Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Papan Ibu

SEBUAH pesan grup WhatsApp dari Semenanjung beredar di kalangan wartawan Indonesia.

25 Maret 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH pesan grup WhatsApp dari Semenanjung beredar di kalangan wartawan Indonesia. Terkait dengan skandal rasuah, seorang warga Malaysia mengirimkan pesan di Twitter bahwa si pengirim merasa tak sedap membaca kabar tentang negerinya, yang membikin kemaluannya besar. Tentu, ini sekadar kelakar, tapi secara linguistik menimbulkan sejumlah pertanyaan. "Malu" sebagai kata sifat sama dengan shy (bahasa Inggris) dan khajul (bahasa Arab), yang berarti tak percaya diri berjumpa dengan orang lain.

Sebenarnya soal "kemaluan" di atas juga menjadi lelucon kolega saya di sana. Kata ini pernah disematkan pada ucapan mantan menteri sebagai humor. Bukan hanya itu, kawan saya bercerita bahwa yang bersangkutan menyebut donor darah dengan "derma dara" (anak perawan), bukan darah dengan penekanan huruf "h". Pendek kata, bukan hanya kita, orang negeri jiran acap menjadikan bahasa sebagai bahan untuk senda-gurau. Sekali waktu, kawan saya merasa tak nyaman ditanyai "kapan", bukan "bila", karena lema ini mengingatkannya pada kain kafan, kematian.

Beruntung, seri Upin & Ipin sangat membantu warga di sini untuk memahami daya ungkap penduduk negeri tetangga, meskipun kadang justru menunjukkan keterbatasan pengetahuannya terhadap khazanah kita sendiri. Kawan-kawan di Indonesia sering memanggil saya dengan "cikgu" atau "pakcik", sebagai penanda bahwa saya adalah bagian dari negeri jiran. Padahal kedua kata ini dikenal di Riau, sehingga Andrea Hirata sering dipanggil "encik". Menariknya, banyak kata yang sering digunakan di Semenanjung tapi masyarakat di sini umumnya tidak akrab karena kata-kata itu jarang sekali dipakai dalam bahasa tulisan dan lisan.

Jika baru pertama kali berkunjung ke negeri jiran, Anda akan mendengarkan informasi yang berbeda tentang keselamatan dari pramugari di dalam pesawat. Di sini, seseorang akan susah memahami perkataan "kencangkan tali keledar" sebagai padanan fasten your seat belt. Kita akan mengerti jika kata majemuk itu disebut dengan "sabuk pengaman". Pramugari selanjutnya mengumumkan bahwa "anak-anak kapal" akan menolong penumpang yang memerlukan bantuan. Kita menyebutnya "kru" sebagai serapan dari crew, sebuah kata yang menarik karena kita menyerapnya dari bunyi, sebagaimana warga jiran menyebut message dengan "mesej".

Kita menyebut take off dengan "tinggal landas", sedangkan warga negeri Siti Nurhaliza itu mengatakan "berlepas". Tak pelak, departure diterjemahkan dengan "perlepasan", sementara kita menyebut "keberangkatan". Adapun "ketibaan" adalah padanan arrival, sementara kita mengenal "kedatangan". Apabila kata-kata tersebut digunakan dalam sebuah percakapan, misalnya "Kapan pesawat Anda mau berlepas?" dan "Di mana saya harus menjemput Anda, ketibaan dalam negeri atau antarabangsa?", tentu kita tidak akan segera memahami makna "berlepas" dan "ketibaan" itu.

Hingga kini, di sana, "lapangan terbang" digunakan sebagai sinonim kata airport, sementara kata "bandara" tidak digunakan, bahkan tidak ditemukan dalam kamus. Sebagai gabungan kata "bandar" dan "udara", tentu ia juga akan susah dipahami karena kata "bandar" sering digunakan untuk kata lain dari "kota". Sedangkan kota kecil disebut "pekan", yang dalam bahasa kita terkait dengan tujuh hari. Mungkin Anda pun akan terperanjat jika menemukan kata dashboard mobil diterjemahkan sebagai "papan pemuka", yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut "dasbor".

Saya belum pernah mendengar sopir taksi di Semenanjung berbicara tentang masalah komputer. Namun, jika Anda menggunakan Uber atau Grab dan pemandunya (padanan untuk sopir) berlatar belakang mahasiswa perkomputeran, jangan terkejut jika motherboard dialihbahasakan menjadi "papan ibu". Sejatinya kita tak merasa asing dengan dua kata tersebut. Tapi, sepanjang saya belajar di Yogyakarta, tak seorang pun pernah menyebut alat utama dari mesin digital ini dengan serapan harfiahnya. Meskipun kita mengenal istilah signboard sebagai "papan nama" dan kata mother bisa bermakna konotatif seperti pada "ibu kota", hingga kini Kamus Besar Bahasa Indonesia tak memasukkan entri berupa istilah komputer dengan lengkap.

Kamus Dewan Malaysia pun belum memasukkan peristilahan komputer, sehingga kata-kata tersebut dipilih penerjemah warga tetangga dalam buku yang berbicara tentang dunia digital. Pendek kata, seperti di Indonesia, pegiat perkamusan di Malaysia tak bisa mengikuti perkembangan kosakata teknologi yang pesat. Tak dapat dielakkan, kita terpaksa memilih terminologi asal untuk berkomunikasi. Apa boleh buat.

Ahmad Sahidah
Dosen senior filsafat dan etika Universitas Utara Malaysia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus