Aku bicara padamu dengan kebisuan sebungkah mega atau pohonan.
BUKAN karena kebisuan Czeslaw Milosz memperoleh Hadiah Nobel
Kesusastraan 1980. Penyair Polandia ini, yang kini tinggal di
Amerika Serikat, menulis sejak tahun 1930-an. Sebuah novelnya
tentang masa kecil, Lembah Issa, masih akan terbit awal 1981.
Dengan kata lain, ia telah banyak berbunyi, selama setengah
abad. Tapi mungkin benar jika ia tahu apa maknanya membisu.
Ketika ia berumur 21 tahun, Milosz (dibaca: Miwosh) sudah
menerbitkan kumpulan sajaknya. Judulnya: Sajak Waktu Yang Beku.
Puisinya muram. Ia seakan meramalkan malapetaka. Yang
menakjubkan ialah, bahwa perasaannya akan tragedi benar.
Kota kelahirannya, Vilnius, kini ibukota Soviet Lithuania,
adalah "negeri hutan, danau dan sungai deras, yang tersembunyi
dalam ngarai berpohon-pohon." Inilah sebuah negeri, tempat "tak
seorang pun memimpikan pembunuhan massal dan deportasi manusia
besarbesaran." Tapi perang pecah, Hitler masuk, dan Eropa Tengah
serta Timur dibongkar pasang oleh perkembangan keras sejarah.
Joseph Brodsky, penyair Rusia yang beberapa tahun yang lalu
dibuang dari negerinya, menulis: "Czeslaw Milosz anak sejati
abad ini, karena dalam banyak hal, ia telah dibikin yatim piatu
olehnya." Brodsky bisa merasakan itu. Milosz di masa muda adalah
seorang kiri. Ia yakin bahwa setelah Hitler kalah, sosial- isme
satu-satunya jalan. Tapi di tahun 1951, Milosz meninggalkan
Polandia yang sosialis. Ia mencari suaka, ketika ia jadi
diplomat di Prancis.
"Saya telah menolak Imam Baru," katanya kemudian. Ia akhirnya
tak tahan, ketika yang berkuasa terus mendesaknya untuk menulis
berdasarkan garis Partai--termasuk bila ia menulis sepotong
sajak. "Seseorang mungkin dapat membujuk dirinya sendiri, dengan
penalaran yang paling logis, bahwa akan bermanfaat bagi
kesehatannya bila ia menelan kodok hidup," tulisnya. "Dan,
setelah yakin secara rasional, ia pun menelan kodoknya yang
pertama, lalu yang kedua tapi ketika tiba kodok yang ketiga,
perutnya akan berontak."
Di tahun 1950-an, periode paling riuh dalam Perang Dingin
antara kekuatan Barat dan Blok Sosialis, peristiwa pembelotan
Milosz jadi bahan propaganda yang pintar bagi Amerika dan
sekutunya. Tapi kini peristiwa itu mungkin hanya terasa sebagai
hasil cetak ulang yang sudah menguning Polandia, yang baru
memberikan kebebasan bagi serikat buruh, tak seketat dulu lagi.
Karya Milosz di negerinya memang hanya bisa beredar secara
gelap. Tapi ketika ia jadi berita sebagai pemenang Hadiah Nobel,
televisi resmi ikut menyiarkannya. Malah karya-karya Milosz
dianjurkan untuk diedarkan lebih leluasa.
Kenapa harus tidak? Semakin dimusuhi seorang pengarang oleh
pemerintahnya, semakin tumbuh ia jadi semacam pemerintah
tandingan. Ada sebuah pepatah Persia "Jangan menginjak-injak
permadani atau seorang mullah, ia akan naik harganya." Dalam hal
mullah, pepatah ini dibenarkan oleh kasus Khomeini, yang
dihantam bekas Syah dan malah tambah berwibawa. Dalam hal
pengarang, pepatah ini di Polandia dibenarkan oleh kasus Milosz.
Kita belum tahu adakah Milosz sendiri memang besar. Mungkin
banyak orang yang meragukan mutunya - seraya berranya-tanya
tidakkah pemberian Hadiah Nobel kali ini bukan karena Perang
Dingin menghangat lagi. Tapi kasus Milosz, betapa pun, mengatasi
dua Blok. Joseph Brodsky menulis bahwa puisi Czeslaw Milosz
adalah puji-pujian kepada hidup "yang datang dari kerongkong
yang tercekik" --dan karena itu lebih fasih ketimbang bel canto
mana pun.
Kerongkong yang tercekik, itulah yang pernah diuraikan Milosz
dengan jelas dalam bukunya yang terkenal, The Captive Mind.
Milosz di situ memperkenalkan kembali pengertian Ketman, yang
dipinjamnya dari sebuah buku karya Gobineau dari abad lalu
tentang kehidupan beragama di Timur Tengah. Ketman adalah cara
kaum cerdik-pandai, yang secara cerdik dan pandai mengatur
kata-katanya, untuk menyembunyikan kebenaran di lubuk hati dan
kepalanya.
Dan Ketman, seperti diperingatkan Milosz, bukan hanya
berlangsung di Timur Tengah. Bukan pula hanya di Eropa Timur. Ia
adalah pertanda sedih zaman kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini