinya, agar tetap tampak sehat, Sunan menerima sebo dari Sultan Adiwijaya alias Jaka Tingkir, begitu Tingkir berhasil keluar dari kemelut politik imperium Demak dan menjadi orang nomor satu di Pajang. Suatu bentuk kehormatan tertinggi, jauh di atas segala raja Jawa. Sang Wali adalah tokoh rohani. Tapi "kekuasaan"-nya mengatasi kekuasaan politik duniawi. Lihatlah, bagaimana besarnya peranan Sunan Kudus dalam konflik politik antara Raja Pajang dan Residen Jipang (Sutawijaya). Di samping, disebut-sebut pula peran penting Sunan Kalijaga di belakang kemenangan Pajang dalam konflik tersebut, yang kemudian justru melahirkan Mataram? Maka, dalam konteks sejarah Jawa, konsep Pandita-Ratu mungkin merupakan jawaban terhadap realitas ketakterpisahan kekuasaan rohani dengan kekuasaan duniawi. Kekuasaan rohani, terutama, juga menjadi sumber mobilisasi kekuatan politik yang bersifat duniawi. Absennya sikap ke-Pandita-Ratu-an ini pada diri seorang raja (Jawa) bisa juga berakibat fatal. Bahkan, bukan hanya untuk dirinya. Ketika Amangkurat I membantai enam ribu ulama hanya dalam seperempat jam -- akibat kup yang gagal Pangeran Alit -- maka sang raja mungkin telah mengesampingkan sikap ke-Pandita-Ratu-annya. Dengan itu, ia telah mengukir "tragedi hidupnya sendiri: terusir dengan meninggalkan kepulan asap di atas keraton Mataram yang porak-poranda dihantam pasukan Trunajaya. Di samping, ia juga telah membawa sejarah politik Jawa ke dalam kehancuran -- ketika Belanda memanfaatkan kericuhan itu untuk menanamkan pengaruhnya di hampir seluruh Tanah Jawa. Mungkin juga ia tak belajar kepada ayahnya: Sultan Agung. Raja Jawa yang paling perkasa ini, pada awalnya, adalah penguasa profan. Merasa terhina oleh ejekan raja-raja pantai -- yang memandang Mataram sebagai wong dusun dan kurang beradab -- ia bertekad menundukkan mereka. Sebagai orang nomor satu dari sebuah negara agraris, posisi Agung memang mendukung tekadnya itu. Sebab, hanya di negara agrarislah, pertumbuhan cacah dapat berlangsung dengan cepat. Jumlah cacah yang terus bertumbuh ini tentu saja menjadi sumber tentara milisi yang tak habis-habisnya, yang pada akhirnya mengalahkan negara-negara pantai, yang hanya bisa mengandalkan kekuatan mereka pada tentara bayaran. Maka, seluruh negara pantai tunduk di bawah pengaruhnya. Sebagian dari Kalimantan dan Sumatera bahkan dikabarkan juga telah mengatur sembah kepada Sultan Agung. Toh di tengah-tengah keperkasaan duniawinya, ia tak meninggalkan sikap ke-Pandita-annya. Kendatipun sangat artifisial, usaha Agung mendapatkan gelar sultan pada 1641 haruslah dipahami sebagai suatu tindakan simbolik untuk meletakkan nilai ke-Pandita-an di atas kekuasaan duniawi. Ini konsisten dengan usaha sebelumnya, ketika, pada 1625, ia mengambil gelar susuhunan sebagai refleksi kesadaran integrasi kedua jenis kekuasaan itu. Bahkan, sebelumnya, ia juga telah menggunakan gelar Panembahan Agung ing Alaga Abdurrahman? Agung tentu saja tak peduli dengan kritik kita sekarang terhadap garis sejarah yang telah digoreskannya. Toh dialah yang menciptakan hari-hari besar agama dan sistem kalender Jawa baru dengan menjejakkan pengaruh Islam di dalamnya. Di akhir hayatnya, setelah gagal menggempur Belanda di Betawi, ia menerjemahkan konsep Pandita-Ratu dengan membangun pasarean di puncak bukit Imogiri. Kendatipun penuh dengan kekuasaan duniawi, melalui tempat pemakaman keluarga raja itu, ia ingin mendapatkan cipratan "kesucian" para wali. Sampai kini pun, sang Pandita-Ratu itu tetap dihormati orang. * Penulis, kini, adalah mahasiswa Jurusan Sejarah, Monash University, Australia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini