Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ikhsan Darmawan
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana membuat peraturan KPU yang melarang mantan terpidana korupsi menjadi calon legislator. Pasal 8 huruf J rancangan PKPU itu berbunyi, "Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, kabupaten, dan kota adalah warga negara Indonesia yang harus memenuhi syarat, antara lain bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual dan korupsi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPU tidak menabrak undang-undang dengan rumusan itu karena dalam peraturan sebelumnya telah disebutkan larangan untuk mantan narapidana, tapi baru sebatas bagi bandar narkotik dan pelaku kejahatan anak. KPU hanya memperluas tafsiran aturan sebelumnya. Hal ini dibikin agar pemilih terbebas dari calon yang bermasalah karena pernah melakukan korupsi.
Namun, dalam konsultasi KPU dengan DPR tentang rancangan peraturan itu, muncul penentangan. Misalnya, KPU dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Jika rumusan pasal di atas tak disetujui, KPU masih bisa membuat pasal yang intinya memberi syarat kepada partai politik agar merekrut calon legislator yang bersih dari korupsi. Opsi kedua itu lebih mungkin tidak akan bermasalah secara hukum karena tidak akan "beradu" dengan undang-undang.
Mengapa sebaiknya rancangan peraturan itu harus didukung? Saya berpandangan pelarangan itu penting untuk mendukung setidaknya dua hal: terselamatkannya pemilih dari calon yang tidak kompeten dan ditekannya kemungkinan korupsi oleh elite politik.
Dalam khazanah kepemilihan-umuman, penjelasan tentang kaitan antara pentingnya aturan pemilihan dan dampaknya sudah lama diyakini. Menurut Beath dan kawan-kawan (2014), aturan pemilihan penting disorot karena bisa berdampak terhadap kualitas politikus terpilih. Bahkan hubungan dengan regulasi pemilihan tak berhenti di situ, melainkan sampai ke tingkat korupsi. Persson dan kawan-kawan (2003) menilai bahwa bagaimana pemilihan diatur memiliki implikasi terhadap tingkat korupsi di sebuah negara.
Pertama, korupsi adalah kejahatan yang luar biasa penting untuk diberi perlakuan khusus. Jika nantinya rancangan peraturan KPU itu jalan terus, besar kemungkinan dan diharapkan hal itu dapat melindungi pemilih dari calon yang tidak layak dipilih. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), setelah Pemilihan Umum 2014, ada setidaknya 10 legislator terpilih tingkat kabupaten/kota dan provinsi yang berstatus mantan terdakwa kasus korupsi dan terpilih menjadi anggota legislatif. Artinya, masyarakat masih memilih mereka walau calon tersebut telah menjalani hukuman karena korupsi. Jika ada larangan, masyarakat akan terbebas dari kemunculan calon bekas narapidana korupsi di surat suara. Hal ini sejalan dengan Beath dan kawan-kawan yang berpendapat bahwa siapa saja yang terpilih dalam pemilihan terkena dampak dari bagaimana isi aturan pemilihan itu.
Kedua, dalam Pemilihan Umum 2014 dan sebelumnya, bekas narapidana korupsi masih terpilih karena belum adanya produk hukum yang melarang. Ketika aturan itu ada, para elite politik akan berpikir seribu kali bila berniat melakukan korupsi karena hal itu akan menghambat karier politik mereka. Efek jera sangat mungkin dirasakan politikus lain apabila mereka mengetahui adanya larangan itu. Makin jelas larangan, makin besar kemungkinan laju niat dan perilaku korup dapat ditekan. Penjelasan ini sejalan dengan pendapat Persson dan kawan-kawan, yaitu terjadinya korupsi di suatu negara erat kaitannya dengan regulasi pemilihan di negara itu.
Pada akhirnya, KPU perlu istikamah melanjutkan niat baiknya untuk melarang bekas narapidana korupsi menjadi calon legislator. Apalagi hasil rapat konsultasi KPU dengan DPR tentang rancangan peraturan itu tidak lagi mengikat seperti sebelumnya. Ikhtiar positif itu dapat berpengaruh baik terhadap banyak hal, terutama sekali untuk mewujudkan pemilihan umum tanpa koruptor.