Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhamad Ilham
Tim Rencana Strategis Komisi Yudisial RI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seluruh strategi kerja pemerintah sepatutnya disusun melalui tahapan yang terukur, rasional, dan komprehensif. Hari ini, kita memasuki tahun saat Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 memasuki fase keempat, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fokus tulisan ini terletak pada dokumen Narasi RPJMN IV 2020-2024 revisi per 28 Juni 2019, terutama pada pilar Kelembagaan Politik dan Hukum yang Mantap. Sebagaimana penjelasan di dalam dokumen tersebut, salah satu sasaran yang ditetapkan untuk bidang hukum adalah penataan regulasi dan pembaruan substansi hukum. Penguatan tata kelola regulasi akan dilakukan melalui penguatan institusi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, pelembagaan evaluasi regulasi ke dalam siklus penyusunan peraturan perundang-undangan, optimalisasi partisipasi publik, dan dukungan basis data regulasi berbasis teknologi informasi.
Dalam dokumen RPJMN disebutkan bahwa pembaruan substansi hukum akan dicapai melalui perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, regulasi mengenai badan usaha, jaminan fidusia, dan kepailitan. Adapun indikator keberhasilannya diukur dengan menurunnya persentase permohonan judicial review yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Bagaimana mungkin pembaruan substansi hukum yang meliputi pembaruan regulasi dicapai dalam lima tahun? KUHP setidaknya membutuhkan waktu lebih dari 20 tahun. Sementara itu, di tengah waktu lima tahun tersebut, sangat mungkin ada banyak masalah hukum yang perlu sentuhan strategis dari pemerintah. Dengan kata lain, pembaruan substansi hukum tidak bisa dilakukan hanya dari sisi norma hukum melalui regulasi baru, tapi juga kaidah pada kasus konkret yang diuji di pengadilan.
Konsep yang kita anut bukanlah pemisahan kekuasaan, melainkan pembagian kekuasaan, karena pemisahan memiliki konsekuensi tak adanya relasi antar-kekuasaan sama sekali.
Dalam konteks pembaruan substansi hukum, penciptaan norma atau regulasi baru berada di ranah eksekutif dan legislatif. Maka, guna memastikan pendekatannya komprehensif, perlu juga didorong penggunaan sumber hukum lain yang berasal dari ranah yudikatif. Jika sumber hukum berupa doktrin dari sisi waktu lebih lama dicapai, pembaruan substansi hukum yang bersumber dari kaidah hukum di dalam yurisprudensi atau putusan hakim, baik MA maupun MK, menjadi alternatif yang tepat.
Pada 2011, National Legal Reform Program (NLRP) memperkenalkan sebuah metode yang dinamakan restatement (penjelasan hukum). Beberapa kajian tematik dilakukan melalui proyek tersebut untuk menjawab banyak masalah di sisi ketidakpastian hukum guna mewujudkan suatu gambar yang jelas tentang beberapa konsep penting hukum Indonesia modern.
Metode yang mereka gunakan adalah analisis terhadap tiga sumber hukum: peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan literatur yang otoritatif. Metode ini seolah-olah ingin membangun kembali legal method, yaitu sistem penelitian dan wacana hukum yang riil oleh kalangan universitas.
Di sisi lain, pada 2009-2015, Komisi Yudisial telah meneliti lebih dari 1.539 putusan dari tingkat pertama, banding, dan kasasi. Komisi menemukan bahwa mayoritas hakim terlalu positivistik dan kurang memperkaya putusannya dengan sumber hukum lain, seperti yurisprudensi dan doktrin, sehingga dalam beberapa kasus ditemukan putusan yang masih menggunakan dasar hukum yang telah dibatalkan atau penafsiran lama.
Dua penelitian tersebut membuktikan bahwa merujuk pada norma regulasi semata akan menciptakan putusan yang positivistik dan tak bisa menjawab persoalan rutin di lapangan.
Tulisan ini diharapkan cukup menjadi masukan bagi isi RPJMN bidang hukum kita. Kesenjangan atau kekosongan hukum akibat jauhnya jarak antara norma dan peristiwa dapat dijawab oleh kaidah hukum pada putusan hakim. Berfokus hanya pada pembaruan substansi hukum melalui norma regulasi, jelas tidak cukup. Dorongan bagi produktivitas penciptaan kaidah hukum melalui putusan menjadi penting untuk juga dijadikan upaya atau indikator keberhasilan capaian kerja negara ini di bidang hukum.