Dalam kesendirian saya, saya termenung. Perang, peristiwa itulah yang memilukan batin saya. Perang, dengan sejuta latar belakang, telah tergelar sangat tua di bumi ini. Perang suku, perang kemerdekaan, perang dunia, dan berbagai perang lainnya. Sepertinya perang memang telah menjadi bagian peradaban umat manusia. Apakah perang juga termasuk seleksi alamiah dalam menyeimbangkan ekosistem? Bisa jadi. Tapi, nurani saya kembali terluka ketika terusik oleh kenyataan yang selama ini kita banggakan sebagai umat manusia. Kita telah memproklamasikan diri sebagai makhluk "homo sapien", manusia bijak, manusia beradab. Makhluk yang diciptakan secitra dengan Allah. Benarkah kita bangsa umat manusia ini telah beradab? Peradaban seperti apa yang telah dicapai manusia secara kemanusiawiannya? Apakah hanya "monumen peradaban" yang berkembang pesat, tapi jiwa kita, sifat kita sebagai manusia masih menyisakan sifat dan perwujudan kepurbaan kita? Ya, sebab ternyata manusia tetap saja saling membunuh, saling menindas, saling menguasai, saling menginjak-injak harkat kita sebagai manusia. Saya semakin prihatin setelah ikut memikirkan permasalahan global umat manusia. Di tengah sebagian besar umat manusia hidup dalam kemiskinan, terjajah, tertindas, terbelakang, lagi-lagi keangkuhan sebagian manusia memamerkan pedang pembunuh mereka di Teluk. Berapa juta trilyun biaya perang di sana? Berapa nyawa umat manusia yang menjadi korban? Dan, nyawa inilah yang tidak bisa dinilai dengan apa pun! Ya, di sana kem- bali terpampang dengan jelas ambisi kepurbaan manusia, yaitu saling menguasai, saling menghancurkan. Anehnya, kita sebagai sesama umat manusia justru terhibur dengan penayangan baratayuda itu melalui media massa. Kita bersorak-sorak sambil membumbui bahwa peperangan itu demi prestise sebuah agama, bangsa, negara tertentu! Homo sapien yang masih sapikah kita ini sebagai umat manusia? Bahasa pedang ternyata masih mendominasi kehidupan umat manusia. Kapankah kita sebagai manusia mampu menyelesaikan permasalahan tanpa menghunus pedang? Kapankah bahasa cinta kasih anugerah Allah itu kita pakai untuk menyelesaikan problem total kita sebagai manusia? Entahlah, barangkali saja perang itu memang satu-satunya jawaban dari permasalahan yang oleh bahasa kata-kata manusia sudah tidak dapat diselesaikannya? Tinggallah, sesudah mesiu mendingin, kita menangis, kita menyesali kekerdilan kita sebagai manusia, tetapi terlambat, darah telah tumpah di bumi tanpa henti-hentinya sejak Habil terbunuh oleh Kabil. Sampai kapankah pertumpahan darah secara masal ini berlangsung? YOSEPH SUPANDI Kuningan Barat Rt 010/03 Mampang Prapatan Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini