Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah perlu mengambil keputusan sesegera mungkin ihwal nasib PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk agar ongkosnya tidak terus bertambah mahal. Opsi apa pun yang dipilih haruslah berdasarkan kalkulasi bisnis yang realistis, bukan pertimbangan politis, atas masa depan maskapai "pembawa bendera" alias the flag carrier airline itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manajemen Garuda sudah melakukan sejumlah langkah untuk mengurangi beban keuangan, dari menawarkan pensiun dini kepada karyawan sampai mengurangi jumlah pesawat yang beroperasi. Maskapai penerbangan itu juga berfokus di rute domestik yang gemuk dan mulai menggenjot layanan kargo. Tapi upaya itu belum mengeluarkan Garuda dari jurang krisis keuangan yang teramat dalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nilai utang Garuda per Mei 2021 mencapai Rp 70 triliun dan terus menggunung dengan tambahan Rp 1 triliun setiap bulan. Biaya operasional Garuda pun terus membengkak tanpa diimbangi dengan kenaikan pendapatan. Pendapatan Garuda, misalnya, anjlok hingga 67,8 persen menjadi Rp 16,15 triliun per kuartal ketiga 2020.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara juga telah menawarkan empat opsi untuk menangani krisis Garuda: menyuntikkan modal baru atau pinjaman dari pemerintah, memberikan perlindungan legal dari kebangkrutan untuk merestrukturisasi berbagai kewajiban maskapai, melakukan restrukturisasi seiring dengan pendirian maskapai nasional baru, atau melikuidasi Garuda dan membiarkan swasta mengisi kekosongan national flag carrier itu.
Apa pun opsi yang akan diambil, penyelamatan Garuda jangan sampai membebani anggaran negara lagi. Saat ini, defisit sudah sangat memberatkan keuangan negara. Kalaupun Garuda hendak dipertahankan, pengelolaannya harus dibenahi total. Seperti layaknya perusahaan, Garuda harus berorientasi profit, manajemennya harus efektif dan efisien, wajib menjalankan good corporate governance, serta bebas dari intervensi politik.
Selain penyelamatan, opsi melikuidasi Garuda juga layak dipertimbangkan. Memang, masih ada pihak yang berpendapat bahwa maskapai penerbangan milik negara harus dipertahankan. Meski secara bisnis Garuda sudah masuk fase gawat darurat, rupanya masih ada nostalgia atas peran sejarah Garuda serta statusnya sebagai maskapai “pembawa bendera” kebanggaan bangsa.
Namun, seperti halnya opsi lain, pilihan melikuidasi Garuda haruslah berbasis pertimbangan ekonomi dan bisnis, bukan pertimbangan politis ataupun rasa bangga yang semu. Pandangan bahwa maskapai “pembawa bendera” harus dimiliki negara perlu dikesampingkan. Banyak negara dengan jaringan transportasi udara lebih baik tanpa maskapai milik negara. Contohnya Amerika Serikat yang tidak punya national flag carrier sejak 1978.
Di sejumlah negara, kepemilikan saham pemerintah di perusahaan flag carrier pun hanya minoritas, berkisar 6 hingga 20 persen. Contohnya Prancis dengan Air France, Jerman dengan Lufthansa, Hong Kong dengan Cathay Pacific, serta Belanda dengan KLM. Tak sedikit juga flag carrier yang sepenuhnya dimiliki swasta, seperti Japan Airlines, Korean Air, British Airways, dan Air Canada.
Maskapai "pengibar bendera" yang melayani penerbangan lintas benua sejatinya juga bukan kebutuhan mendesak bagi Indonesia. Sebagai negara kepulauan yang sangat luas dan berpegunungan, Indonesia justru memerlukan banyak penerbangan perintis, carter, dan kargo yang menjangkau seluruh wilayah negeri. Ketimbang terus menyuntikkan dana kepada maskapai flag carrier yang sekarat, negara lebih baik menyediakan subsidi bagi maskapai yang mau melayani rute-rute sangat penting tapi "kering" itu. •
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo