Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TENTU ada sesuatu yang salah jika seorang karyawati dan seorang artis cantik—yang tak punya catatan kriminal—tiba-tiba terancam kurungan penjara maksimal enam tahun dan denda Rp 1 miliar. Prita Mulyasari, Luna Maya, atau masyarakat pers dan penggiat demokrasi berhadap-hadapan dengan Pasal 27 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, pasal yang siap mengganjar pelanggarnya dengan hukuman ekstrakeras.
Bayangkanlah, di kala Perserikatan Bangsa-Bangsa mengimbau negara anggotanya membuang pasal pidana pencemaran nama baik dari sistem hukum masing-masing, Indonesia malah meningkatkan ancaman hukuman perkara ini hampir empat kali lipat. Bahkan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang dibuat oleh penjajah Belanda itu, hanya memberikan ancaman paling tinggi 16 bulan penjara bagi pelaku pencemaran nama baik melalui tulisan.
Tak ada kata yang lebih tepat untuk menggambarkan perkembangan ini selain setback, kemunduran, semenjak reformasi digulirkan pada 1998. Tidak ada proteksi khusus bagi warga negara yang kebetulan berada dalam posisi seperti Prita atau Luna.
Ancaman hukuman di atas lima tahun itu memudahkan polisi dan kejaksaan melakukan penahanan terhadap terlapor. Ini terbukti ketika Prita Mulyasari, yang mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional melalui Internet, ditahan kejaksaan di awal tahun ini. Hanya berkat dukungan besar masyarakat dan media, ibu dua anak itu dibebaskan. Dukungan yang kemudian bergulir menjadi aksi pengumpulan ”koin untuk keadilan” hingga hampir Rp 1 miliar dari puluhan ribu warga di berbagai penjuru republik ini menunjukkan protes masyarakat atas penerapan hukum yang dianggap tidak adil itu.
Besarnya protes masyarakat ini, untungnya, bisa ”dibaca” pemerintah. Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar telah menyatakan niat mengajukan revisi atas undang-undang yang rancangan awalnya hanya mengatur soal transaksi bisnis di ranah elektronik ini. Itu sebabnya dirasakan amat ironis bila sekarang pasal bermasalah ini justru digunakan oleh pengurus pekerja infotainment nasional.
Apalagi pelaporan mereka tak memiliki dasar hukum. Luna Maya tak menulis secara spesifik siapa pekerja infotainment yang dianggapnya (maaf) lebih kejam dan hina daripada pembunuh dan pelacur itu. Ini berarti tak ada subyek hukum yang terkena pencemaran nama baik dan, karena itu, tak ada pelanggaran pidana. Luna Maya pun telah mengajukan permintaan maaf secara tertulis di jejaring Twitter yang sama begitu menyadari ungkapannya menyinggung perasaan beberapa pembacanya.
Permintaan maaf itu, yang kemudian diikuti penutupan akses publik pada jalur Twitternya, menunjukkan indikasi Luna Maya sadar harus lebih berhati-hati dalam mengungkapkan ekspresi di tempat terbuka. Kesadaran ini akan membuatnya lebih aman dari kemungkinan dilaporkan melakukan pidana pencemaran nama baik lagi, tapi merugikan para penggemar dan pengamat perilakunya—seperti para pekerja infotainment—yang kehilangan akses pada ekspresi spontan artis itu.
Ini mungkin akan menggoda para pengamat itu untuk mengakses Twitter tertutup Luna Maya secara tidak legal. Jika ini dilakukan, para pengakses itu malah akan terancam masuk penjara karena melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Walhasil, upaya pengurus pekerja infotainment melaporkan Luna Maya tak hanya membuat anggota mereka tidak populer di mata masyarakat, tapi juga terancam oleh undang-undang ini. Bak kata peribahasa, upaya mereka ibarat ular mencari gebuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo