Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pengajian

Meningkatnya kegiatan pengajian di kalangan mahasiswa indonesia di luar negeri, gejala menarik. hal itu merupakan ekspresi populer paling riil dari arus islamisasi.

13 November 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARUS Islamisasi itu ternyata kuat. Bukan dalam arti politik, tapi kultural. Buktinya, antara lain, menggejalanya pengajian mahasiswa Indonesia di Amerika. Hampir di setiap kota mahasiswa tempat orang Indonesia belajar, di situ ada kelompok pengajian, biarpun hanya lima orang, seperti di Bloomington Indiana. Dan sekarang ini, mereka yang belajar di Amerika tidak hanya mengenal pengajian ''darat''. Lewat jaringan komputer mereka mempunyai pengajian ''udara'' dengan keasyikannya sendiri. Belajar mengaji ini menjadi fenomena yang menarik, terutama karena mereka cukup bersungguh-sungguh. Sebagai akibatnya, misalnya, biarpun ia di Indonesia seorang penting di kantornya, dan sebentar lagi akan bergelar doktor, karena mengajinya baru tingkat awal, ya tidak ada rasa rikuh kalau harus duduk melingkar dengan grupnya yang belajar ngejrah. Di tempat saya, kalau ada mahasiswa Indonesia yang mengaku beragama Islam dan tidak ikut pengajian, rasanya kurang pantas. Tak hadir dalam pengajian karena menghadapi ujian sangat bisa dimaklumi. Tapi, sampai sama sekali tidak bergabung dalam komunitas pengajian akan dianggap agak aneh karena ada di luar arus perubahan sosial umumnya orang Indonesia. Saya melihat, pengajian ini, di luar negeri apalagi yang di tanah air, merupakan ekspresi populer paling riil dari arus Islamisasi. Sebuah ekspresi yang mencerminkan reedukasi umat Islam terhadap agamanya. Suatu gejala yang oleh sementara pengamat disebut inner purification, yaitu perkembangan yang menggambarkan kebutuhan umat Islam di mana-mana, tentang perlunya menyandarkan makna hidup dan identitas dirinya pada sesuatu yang suci tapi skriptural, yakni kepada Tuhan yang terwakili dalam kanon kitab suci-Nya dan bukan lagi kepada orang-orang yang mengaku ''suci'' atau pranata lainnya yang selama ini di-''suci''-kan, yang memang otoritasnya sudah dibongkar oleh rasionalitas modern. Islamisasi, dalam arti kembali ke kitab suci itu, dalam perwujudannya ada kalanya lebih bersifat peneguhan iman dan pencarian makna hidup secara individual. Biarpun pengajian merupakan kegiatan dakwah, sebagai kategori sosial dan politik, pengajian berbeda dengan gerakan ''dakwah'' di Malaysia. Di negeri jiran itu media dan para pengamat sudah menggolongkan ''pengajian'' sebagai gerakan radikal Islam, yang diwakili antara lain oleh Darul Arqom dan Jamaat Tabligh. Seandainya pengajian mahasiswa Indonesia di luar negeri ini dianggap mewakili gejala ''penyantrian'' kelas menengah, ada satu hal yang menarik untuk dipertanyakan: Siapakah mereka itu? Pertanyaan ini, bagi saya, penting untuk menjawab dari manakah akar sosial kelas menengah Islam yang baru ini, dan apakah aspirasi atau mungkin kepedulian mereka terhadap masa depan dirinya, komunitas, dan masyarakatnya. Tanpa melihat dan berbicara dengan mereka secara sungguh- sungguh, bisa jadi potret yang menggambarkan arus Islamisasi di Indonesia kini menyesatkan: karena mengambil lokus atau lokalitas pengamatan yang salah. Akibatnya, representasi tentang Islamisasi hanyalah: kesan media tentang klaim ''orang'' atas, apakah itu politikus, pemikir, ulama, dan seterusnya. Sekadar contoh adalah laporan media massa atau hasil riset para ilmuwan sosial tentang Islamisasi di Malaysia. Laporan itu mengatakan, munculnya yang disebut dakwah movement yang radikal, yang pendukungnya berasal dari kampus dan sebagian kelas menengah di kota-kota universitas. Dengan potret semacam itu, seolah-olah gerakan Islam di Malaysia menghadapi arus modernisasi, dan munculnya negara modern hanyalah diwakili oleh sejumlah aktivis gerakan dakwah itu, sedangkan umat Islam yang jumlahnya lebih banyak, yang hidup dengan tradisi dan adatnya di desa-desa, tidak membuat sejarah baru apa pun dalam dinamika sosial yang sedang terjadi. Demikian juga kesan tentang Islamisasi di Indonesia akhir- akhir ini. Seolah-olah hal itu didominasi oleh yang sering disebut approaching Islam, yang tak lain ialah tentang perkembangan ICMI dan semakin hijaunya komposisi kabinet dan kursi Balai Sidang di Senayan. Seolah-olah itulah lokalitas yang representatif untuk melihat arus sosiologis Islam yang sesungguhnya. Saya tentu tidak membantah bahwa itu juga bagian dari arus Islamisasi yang berkembang. Hanya saja, tanpa mau mendengarkan aspirasi dan berbicara dengan ''orang-orang biasa'' yang ada di kelompok-kelompok pengajian itu, saya khawatir kita kehilangan lokalitas yang paling riil tentang dinamika sosial yang ada di tengah-tengah arus yang sedang berjalan. Sebab, sebagai ''orang biasa'', tapi sukses sebagai kaum profesional, kelas menengah santri yang baru itu tampaknya cenderung ingin lebih merdeka dari subordinasi yang mengancam ''kemerdekaannya''. Kecuali itu berkaitan dengan keimanan yang abstrak, dengan berbuat kesalehan mengikuti tuntunan kitab-Nya. Wajarlah kalau saya pernah kecewa. Sebagian besar mereka yang pernah saya ajak bicara dalam pengajian itu mengatakan, di samping mengembangkan karier profesional dengan sebaik-baiknya, jika sukses nanti, cita-cita mereka yang sudah ada di kepala ialah bagaimana bisa naik haji, beramal saleh, dan tentu saja menghidupkan pengajian, baik di kantornya maupun yang ada di sekitar rumahnya. Barangkali, dalam aktivitas seperti itulah, sebagai kelas menengah yang independen, mereka benar-benar bisa mentransformasikan dirinya secara egalitarian, tidak tersubordinasi, sementara mereka belum percaya bahwa struktur nonritus yang ada mampu menampung watak dan sikap seperti itu. Islamisasi di Indonesia sebagai hasil ''depolitisasi'' Islam memang menarik untuk disimak secara lebih teliti. Bagi saya, lokalitas penyimakan itu yang lebih menarik, bukanlah yang terjadi di ''pusat'' tapi yang di masyarakat sendiri yang lebih riil. Misalnya, mengapa kelas menengah pada naik haji-plus, sedangkan petani yang surplus di pedesaan ramai-ramai ziarah ke makam wali. Saya kira, itulah gejala yang nyata tentang kebangkitan Islam yang bersifat populer yang menjadi pertanda ritus peralihan masyarakat Indonesia yang sedang berubah, yang mencari ''pusat'' dunia besarnya ada di ''sana'' dan bukan di ''sini'', dalam struktur kekuasaan resmi sehari-hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus