Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGUBAH “kampung narkoba” tak cukup lewat penggerebekan ataupun dengan menangkap orang yang dituduh sebagai bandar atau pengguna narkotik. Tindakan agresif polisi itu tak otomatis memutus lingkaran setan peredaran narkoba. Di sejumlah lokasi yang menjadi kampung narkoba, operasi tersebut tak membuat pelaku kapok dan malah mendorong mereka melawan polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Contohnya pelemparan batu ke arah polisi yang berpatroli di Perumahan Permata di Cengkareng, Jakarta Barat, pada Rabu, 24 Juli 2024. Kawasan yang dikenal dengan sebutan Kampung Ambon itu salah satu kantong narkoba terbesar di Jakarta. Lewat berbagai operasi selama belasan tahun, aparat menangkap puluhan warga kampung yang terlibat kasus narkotik. Tapi Badan Narkotika Nasional dan polisi tak kunjung bisa menghilangkan peredaran dadah di wilayah itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebulan belakangan, polisi menyerbu sejumlah kampung narkoba. Pada pertengahan Juli 2024, misalnya, polisi menggerebek Kampung Bahari di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyita sabu dan menangkap 22 orang yang dinyatakan positif menggunakan narkotik. Pada pekan yang sama, polisi mengepung Kampung Boncos di Palmerah, Jakarta Barat. Polisi menangkap 42 orang yang diduga terlibat penjualan narkoba. Di Pekanbaru, Riau, polisi menggerebek Gang Pargo dan Kampung Dalam.
Masalahnya, dalam penggerebekan tersebut, sebagian besar pelaku yang ditangkap ditengarai hanya pengguna, bukan pemasok. Apalagi penggerebekan itu bukan yang pertama. Sebagaimana Kampung Ambon, selama bertahun-tahun Kampung Bahari, Kampung Boncos, hingga Gang Pargo serta Kampung Dalam dikenal sebagai salah satu pusat penjualan narkoba. Ini membuktikan penindakan polisi tak efektif karena pasokan sabu ataupun barang haram lain tak diputus.
Hal tersebut menimbulkan wasangka jangan-jangan pemberantasan narkotik selama ini tak sungguh-sungguh. Bandar besar, misalnya, tak dibidik karena telah bermain mata dengan aparat. Akibatnya, barang haram terus mengalir ke kampung narkoba. Di sisi lain, proses hukum bandar kelas teri pun bau anyir. Isu negosiasi dan jual-beli pasal telah menjadi rahasia umum yang perlu diperhatikan pemimpin Polri dan BNN.
Kasus bekas Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Teddy Minahasa, dan sejumlah polisi bawahannya membuktikan bahwa polisi juga terlibat dalam peredaran narkoba. Dari 5 kilogram sabu barang bukti yang digelapkan oleh Teddy dan kelompoknya, sebanyak 1,7 kg didistribusikan ke Kampung Bahari. Dengan kata lain, narkotik yang disita di suatu wilayah diedarkan lagi di wilayah lain.
Penangkapan lima personel Direktorat Reserse Narkoba Polda Jawa Tengah pada 14 Juli 2024 juga memperlihatkan rentannya penggelapan barang bukti narkotik oleh polisi. Kelima polisi tersebut sejauh ini hanya dituduh mengkonsumsi sabu yang dicuri dari tempat penyimpanan barang bukti. Namun mudahnya penggelapan narkotik oleh para polisi tersebut membuktikan bahwa operasi pemberantasan narkoba memang tak sungguh-sungguh. Dadah bisa mudah berpindah tangan dan disalahgunakan.
Keterlibatan personel kepolisian dalam perkara narkoba sudah kronis. Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dari peristiwa yang terdokumentasikan sepanjang Juli 2023-Juni 2024, ada 69 polisi yang terlibat kasus narkoba. Sebanyak 17 polisi adalah pengedar dan sisanya pengguna serta penyimpan barang haram tersebut.
Karena itu, tanpa membenahi aparatnya dan memutus pasokan narkoba dengan cara menggulung pemasok besarnya, pemberantasan narkotik adalah tindakan sia-sia. Seberapa sering pun penggerebekan kampung narkoba, hasilnya tak akan mengubah kondisi wilayah tersebut.